NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Special Part (2)

Senin pagi yang cerah di Kota Malang terasa berbeda dari biasanya. Di depan gedung Polresta Malang, puluhan wartawan dan juru kamera berkumpul, siap meliput berita yang menjadi sorotan masyarakat selama beberapa hari terakhir. Beberapa layar televisi menampilkan headline besar:

...SEKELOMPOK PELAJAR SMA RIMBA SAKTI BERHASIL MEMECAHKAN DUA KASUS BESAR!...

Para reporter berlomba-lomba mengambil posisi terbaik, menunggu momen penting ketika sekelompok murid SMA Rimba Sakti, akan menerima penghargaan langsung dari pihak kepolisian atas kontribusi besar mereka dalam menyelesaikan dua kasus di sekolah mereka. Sorotan kamera tertuju pada podium yang telah disiapkan di tengah lapangan.

Di sekitar podium, tampak lima orang remaja berpakaian seragam putih abu-abu yang rapi, yaitu Arga, Nadya, Aisyah, Rian, dan Dimas. Wajah-wajah mereka sedikit tegang namun penuh semangat. Ini adalah momen di mana mereka secara resmi akan diakui oleh publik.

Tepat pukul 09:00, pintu gedung Polresta terbuka lebar. Dari arah dalam, langkah tegap seorang perwira tinggi polisi, Kombespol Budi Pranata, Kepala Kepolisian Malang, melangkah ke depan podium. Wajahnya menunjukkan rasa bangga dan puas.

"Selamat pagi semuanya," suara Kombespol Budi bergema melalui pengeras suara, membuat kerumunan yang tadinya ramai mulai tenang.

"Kami berada di sini hari ini untuk memberikan penghargaan khusus kepada lima pemuda yang luar biasa. Kelompok yang telah menunjukkan keberanian, ketelitian, dan kecerdasan dalam menyelesaikan dua kasus besar yang awalnya kami anggap mustahil terpecahkan. Saya pribadi, serta jajaran kepolisian Malang, sangat bangga dengan kerja keras mereka yang bukan hanya membantu sekolah, tapi juga menegakkan keadilan."

Kombespol Budi kemudian melirik ke arah Arga dan teman-temannya, yang berdiri di samping podium. "Kalian semua tahu betapa sulitnya menjadi detektif, apalagi di usia yang masih begitu muda. Namun, kelima remaja ini membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja sama, mereka mampu menghadirkan solusi dan membawa para pelaku ke pengadilan."

Kerumunan mulai bertepuk tangan. Kombespol Budi mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua orang tenang sebelum melanjutkan pidatonya.

"Karena itu, setelah berdiskusi dengan tim penyidik kami dan mempertimbangkan kontribusi mereka yang sangat berharga, kami memutuskan untuk memberikan lencana kehormatan kepada kelompok ini. Lencana ini menandakan bahwa mereka adalah bagian dari kami, siap membantu kapan pun dan di mana pun keadilan membutuhkan mereka."

Kemudian, seorang petugas polisi dengan lencana khusus berjalan mendekati mereka berlima. Satu persatu, lencana itu disematkan di seragam mereka, menandai pengakuan resmi dari kepolisian.

Kombespol Budi melanjutkan, "Dengan lencana ini, kami berharap kalian terus bekerja dengan baik, menjaga integritas, dan membantu kami dalam mengungkap berbagai kasus yang mungkin akan kalian temui di masa depan."

Arga maju selangkah, mengambil posisi di depan mikrofon setelah Kombespol Budi memberikan isyarat padanya. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan kegugupan yang sempat terasa.

"Saya sebagai perwakilan teman-teman ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Kepolisian Malang atas kepercayaan yang luar biasa ini," Arga memulai, suaranya stabil namun tegas. "Kami sangat terhormat bisa berdiri di sini, menerima lencana ini. Apa yang kami lakukan, sejatinya bukan semata-mata untuk penghargaan, melainkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di lingkungan kami. SMA Rimba Sakti, yang selama ini menjadi rumah kedua kami, telah melalui banyak hal, dan kami merasa bertanggung jawab untuk melindunginya."

Arga melirik sejenak ke teman-temannya, yang tersenyum penuh dukungan.

"Kami juga ingin berterima kasih kepada kepolisian yang telah memberikan kami kesempatan untuk belajar dan berkembang, serta membantu menyelesaikan kasus-kasus ini. Ini adalah awal dari perjalanan panjang kami, dan kami siap untuk tantangan-tantangan berikutnya. Kami akan terus berdiri untuk kebenaran, dengan dukungan dari kalian semua."

Kerumunan kembali bertepuk tangan dengan riuh, sementara para wartawan berlomba-lomba menangkap momen itu dengan kamera mereka.

Arga menutup pidatonya dengan mengangkat lencana barunya ke hadapan publik. "Dengan ini, kami berlima resmi menerima tanggung jawab yang diberikan. Kami, The RADAN siap untuk menyelesaikan berbagai kasus baru, bersama kepolisian dan masyarakat Kota Malang!"

Keempat temannya mengikuti gerakan Arga, mengangkat lencana mereka dengan penuh kebanggaan. Mereka semua membungkuk sopan ke arah kerumunan, menunjukkan rasa terima kasih dan rasa hormat.

Setelah momen itu, suasana dipenuhi oleh kegembiraan dan kehangatan. The RADAN, lima detektif muda, kini resmi diakui sebagai bagian dari kepolisian. Mereka telah memulai babak baru dalam hidup mereka, yang penuh tantangan, misteri, dan harapan besar.

...—o0o—...

FLASHBACK ON

3 hari sebelum acara...

Siang itu, matahari bersinar terik ketika Nadya, Arga, Rian, Aisyah, dan Dimas keluar dari gedung sekolah. Sesuai dengan arahan IPTU Bima, ayah Aisyah, mereka berlima diminta untuk datang ke Polresta Malang. Wajah-wajah mereka terlihat tegang, meski tidak ada yang berani mengucapkan apa yang ada di pikiran masing-masing. Nadya, yang biasanya ceria, diam saja sembari membuka pintu mobilnya, sebuah SUV hitam yang tampak mencolok di antara kendaraan lainnya.

Di sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil tetap hening. Supir sekaligus bodyguard Nadya, Pak Santo, fokus menyetir tanpa banyak bicara. Ketika mereka tiba di halaman Polresta Malang, suasana semakin kaku. Mobil berhenti dengan mulus, dan pintu belakang segera dibuka oleh Pak Santo.

"Nah, udah sampai. Jangan tegang gitu dong," Rian lagi-lagi mencoba mengangkat suasana, kali ini sambil menggodai Pak Santo, yang berdiri tegak di depan mobil. "Ayo, Pak. Santai saja. Ndak perlu segagah itu, kayak mau perang aja," canda Rian sambil tersenyum miring.

Pak Santo hanya mengangguk kaku, sama sekali tidak merespons candaan Rian. Ia tetap berdiri tegap di samping mobil, menandakan bahwa dia tidak akan pulang dan akan menunggu mereka sampai selesai. Nadya, yang sudah terbiasa dengan sikap profesional Pak Santo, hanya menggeleng pelan sambil tersenyum.

"Rian, ojo ganggu Pak Santo terus. Kasian," Nadya akhirnya buka suara, mencoba meringankan ketegangan.

Rian hanya mengangkat bahu. "Ya siapa tau, kali aja Pak Santo bisa senyum dikit."

Setelah mereka turun, seorang polisi berpakaian rapi mendekati mereka. Wajahnya tegas namun ramah. "Selamat siang, adik-adik. Nama saya Pak Suryo. Saya diminta mengarahkan kalian ke dalam. Sudah ditunggu di ruang rapat oleh beberapa atasan kami."

"Eh, ruang rapat?" Arga bertanya dengan nada ragu.

"Betul. Ayo, ikuti saya," jawab Pak Suryo sambil mengisyaratkan agar mereka mengikutinya.

Dengan langkah pelan dan hati yang berdebar, mereka berlima berjalan melewati koridor kantor polisi. Udara di dalam gedung terasa lebih dingin, mungkin karena ketegangan yang mereka rasakan. Sampai di depan sebuah ruangan, Pak Suryo membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk.

Di dalam ruangan itu, sudah duduk beberapa polisi berpangkat tinggi. Kombespol Budi Pranata, Kepala Kepolisian Malang, duduk di ujung meja, wajahnya serius namun ada sedikit senyum di bibirnya. Di sebelahnya duduk IPTU Bima, ayah Aisyah, yang memberikan tatapan menenangkan kepada putrinya. Ada juga IPDA Arya, seorang polisi muda yang dikenal tegas tapi ramah. Dua orang lainnya juga ada di sana—yang satu mengenakan seragam polisi lengkap, yang lain tampaknya anggota kepolisian dari satuan khusus.

Mereka berlima duduk di kursi yang sudah disiapkan di sisi lain meja. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan Rian, yang biasanya suka bercanda, kini hanya diam, menatap lurus ke depan. Ketegangan merasuki ruangan, meski belum ada sepatah kata pun yang terucap.

Kombespol Budi memandang mereka semua satu per satu sebelum akhirnya bicara.

"Selamat siang, semuanya. Saya yakin kalian bertanya-tanya kenapa kami memanggil kalian ke sini. Santai saja, ini bukan interogasi atau apa pun. Kami hanya ingin membicarakan sesuatu yang penting."

Keramahan Kombespol Budi sedikit mengurangi ketegangan di ruangan itu. Mereka saling pandang, namun tetap menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan terima kasih atas kerja keras kalian dalam dua kasus besar yang baru saja terjadi di SMA Rimba Sakti. Kalian telah menunjukkan keberanian yang luar biasa, serta kemampuan analisis yang tak bisa dianggap remeh."

Rian mulai sedikit rileks, meletakkan tangan di belakang kursi sambil menghela napas lega, sementara Aisyah tetap duduk dengan punggung tegap, meski terlihat bahwa dia juga mulai merasa sedikit lebih nyaman.

"Ada beberapa hal yang ingin kami bahas dengan kalian hari ini. Namun sebelum itu, apakah kalian ada pertanyaan?" IPTU Bima berbicara dengan nada lembut, khususnya melihat ke arah Aisyah, berusaha memastikan bahwa putrinya dan teman-temannya tidak merasa terlalu tertekan.

Mereka berlima saling memandang, namun tidak ada yang berbicara. Akhirnya, Arga, sebagai pemimpin tidak resmi kelompok mereka, memberanikan diri untuk bertanya.

"Pak... apa ini tentang kasus yang sudah kami selesaikan?"

IPDA Arya, yang sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum. "Bukan hanya itu. Ini lebih besar dari yang kalian bayangkan."

Setelah Kombespol Budi memberi isyarat, IPTU Bima dan IPDA Arya melanjutkan pertanyaan mereka, kali ini lebih mendalam mengenai cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan dua kasus besar tersebut—penculikan dan kebakaran.

"Kalian berhasil memecahkan dua kasus besar yang selama ini polisi juga berusaha selesaikan. Itu bukan hal yang mudah, apalagi tanpa akses ke informasi yang jelas," Kombespol Budi mulai dengan nada yang sedikit lebih tajam. "Bagaimana kalian bisa mendapatkan bukti yang begitu kuat, terutama tanpa pengawasan CCTV resmi?"

Mendengar pertanyaan itu, atmosfer di dalam ruangan berubah. Rian, yang sebelumnya paling santai, kini terlihat tegang, dan Nadya bahkan mencengkeram ujung rok seragamnya erat-erat. Aisyah menatap lurus ke depan, sementara Arga dan Dimas saling melirik, tak berani berkata-kata. Mereka semua tahu bahwa yang mereka lakukan sebenarnya ilegal—mereka telah meretas CCTV sekolah, puskesmas, dan bahkan rumah Nadya. Hampir semua bukti yang mereka dapatkan berasal dari cara-cara yang tidak sah.

Melihat kelompok tersebut ragu-ragu, IPTU Bima berbicara dengan lebih lembut. "Kami meminta kalian menjawab dengan jujur. Kami tidak di sini untuk menekan, tetapi kejujuran adalah hal yang sangat penting."

Arga akhirnya memberanikan diri untuk bicara. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum berkata, "Pak... cara kami memang tidak... resmi. Dimas, dia jago IT, dan selama ini dia yang ngeretas CCTV dan sistem-sistem yang diperlukan."

Dimas, yang kini tak bisa menghindar, akhirnya mengangguk dengan ekspresi tegang. "Ya, betul, Pak. Saya yang meretas banyak CCTV. Untuk kasus pertama, saya ngehack CCTV sekolah, puskesmas, sama CCTV rumah Nadya. Selain itu, saya juga meretas data pelaku buat nemuin informasi penting."

"Dan untuk kasus kebakaran di gedung seni?" tanya IPDA Arya dengan tenang.

"Kami cuma ngeretas CCTV sekolah, Pak," lanjut Dimas. "Tapi kadang nggak perlu ngeretas, karena kami tinggal minta rekaman dari satpam sekolah."

Aisyah pun menambahkan, "Begitu kami punya bukti yang kuat, saya selalu memastikan untuk menyerahkannya ke Pak Bima agar polisi bisa segera turun tangan buat nangkap pelaku."

Semua polisi yang berada di ruangan itu saling bertukar pandang. Kombespol Budi tampak mengangguk pelan, seolah-olah sudah memperkirakan hal ini sebelumnya.

"Baik," katanya akhirnya. "Kami menghargai keterbukaan kalian. Meskipun cara kalian tidak sepenuhnya legal, hasilnya sangat membantu kami menyelesaikan dua kasus ini."

Ada perasaan lega yang mulai terasa di antara mereka berlima, meskipun rasa tegang masih belum sepenuhnya hilang. Kemudian Kombespol Budi melanjutkan pertanyaannya. "Sebelum kita melangkah lebih jauh, bisa kalian ceritakan peran masing-masing dalam menyelesaikan kasus-kasus ini?"

Mereka mulai menjelaskan satu per satu. Arga menjelaskan bahwa dia yang sering menyusun rencana dan mengoordinasikan semua langkah. Dimas, tentu saja, bertanggung jawab dalam aspek teknologi dan hacking. Aisyah, fokus pada penyusunan bukti konkret dan berbagai analisis jeniusnya. Nadya membantu mengumpulkan informasi dari lingkungan dan saksi-saksi yang relevan serta membantu dalam hal finansial, sementara Rian menjadi pengamat yang selalu mendengar gosip atau informasi tersembunyi di sekitar sekolah.

Setelah penjelasan itu, Kombespol Budi tersenyum. "Kalian bekerja seperti tim yang solid. Karena itulah, kami di kepolisian Malang merasa kalian pantas mendapatkan pengakuan dan penghargaan khusus. Tapi sebelum itu, saya ingin bertanya, biasanya kalian menyebut diri kalian apa? Apakah ada nama kelompok?"

Pertanyaan itu membuat mereka terdiam sejenak. Mereka saling pandang, kebingungan, karena memang selama ini mereka tidak pernah memikirkan nama kelompok.

"Nama kelompok?" Arga mengernyit, merasa aneh dengan pertanyaan itu.

Mereka semua tampak bingung, sampai tiba-tiba pintu ruangan diketuk. Seorang polisi masuk dan membisikkan sesuatu pada Kombespol Budi, yang segera berdiri dan berkata, "Maaf, kami dipanggil sebentar. Kalian istirahat dulu, ya."

Polisi-polisi itu kemudian meninggalkan ruangan, menyisakan mereka berlima. Begitu pintu tertutup, semua menghela napas lega. Ketegangan yang semula sangat mencekam perlahan mulai mereda.

"Astaga... rasanya deg-degan setengah mati," Rian melepaskan napas panjang dan bersandar di kursinya. "Kukira kita bakal ditangkep!"

"Nggak cuma kamu. Kita semua tegang!" jawab Nadya sambil mengusap dahi. "Tapi soal nama... kita beneran nggak punya ya?"

Rian, Dimas, dan Arga mulai bercanda soal nama-nama kelompok mereka, seperti biasa. "Gimana kalau 'Komplotan Pemburu'? Hahaha!" Rian tertawa sendiri dengan ide anehnya.

Dimas ikut-ikutan. "Atau 'KST'—Kelompok Super Tangkas!"

Arga hanya tertawa kecil. "Apaan coba? Kayak nama sirkus."

Candaan mereka semakin aneh dan tak masuk akal, sampai akhirnya Aisyah yang terlihat serius berkata, "Gimana kalau 'Penjaga Bayangan'?"

Rian langsung memutar matanya. "Penjaga Bayangan? Kita ini mau bikin nama kelompok detektif, bukan nama buat film horor, Syah."

Semua tertawa mendengar protes Rian yang berlebihan, kecuali Aisyah yang hanya mengangkat bahu tak peduli. Namun, dari arah Nadya, terdengar suara lembut yang memecah tawa mereka.

"Gimana kalau 'The RADAN'?"

Mereka semua terdiam sejenak, lalu memandang Nadya dengan penasaran. "Kenapa The RADAN?" tanya Arga.

Nadya tersenyum kecil. "Nama itu diambil dari huruf depan kita semua. R untuk Rian, A untuk Arga, D untuk Dimas, A lagi untuk Aisyah, dan N untuk aku, Nadya. Dan kesannya kayak 'radar', yang artinya kita seperti radar yang bisa menemukan pelaku."

Aisyah mengangguk, senang dengan penjelasan itu. "The RADAN... Iya, kalo diucap mirip-mirip kayak radar yang bisa menangkap semua sinyal dari pelaku."

Rian tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk dengan antusias. "Wah, keren juga. Aku suka. Kayak grup detektif profesional gitu!"

Dimas, yang biasanya paling logis, juga menyetujui ide tersebut. "Setuju. Namanya keren, dan ada artinya."

Arga pun tersenyum, merasa bahwa nama itu tepat. "Setauku, 'radan' juga punya arti di bahasa Finlandia, artinya 'jalur'. Jadi, secara nggak langsung kita ini berada di jalur yang sama, punya tujuan yang sama, buat menangkap pelaku."

Dengan penuh semangat, mereka semua akhirnya sepakat. "The RADAN," ucap Arga pelan. "Mulai sekarang, kita adalah The RADAN."

“Kalo ditanya yang mimpin?” tanya Nadya.

Seketika semua langsung menoleh ke arah Arga.

“Serius?” tanya Arga tidak percaya.

“Siapa lagi, Ga? Kita selama nyelesain 2 kasus ini selalu ada di bawah arahan kamu tanpa disadari,” jawab Aisyah yang diangguki setuju oleh Rian, Nadya, dan Dimas.

Dengan helaan napas Arga pun menjawab, “Ya udah, lagian semua udah terlanjur dan kita udah melangkah sampai ke sini.”

Beberapa menit setelah mereka mendiskusikan nama kelompok, pintu kembali terbuka dan Kombespol Budi, diikuti oleh IPTU Bima dan IPDA Arya, masuk ke ruangan dengan ekspresi yang lebih santai.

"Jadi, sudah dapat nama kelompoknya?" Kombespol Budi langsung bertanya dengan senyum di wajahnya.

Arga mengangguk dengan percaya diri, mewakili kelompoknya untuk menjawab. "Ya, Pak. Kami memutuskan untuk memakai nama 'The RADAN'. Nama ini diambil dari huruf depan kami berlima, R untuk Rian, A untuk Arga, D untuk Dimas, A untuk Aisyah, dan N untuk Nadya. Selain itu, kalau diucap sedikit mirip ke kata 'radar', karena kita selalu berusaha mencari pelaku, seperti radar yang mendeteksi target."

Polisi-polisi itu terlihat terkesan. IPTU Bima tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk pundak Arga. "Nama yang bagus. Kalian memang bekerja seperti radar, mendeteksi hal-hal yang orang lain lewatkan."

IPDA Arya menambahkan, "Kami menghargai kerja keras kalian. Dan, setelah berdiskusi dengan pimpinan, kami sepakat untuk memberikan pengakuan resmi kepada kalian berlima atas kontribusi kalian dalam dua kasus besar ini."

Mata mereka berlima langsung berbinar mendengar kabar itu.

Kombespol Budi melanjutkan dengan nada serius namun tetap ramah, "Tapi tentu saja, kami tak ingin kalian melanjutkan cara-cara ilegal seperti meretas CCTV atau sistem lainnya. Ke depan, jika ada kasus yang perlu diselesaikan, kami di kepolisian akan siap membantu. Kalian bisa akses informasi apapun secara resmi, tidak perlu ilegal lagi. Lalu, Kami juga ingin mengundang kalian ke kantor polisi hari Senin, jam 9 pagi," Kombespol Budi melanjutkan. "Akan ada upacara kecil, dan kalian akan menerima lencana serta pengakuan resmi dari kepolisian Malang."

Arga mengangguk mantap. "Terima kasih, Pak."

"Dan satu lagi," IPTU Bima menambahkan dengan nada bercanda, "Pastikan kalian datang dengan pakaian yang rapi. Nggak mungkin kalian datang ke upacara penghargaan dengan baju seadanya, kan?"

Rian langsung menyahut, "Pakaian bebas rapi atau seragam sekolah, Pak?"

IPDA Arya tertawa kecil. "Terserah kalian. Bebas rapi juga boleh, tapi kalau mau seragam sekolah biar kelihatan formal, silakan saja."

Mereka semua tertawa lagi, mencairkan sisa-sisa ketegangan yang masih terasa. Setelah itu, polisi mulai menjabat tangan satu per satu anggota The RADAN, memberikan pesan singkat namun bermakna.

"Sukses terus, The RADAN," ucap Kombespol Budi saat berjabat tangan dengan Arga.

Setelah semua polisi selesai memberikan ucapan dan pesan, pertemuan pun berakhir. Mereka berlima meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk—senang, bangga, dan sedikit lega. Ketika keluar dari kantor polisi, matahari sudah mulai turun, memberi mereka kesan seolah-olah hari panjang itu akhirnya mencapai akhirnya.

Namun, ketegangan masih belum sepenuhnya sirna. Saat mereka berjalan menuju mobil, Arga menatap ke arah Nadya yang kemudian tersenyum lebar.

"Baru kali ini rasanya lega banget habis ketemu polisi," ucap Nadya sambil tertawa kecil.

Rian, yang selalu bisa menemukan candaan di setiap situasi, menambahkan, "Iya, tapi ini baru permulaan. Nanti Senin kita pasti tegang lagi."

Sesampainya di rumah Nadya, mereka berlima akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam dan duduk-duduk sejenak. Awalnya mereka hendak berdiskusi serius tentang persiapan hari Senin, tapi suasana sudah terlalu santai untuk kembali tegang.

"Jadi, hari Senin pagi-pagi sebelum upacara kita minta surat izin dulu, ya?" Dimas memulai dengan nada ringan.

"Betul," jawab Aisyah sambil membuka ponselnya. "Biar kita nggak dianggap bolos pas upacara nanti."

Namun, setelah diskusi ringan itu, pembicaraan mereka justru beralih ke hal-hal yang lebih ringan. Rian mulai melemparkan candaan tentang bagaimana mereka harus tampil maksimal pada acara penghargaan.

"Kalau pakai seragam sekolah, jangan lupa sisiran dulu ya, Dim," ejek Rian sambil menatap Dimas yang cuek dengan rambut acaknya.

Dimas hanya tertawa kecil. "Sisiran apa? Begini juga udah keren."

"Kalau gitu, aku besok mau pakai jas. Biar kayak bos besar!" Rian berkata dengan nada bercanda sambil bergaya seperti eksekutif perusahaan besar.

Arga tertawa kecil sambil menggeleng-geleng. "Serah, Yan. Yang penting jangan sampai terlambat."

Nadya, yang dari tadi hanya mendengarkan, ikut tertawa sambil menyahut, "Jas? Emangnya kita mau ke resepsi pernikahan, Yan?"

Akhirnya, percakapan ringan itu terus berlanjut hingga sore mulai beranjak malam. Mereka semua merasa lega setelah seharian dipenuhi dengan ketegangan di kantor polisi. Hari itu berakhir dengan candaan dan rencana untuk menghadapi hari Senin yang akan datang.

Inilah awal perjalanan baru mereka. Awal mula dibentuknya The RADAN dengan rintangan besar lainnya yang sudah menunggu mereka di depan mata.

FLASHBACK OFF

...—o0o—...

1
ADZAL ZIAH
keren kak ceritanya... dukung karya aku juga ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!