Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vania Kembali Berulah 2
Ella langsung menaiki lantai dua untuk bertemu dengan Adira. Apalagi, perkataan Vania yang membuat hubungannya dengan Vania salah paham.
"Adira ..." panggil Ella dengan suara yang keras. Dia langsung membuka pintu kamar Adira yang tidak dikunci.
Adira yang sudah menduga apa yang terjadi, hanya menatap Ibunya. Tanpa berniat untuk meresponnya.
"Dari mana kamu mendapatkan dress-nya? Hah?" teriak Ella.
"Bu, aku capek. Udah ya."
"Ooo mau melawan kamu Adira? Jelaskan pada Ibu, dari mana kamu mendapatkan dress-nya?"
"Kakek yang memberikan padaku. Puas?" jawab Adira.
"Kamu meneriaki Ibu?" kata Ella menarik rambut Adira.
"Ampun Bu," teriak Adira.
"Ampun? Tadi, saat Kakakmu minta ampun, kenapa kamu tega menghantam kepalanya ke meja hah?" berang Ella tetap menarik rambut Adira.
"Aku tidak melakukannya Bu, Kakak yang melakukannya sendiri." jelas Adira mencoba untuk melepaskan rambut dari genggaman Ibunya.
"Kamu pikir Ibu percaya? Gara-gara dress ini, kamu bahkan tega menyiksa Kakakmu sendiri kan?" tanya Ella menarik Adira hingga ke meja belajar.
"Kamu memang gak bisa di manjakan Adira. Sikapmu sudah sangat keterlaluan." berang Ella menghempaskan Adira, sehingga Adira jatuh. Untungnya, dia bisa meraih kasur.
"Gara-gara ini kan kamu menyiksa Kakakmu?" tanya Ella mengambil paper bag Adira.
"Ibu, ini punyaku." ujar Adira mencoba untuk megambil paper bag. Namun, tubuhnya di dorong oleh Ella.
"Diam kamu Adira." bentak Ella.
Ella langsung turun ke bawah, di ke dapur untuk mencari korek yang biasa di simpan oleh ART-nya. Mungkin untuk jaga-jaga, jika ada perlu.
Setelah mendapatkannya, dia langsung ke taman belakang, untuk membakar dress Adira.
"Ibu jangan." teriak Adira melihat api yang mulai membakar dress-nya.
"Kalo kamu mau, ambil." ujar Ella menjatuhkan dress dari tangannya.
Mendengar suara teriakan Adira. Vania dan Afandi langsung keluar kamar. Kebetulan Afandi memang di kamar Vania. Sebab Vania mengeluh pusing.
"Ada apa?" tanya Afandi, menatap Adira menangis tersedu-sedu.
"Puas Kak Vania? Puas? Bahkan gara-gara kamu aku kehilangan hadiah dari Kakek. Kalian semua jahat." teriak Adira.
"Coba ulangi sekali lagi! Siapa yang jahat?" tantang Ella mencengkram rahang Adira.
"Udah Bu. Malu." larang Afandi. Membuat Ella menghempaskan Adira hingga jatuh.
"Kamu memang gak bisa di ajarkan Adira. Gara-gara baju ini kamu menciptakan masalah. Jadi, biar Ibu hilangkan masalah itu." kata Ella.
"Bu, udah, kasihan Adira. Aku gak pa-pa." ujar Vania dengan linangan air mata.
"Kamu lihat Kakakmu, lihatlah, Adira. Bahkan dia tidak tega sama kamu." berang Ella.
"Ibu dan Ayah kenapa sih? Kenapa harus aku yang selalu kalian salahkan? Kenapa harus aku," isak Adira. "Dan kamu Kak Vania. Jika kamu ingin merebut kasih sayang Ibu dan Ayah. Selamat kamu berhasil. Bahkan berhasil membuat mereka untuk membenciku."
"Ibu ... Aku gak seperti yang Adira tuduhkan Bu. Ayah percaya padaku kan?" isak Vania memeluk Ayahnya.
"Sudah-sudah, Adira jangan katakan yang tidak-tidak. Tapi memang bukti menyatakan kamu salah. Ayah melihat sendiri saat Vania jatuh." jelas Afandi.
"Benarkah? Kalian ingin lihat bukti yang sesungguhnya?" tanya Adira membuat Vania melebarkan matanya.
"A-apa maksudmu?" ujar Vania takut melepaskan pelukan dari Ayahnya. Dia menduga, jika Adira merekamnya. Apalagi, saat itu Adira sibuk bermain ponsel.
Adira langsung mendorong Vania yang lepas dari pelukan Afandi. Tanpa ada persiapan, otomatis Vania langsung terjatuh. Apalagi Afandi yang tidak siap, karena Adira mendorong Vania secara tiba-tiba.
"Ini baru benar. Kalo aku yang mendorong Kak Vania. Kalian libat lah. Sekarang baru aku yang mendorong Kak Vania. Apa perlu aku juga menghantam kepalanya?" tantang Adira dengan suara yang tinggi.
Afandi langsung melayangkan tamparan ke wajah Adira. Namun, Adira tersenyum puas. Setidaknya, sakit hatinya karena Vania sudah terbayar sudah.
"Kamu gila?" teriak Ella membangunkan Vania.
"Iya Bu, aku gila. Aku bahkan sudah sangat gila. Aku gila gara-gara dilahirkan di keluarga toxic seperti kalian. Aku gila." teriak Adira, bahkan air matanya jatuh tanpa henti.
"Keluarga toxic. Andai kamu tahu. Bahkan kamu tidak kami inginkan Adira. Kamu tidak aku harapkan. Kenapa kamu tidak pergi saja di kehidupan Ibu. Kenapa kamu selalu menyusahkan Ibu."
"Bu ..." Vania menggapai Ibunya yang memarahi Adira. Sedangkan Afandi, masih bengong karena telah menampar Adira.
"Bu ..." lirih Vania, semakin merasa sesak. Bahkan sekarang seluruh ruangan seakan-akan berputar.
Bruk ... Vania terjatuh. Dan itu berhasil membuat kesadaran Afandi kembali. Begitu juga dengan Ella yang langsung berjongkok melihat Vania.
"Yah, bagaimana ini. Cepat siapkan mobil." teriak Ella pada Afandi.
Afandi, langsung berlari keluar serta mengendong Vania. Sedangkan Ella mengambil cardigan, juga tas dari kamarnya. Kemudian menyusul Afandi untuk membukakan pintu mobilnya.
"Ayah, cepetan Yah. Ibu takut Vania kenapa-napa." ujar Ella dari kursi belakang.
"Ini juga udah cepat Bu."
Setelah beberapa menit, mereka sampai di rumah sakit. Vania langsung di bawa ke IGD dan juga di pasang infus dan oksigen.
Afandi langsung mengurus semua perlengkapan data Vania. Kebetulan selalu di siapkan di mobil. Untuk jaga-jaga.
Sedangkan Ella, dia setia di sisi Vania.
"Maaf, maafkan Ibu nak. Ibu telah membuat mu pingsan. Maafkan Ibu." isak Ella dengan mencium tangan Vania.
Isakan Ella, membuat Vania sadar. Dengan lirih dia memanggil Ibunya, untuk minta minum.
"Maaf ya sayang. Maafkan Ibu." ujar Ella.
"Aku gak apa-apa Bu. Aku cuma sedikit lemah aja."
"Kamu istirahat ya sayang. Ibu di sini." ujar Ella mengecup pucuk kepala Vania.
Afandi masuk ke ruangan Vania. Dia memberitahukan pada Ella, jika malam ini Vania harus dirawat karena tubuhnya masih sangat lemah.
"Harusnya tadi, kita bisa mengontrol emosi." sesal Afandi.
"Maafkan Ibu Ayah," isak Ella.
"Biar, aku telpon Bu Mar dulu. Agar Adira ada temannya." ujar Afandi.
"Jangan Yah, biarkan dia sendiri. Agar dia bisa merenungkan kesalahannya. Lagipula, dia bukan lagi anak-anak. Dia sudah dewasa Yah, dia sudah bisa jaga diri." larang Ella mengambil ponsel suaminya.
Afandi hanya bisa menuruti ucapan istrinya. Lagipula, setelah dipikir-pikir, apa yang istrinya katakan adalah benar. Selama ini dia sudah mulai memanjakan Adira. Mungkin, itulah awal mula Adira kembali membangkang.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
"Kalian tidak menginginkan dan mengharapkan aku kan? Bu, Yah?" gumam Adira menatap rumahnya untuk terakhir kalinya.
rasa bersalah yg amat mendalam kepada Adira.
ya iyalah ga inget wong luka batin yg kau torehkan begitu dalam dan sayatan² juga banyak jadi hanya keburukan yg didPat
gak tau terimakasih
gak tau minta maaf
rugi dong
anak yg udah di sayang dari kecil sampe dewasa belom tentu bisa menyayangi balik ortu nya .
anak kesayangan mu ternyata lebih berbisa .
dari dulu kemana weh