NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:225
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam Jebakan Pikiran

Rafael melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah berat. Pikirannya masih bergelut dengan kejadian tadi. Bisikan-bisikan yang meresahkan itu masih berputar di kepalanya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Di sekelilingnya, anak-anak kelas melanjutkan aktivitas mereka, tapi Rafael merasa seperti berada di dunia lain.

Nasya yang melihat kondisi Rafael langsung khawatir. Dia mendekati Rafael, menyentuh lengannya. “Raf, lo nggak apa-apa, kan? Lo kelihatan aneh banget.”

Rafael tidak langsung merespons. Dia hanya mengangkat bahu, berusaha mengabaikan pertanyaan Nasya. “Gue gapapa,” jawabnya singkat, tanpa menatap Nasya.

Tapi Nasya tak menyerah. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Rafael. “Jangan bohong, Raf. Gue bisa lihat lo nggak baik-baik aja. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang bisa gue bantu?”

Emosi yang sudah terkumpul di dalam diri Rafael akhirnya meledak. “Stop ganggu gue!!” bentaknya keras, membuat Nasya terperanjat mundur. Suara Rafael yang penuh amarah memecah kesunyian kelas, membuat seluruh anak sekelas langsung menoleh ke arah mereka. Semua tatapan kini tertuju pada Rafael dan Nasya. Nasya terdiam, tak percaya Rafael bisa marah sekeras itu padanya.

Saat itu, Tristan baru saja masuk ke dalam kelas. Dia langsung melihat suasana yang tegang dan mendekati mereka. “Kenapa lo, Raf?” tanyanya pelan, mencoba menenangkan.

Rafael hanya diam, tatapannya kosong, seperti tenggelam di dunia pikirannya sendiri, tak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Nasya, masih dalam keadaan terkejut, akhirnya angkat bicara. “Gue cuma khawatir sama lo, Rafael... tapi lo malah begini,” katanya, suaranya terdengar patah. “Lo kenapa sih?”

Tristan yang menyadari situasi semakin buruk, segera menarik Nasya menjauh. “Udah, biarin dia dulu. Kasih dia waktu buat tenang,” bisiknya lembut, sambil menuntun Nasya ke mejanya.

Nasya masih belum bisa menerima sepenuhnya. “Kenapa lo kayaknya tau sesuatu yang gue nggak tau? Lo tutupin apa dari gue, Tris?”

Tristan terdiam, bingung harus menjelaskan apa. Dia tahu bahwa Rafael pasti sedang dalam kondisi yang lebih buruk daripada sekadar kecelakaan biasa, tapi dia juga tidak bisa menceritakan semuanya saat ini, apalagi di depan banyak orang. “Gue nggak bisa cerita sekarang, Nasy,” jawab Tristan dengan nada rendah, jelas merasa bersalah.

Nasya mendengus kesal, lalu duduk kembali di mejanya dengan wajah penuh frustrasi. Pandangannya sesekali mencuri lihat ke arah Rafael, tapi Rafael tidak menoleh sedikit pun. Hanya ada kekosongan di matanya, seolah-olah dia sedang tenggelam jauh ke dalam pikirannya sendiri.

Kelas kembali sunyi, tetapi ada ketegangan yang jelas terasa di udara. Tatapan dari teman-teman sekelas mereka masih mengarah ke Rafael, yang sekarang hanya duduk diam, menatap meja di depannya. Pikirannya sibuk berputar, suara-suara bisikan itu kembali muncul, semakin kuat, semakin mendominasi, mengaburkan kenyataan.

“Kau tahu mereka semua memandangmu seperti itu... karena mereka tidak peduli... mereka hanya ingin kau menderita. Kau harus balas mereka, Rafael...”

Rafael menggigit bibirnya, mencoba menahan bisikan itu, tapi semakin dia mencoba mengabaikan, semakin kuat suara itu menyusup ke dalam pikirannya. Tangannya mengepal erat di atas meja, tapi tubuhnya tetap tak bergerak.

Sementara itu, Tristan yang duduk di kursinya sesekali mencuri pandang ke Rafael, merasa khawatir dengan sikap diam sahabatnya itu. Dia tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi di dalam pikiran Rafael, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak di tengah kelas seperti ini.

Semua yang terjadi hanya membuat Rafael semakin tersesat di dunia pikirannya sendiri, tanpa jalan keluar yang jelas.

Bel pulang sekolah berbunyi, dan Rafael langsung bangkit dari kursinya. Dia berjalan cepat menuju pintu keluar sekolah, tidak memedulikan tatapan teman-temannya. Dia hanya ingin segera pergi, menjauh dari semua orang.

Di belakangnya, Tristan, Bimo, dan Nasya buru-buru berusaha mengejar. “Raf! Tunggu!” teriak Nasya, tetapi Rafael tidak memperlambat langkahnya sedikit pun. Sebaliknya, dia semakin mempercepat langkahnya, mencoba menghindari mereka.

“Raf! Lo mau ke mana?” tanya Tristan, berusaha mendekati Rafael, tapi Rafael langsung memotong ucapannya dengan amarah yang tak terkendali.

“Jauhin gue!” Rafael berteriak, wajahnya penuh amarah dan ketakutan.

Nasya dan Bimo tampak terkejut melihat sikap Rafael yang begitu kasar dan tak terkendali. Bimo, yang awalnya diam saja, akhirnya angkat bicara. “Raf, lo kenapa sih? Kita cuma pengen bantu lo!”

Rafael berhenti, memutar tubuhnya dengan cepat dan menatap mereka dengan pandangan yang penuh frustrasi. “Lo gak ngerti, Bim! Kalian gak akan ngerti!” serunya dengan suara bergetar. “Gue... gue cuma bawa sial. Kalo kalian terus deket sama gue, kalian juga bakal kena!”

Tristan yang sudah mulai kehabisan kesabaran, langsung mendekati Rafael, menariknya dan mendudukannya dengan paksa di bangku taman sekolah. “Denger, Raf,” kata Tristan tegas, “Lo sahabat kita, dan kita gak mungkin ninggalin lo gitu aja. Apapun yang terjadi, kita ada di sini buat lo.”

Rafael menunduk, wajahnya semakin pucat. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan semua emosi yang bergejolak di dalam dirinya. “Gue gak mau kalian terlibat. Gue gak mau kalian ikut kena masalah ini.”

Nasya yang sebelumnya juga terdiam, akhirnya mendekati Rafael dan duduk di sampingnya. “Kita tau lo lagi ada masalah, Raf. Tapi justru karena itu kita di sini. Lo cerita aja. Biar kita bisa bantu.”

Rafael masih terdiam, menatap tanah dengan pandangan kosong. Bisikan di kepalanya terus mengganggu, tetapi suara Tristan dan Nasya juga masuk ke dalam pikirannya, membuatnya semakin bingung. Ia menelan ludah, mencoba mengumpulkan kata-kata. Tapi sebelum dia sempat menjawab, matanya menangkap sosok yang dikenalnya sedang menyapu halaman sekolah.

Itu Harun.

Rafael langsung bangkit berdiri tanpa peringatan. Tanpa berkata apa-apa, dia mulai berlari menuju Harun, meninggalkan Tristan, Nasya, dan Bimo yang tampak terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba.

“Raf! Mau ke mana lo?” Tristan berteriak sambil berlari mengejar Rafael, diikuti Nasya dan Bimo yang juga kebingungan. “Kenapa lo lari?”

Rafael tidak mendengar apa-apa lagi. Fokusnya sekarang hanya tertuju pada Harun, satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya. Topeng itu... bisikan itu... Harun pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia harus bicara dengan Harun.

Harun, yang sedang sibuk menyapu halaman sekolah, melihat Rafael berlari ke arahnya dengan ekspresi putus asa. Dia berhenti sejenak, memandang Rafael dengan tenang, seperti sudah menduga apa yang akan terjadi.

“Ada apa, Nak?” tanya Harun pelan, saat Rafael akhirnya tiba di depannya dengan napas terengah-engah.

Tristan, Nasya, dan Bimo tiba di belakang Rafael, menatap kebingungan antara Rafael dan Harun. Mereka bertiga belum tahu betapa dalam keterlibatan Harun dalam semua masalah yang dialami Rafael.

Rafael yang sudah terengah-engah, menatap Harun dengan kepanikan yang jelas terpancar di matanya. “Pak, saya gak ngerti lagi... topeng itu makin lama makin parah. Saya sering banget gak sadar sama apa yang saya lakuin... Ini semua gara-gara topeng itu, kan?” katanya dengan nada putus asa, suaranya serak karena kelelahan dan ketakutan.

Harun memandang Rafael dengan sorot mata penuh keprihatinan. Dia terdiam sejenak, seolah menimbang apa yang harus dikatakan. Akhirnya, dia berkata dengan nada tenang, “Kita gak bisa bicara di sini, Nak. Terlalu banyak orang yang bisa denger. Kita butuh tempat yang lebih tenang.”

Harun memberi isyarat dengan tangan, mengajak Rafael untuk mengikutinya. Rafael yang sudah lelah, hanya mengangguk pelan. Dia mengikuti Harun tanpa berpikir panjang, sambil menahan perasaan kalut di dalam dirinya.

Di belakang mereka, Tristan, Nasya, dan Bimo masih berdiri terpaku, saling bertukar pandang dengan bingung. Mereka belum sepenuhnya mengerti situasi yang sedang terjadi, tapi insting mereka mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Tanpa bicara lagi, mereka segera mengikuti Rafael dan Harun, menuju tempat yang lebih sepi, berusaha mencari jawaban atas kekacauan yang sedang terjadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!