"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan dari Amel
Amel tiba di rumah, tepat sebelum Zea selesai memasak. Dan betapa bahagianya dia saat mengetahui Lui ikut makan malam bersama. Padahal, tadinya dia tidak berminat makan masakan Zea.
"Kak Lui jarang banget main ke rumah akhir akhir ini. Kangen tau." rengek manja Amel yang bergelantungan di lengan Lui.
"Amel! Kamu itu baru pulang, mandi dulu sana." titah Alia yang baru keluar dari kamarnya.
"Ih Mama apaan sih. Aku tu masih kangen kangenan sama kak Lui. Udah lama gak ketemu." protesnya tanpa mau melepaskan lengan Lui, sedangkan Lui sendiri terlihat grogi ditatap oleh Nyonya besar dirumah ini.
"Mandi dulu, bau."
Alia menarik paksa tubuh Amel menjauh dari Lui. Dan mau tak mau Amel terpaksa meninggalkan pria idamannya bersama Mamanya.
"Amel tu manjanya gak ketulungan. Entah bagaimana nanti kalau dia sudah menikah. Ya, saya harap dia akan menemukan pria yang mau melayani sikap manjanya itu."
"Saya minta maaf, karena berani menyentuh tangan nona Amel, Nyonya." sahut Lui yang paham maksud pernyataan Alia barusan.
"Lui, kamu tidak boleh mencintai Amel lebih dari sekedar seorang adik yang harus kamu jaga. Itu karena aku juga menganggap kamu seperti anakku sama seperti Acel dan Amel. Jadi, anggap juga Amel seperti seorang adik."
"Baik, Nyonya. Saya bahkan menganggap nona Amel seperti majikan saya. Saya tahu posisi saya, jadi Nyonya tidak usah khawatir tentang perasaan saya pada nona Amel."
Diam diam Zea mendengar pembicaraan itu dari dapur. Dia yang baru mengetahui bahwa Lui mencintai Amel lebih dari sekedar majikan dan sekedar seorang adik merasa kasihan pada Lui.
"Semoga kak Lui tidak bernasib sama sepertiku dan semoga Nyonya Alia tidak melenyapkan siapapun yang kak Lui cintai kelak." Batinnya.
"Ayah, Nyonya, saya permisi mau bantu nona Zea menata makan malam."
"Iya, silahkan." sahut Handi dan Alia hampir bersamaan.
"Apa lagi yang harus dibawa ke meja, Nona?"
"Gak usah repot membantuku, kak."
"Gak apa, aku senang membantu Nona Zea."
Lui membantu membawakan beberapa masakan dan menatanya di atas meja bersama dengan Zea.
"Apa kak Lui sudah bisa memaafkan aku?"
Lui tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis saja. Sebenarnya dia tidak ingin dan tidak pernah merasa membenci Zea. Hanya saja, selama ini dia mengikuti apa yang diinginkan majikannya. Mustahil baginya untuk menyukai seseorang yang dibenci oleh majikannya. Begitulah istilah yang bisa digunakan pada situasi seperti ini.
"Aku hanya penasaran, dimana Nona delapan tahun yang lalu."
"Kak Lui tidak perlu tahu tentang itu."
"Baiklah. Tapi, aku ingin Nona tahu bahwa Tuan muda menikahi Nona bukan semata untuk menjadi pemilik Sky grup dan misi balas dendam sakit hatinya. Lebih dari itu, aku merasa Tuan muda membutuhkan Nona dihidupnya." bisik Lui yang membuat Zea terdiam seribu bahasa.
"Andai apa yang kak Lui katakan benar, mungkin rinduku akan segera berlabuh. Aku akan kembali menatap langit senjaku dalam waktu yang lama dari sebelumnya. Sayangnya itu hanyalah angan semata." batinnya.
.
.
.
Makan malam telah usai. Semua orang menikmati masakan Zea yang terasa memanjakan lidah. Amel dan Alia bahkan tidak kuasa menolak rasa lezat masakan dari perempuan yang sangat mereka benci itu.
"Lui, apa kamu akan kembali ke apartemen Acel atau pulang ke rumah?" tanya Handi yang menghampiri Lui di dapur menemani Zea mencuci piring kotor.
"Sepertinya ke apartemen, Tuan muda. Kenapa, Yah?"
"Gak apa apa. Lalu, kenapa masih disini?!"
"Aku akan pergi setelah semua ini beres."
"Itu bukan tugasmu. Biarkan Nona Zea yang mengurusnya."
"Pak Handi benar, Kak. Biar aku yang mengurus semua ini. Kak Lui pulang sana, istirahat. Sudah larut juga."
"Baiklah."
Begitu Lui dan pak Handi pulang, Amel langsung bergegas menghampiri Zea, merebut piring penuh sabun ditangan Zea dan sengaja memecahkannya tepat dikaki Zea hingga pecahan piring itu mengenai ujung jari kakinya.
"Ups! Aku sengaja. Itu balasan buat perempuan murahan seperti kamu yang berani beraninya merayu kak Lui!" Bentaknya sambil menarik rambut Zea dari balik kain jilbab sorongnya.
"Lepas, Mel. Sakit!"
"Sakit ya! Nih aku tambah rasa sakitnya..." Amel mengambil busa dari tempat pencuci piring dan langsung mengusapkan kewajah Zea.
"Perih!" Jerit Zea mencoba mengambil air di pancuran keran wastafel.
"Nih satu lagi!" Amel kembali menarik tangan Zea hingga tubuh itu jatuh kelantai dan kedua tangannya mendarat tepat dipecahan piring.
"Hahaha, rasain tu sakit!"
Zea merintih perih karena matanya yang terkena busa air sabun cuci piring dan kedua telapak tangannya yang terluka karena pecahan piring.
Alia yang diam diam memperhatikan dari kejauhan ikut tersenyum puas melihat Amel menyiksa Zea seperti itu. "Kamu pikir bisa segampang itu untuk menjadi perempuan seberuntung aku, Zea?! Tentu tidak, anak malang. Kamu harus merasakan semua kepahitan ini terlebih dahulu. Dan ini resiko yang mau tidak mau harus kamu terima karena berani masuk kedalam keluarga Sandrio." Ucapnya pelan sambil menatap sinis kearah dapur.