Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lines Drawn Over Dinner
Malam itu, ruang makan besar di rumah keluarga Satria Wicaksana dipenuhi dengan percakapan yang hangat namun berlapis ketegangan yang samar. Lampu kristal di langit-langit memancarkan cahaya lembut yang memantul di atas meja makan besar dari kayu mahoni, di mana hidangan lengkap tersaji dengan rapi. Bau harum rempah-rempah memenuhi udara, tetapi suasana hati masing-masing individu di ruangan itu sama sekali tidak setenang aroma makanan yang tersaji.
Chandra duduk di salah satu sisi meja, sikapnya tenang namun penuh kewaspadaan. Setelan jas hitam sempurna membalut tubuhnya, mencerminkan auranya yang dominan dan tak tergoyahkan. Mata gelapnya memantau setiap gerakan di sekitarnya, seperti seorang raja yang memeriksa kerajaannya. Di sebelahnya, Shabiya duduk dengan postur tegak, mengenakan gaun biru gelap yang sederhana namun anggun. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya menyimpan kepekaan tajam, siap menangkap setiap sinyal ketegangan.
Di sisi lain meja, Awan dan Erika duduk berdekatan. Mereka tampak terlalu mesra, tangan Erika sesekali menyentuh lengan Awan dengan gerakan yang disengaja, seperti ingin memamerkan hubungan mereka. Tawa Erika terdengar nyaring, seperti belati yang menorehkan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Awan sesekali melirik ke arah Chandra, seolah ingin mengukur dampak dari setiap gerakan mereka.
Shabiya merasakan ketegangan itu seperti arus listrik di udara. Meski ia mencoba fokus pada makanannya, ia tak bisa mengabaikan ekspresi Chandra yang mulai berubah. Rahang suaminya mengencang, tangannya yang memegang gelas anggur bergerak dengan kekuatan terukur, seolah menahan diri untuk tidak memecahkan gelas itu.
Satria Wicaksana, pria paruh baya dengan aura dan wibawanya, duduk di ujung meja. Sorot matanya yang tajam memperhatikan kedua putranya, Awan dan Chandra. "Chandra," katanya dengan nada bangga yang hampir terdengar arogan. "Kinerjamu di cabang Singapura sungguh luar biasa. Aku tidak menyangka kau bisa meningkatkan pendapatan sebesar itu dalam waktu sesingkat itu."
Chandra, dengan sikap tenang dan percaya diri yang menjadi ciri khasnya, mengangguk sopan. "Terima kasih, Ayah. Itu semua hasil kerja tim yang solid," jawabnya dengan nada rendah namun penuh otoritas yang membuat siapa pun di ruangan itu sulit untuk tidak memperhatikannya.
Satria beralih ke Awan, yang berseberangan dengan Chandra. "Awan, aku tahu kau sudah mulai mengelola toko perhiasan di Bandung. Bagaimana perkembangan di sana?"
Awan menegakkan punggungnya, mencoba menunjukkan kepercayaan diri meski rahangnya tampak tegang. "Bisnis berjalan cukup baik, Ayah. Kami berhasil menarik beberapa klien baru dan meningkatkan penjualan bulan lalu."
Namun, respons Satria tidak sehangat yang diharapkan Awan. "Cukup baik? Kau harus belajar lebih banyak dari adikmu. Chandra tidak hanya membuat bisnis berjalan baik, tapi melambungkan nama keluarga kita ke tingkat yang lebih tinggi."
Perasaan kesal tampak jelas di wajah Awan. Tangannya yang tersembunyi di bawah meja mengepal kuat, menahan rasa malu dan marah yang membakar dirinya. Erika, yang duduk di sampingnya, merasakan ketegangan itu. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Chandra dan Shabiya, seolah mencari celah untuk menyelamatkan harga dirinya.
Shabiya, yang duduk di samping Chandra, menyadari suasana hati yang semakin tegang. Namun, dia memilih untuk tetap tenang, menundukkan kepala sedikit sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia tahu betul bahwa setiap komentar yang salah bisa menjadi pemantik ledakan dalam ruangan ini. Tapi matanya menangkap gerakan Chandra yang melirik ke piringnya.
"Shabiya," suara Chandra terdengar lembut namun tegas, membuat semua orang di meja makan menoleh padanya. "Jangan lupa sayurannya. Kau berjanji akan mencoba mulai sekarang."
Shabiya mendongak, sorot matanya bertemu dengan tatapan Chandra yang penuh intensitas. Bibirnya mengerucut, tanda bahwa ia sebenarnya ingin membantah, tetapi kesadarannya tentang situasi ini membuatnya mengurungkan niat. "Baiklah," gumamnya akhirnya, mengambil sepotong kecil brokoli dan memasukkannya ke mulut dengan enggan.
Erika, yang sejak tadi memperhatikan interaksi itu, merasakan gelombang kecemburuan yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingat betapa protektifnya Chandra dulu padanya, betapa ia selalu memastikan kebutuhannya terpenuhi, hingga membuat teman-temannya iri. Tapi sekarang, perhatian itu bukan lagi miliknya. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit itu di balik senyum kecil yang tampak terpaksa.
"Kau benar-benar beruntung, Shabiya," kata Erika, suaranya terdengar manis namun penuh dengan sindiran. "Tidak semua wanita bisa mendapatkan perhatian seperti itu dari seorang pria seperti Chandra."
Shabiya mendongak dan tersenyum tipis. "Mungkin karena tidak semua pria seperti Chandra."
Komentar itu membuat Erika terdiam, tetapi di dalam dirinya, api kecil yang terbakar kini semakin besar. Awan, yang merasakan ketegangan itu, mencoba mengalihkan perhatian dengan menyandarkan tangannya di bahu Erika, menunjukkan kemesraan yang sengaja dilebih-lebihkan.
Awan memicingkan mata, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Erika, di sisi lain, merasa gusar. Ia menatap Chandra dengan campuran perasaan frustrasi dan kerinduan yang sulit ia kendalikan. Ia berharap Chandra akan menunjukkan sedikit saja rasa cemburu, tetapi pria itu tidak memberinya apa pun selain sikap dingin yang mengintimidasi.
"Jadi, Chandra," suara Awan memecah keheningan sesaat, "Bagaimana bisnis di kantor cabang? Kudengar mereka baru saja menyelesaikan proyek besar." Nada bicaranya terdengar santai, tapi Shabiya bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.
Chandra mengangkat pandangannya perlahan, menatap langsung ke arah Awan. "Berjalan sesuai rencana. Seperti biasa, aku memastikan semuanya sempurna," jawabnya, suaranya rendah tapi tegas. Tidak ada nada marah, hanya pernyataan dingin yang cukup untuk membuat siapapun merasa kecil.
"Tentu saja," sela Erika dengan senyum tipis. "Chandra selalu perfeksionis, bukan? Sayang sekali beberapa hal di hidup ini tidak bisa dikendalikan dengan sempurna, ya?" Matanya melirik sekilas ke arah Shabiya, sebelum kembali ke piringnya.
Shabiya menegang di kursinya. Dia ingin membalas, tapi ia tahu ini bukan pertarungannya. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Chandra meletakkan gelasnya dengan suara pelan tapi pasti, menarik perhatian semua orang di meja.
"Awan," katanya, suaranya dingin seperti es, "Kau harus tahu batasmu." Tatapannya tajam seperti pisau, menusuk langsung ke arah kakaknya. "Kau duduk di sini bukan untuk memamerkan sesuatu yang kau peroleh dengan cara murahan."
Ruang makan itu mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Chandra. Bahkan Erika, yang biasanya selalu pandai berbicara, kehilangan kata-katanya. Awan tampak memerah, baik karena marah maupun malu.
Shabiya memandang Chandra dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. Kekaguman karena bagaimana suaminya mampu mengendalikan situasi hanya dengan beberapa kata, dan kekhawatiran karena ia tahu luka yang masih ada di balik ketenangan itu.
"Chandra, aku rasa tidak perlu berkata seperti itu di depan semua orang," Awan akhirnya berkata, mencoba mempertahankan wibawanya.
Chandra mengangkat satu alis, senyum dingin muncul di sudut bibirnya. "Aku hanya mengatakan fakta, Awan. Jika kau merasa terganggu, mungkin kau perlu memikirkan kembali tindak tandukmu."
Satria, yang menyadari adanya ketegangan ini, mengetuk meja ringan dengan jarinya. "Sudahlah, kita di sini untuk makan malam bersama, bukan untuk berdebat. Awan, aku ingin kau benar-benar serius dengan pekerjaanmu. Jika kau gagal kali ini, aku tidak akan memberi kesempatan lagi."
Awan mengangguk kaku. "Aku mengerti, Ayah."
Makan malam berlanjut dalam keheningan yang lebih canggung. Shabiya, meski tetap tenang, tidak bisa mengabaikan tatapan Erika yang terus mengarah padanya. Ketika akhirnya makan malam selesai, Chandra berdiri dan menarik kursi untuk Shabiya, seperti biasa menunjukkan perhatian yang membuat semua orang di ruangan itu diam-diam iri.
"Kita pulang," katanya, memberikan senyum kecil yang hanya untuk Shabiya. Meskipun ekspresi wajahnya tenang, ada sesuatu dalam nadanya yang menunjukkan bahwa ia ingin mengakhiri malam ini sesegera mungkin.
Shabiya mengangguk, merasakan tangan Chandra yang hangat di punggungnya saat ia mengantar istrinya keluar dari ruang makan. Tapi sebelum mereka pergi, Erika memanggilnya. "Chandra, aku harap kita masih bisa berteman baik."
Chandra berhenti, menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Erika menelan ludah. "Aku tidak punya waktu untuk permainan seperti itu, Erika. Jaga dirimu sendiri."
Tanpa menunggu jawaban, Chandra melangkah pergi, meninggalkan Erika yang berdiri membeku di tempatnya, sementara Awan hanya bisa menunduk, menyembunyikan rasa malu dan kekesalannya.
***