Hari itu Jeri tak sengaja melihat Ryuna yang sedang menari sendirian di lapangan basket. Ia yang memang dasarnya iseng malah memvideokan gadis itu. Padahal kenal dengan Ryuna saja tidak.
"Lo harus jadi babu gue sampai kita lulus SMA."
"Hah?!" Ryuna kaget.
"Pasti seru." Jeri tersenyum misterius membuat Ryuna menduga lelaki itu akan menyiapkan seribu rencana untuk membuatnya sengsara.
"Seru apanya?! Fix sih, lo yang nggak waras di sini!" gadis itu menatap Jeri dengan pandangan menghujat.
Sejak hari itu, Ryuna harus selalu berurusan dengan Jeri yang senang sekali bukan hanya mengganggu namun juga menjadikannya babu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Gadis itu menyandar pada kursi dan memejamkan mata.
"Lo pernah ngerasa benar-benar frustasi?" ucap Ryuna tanpa sadar.
Jeri diam selama beberapa saat. Ada yang bilang jika ingin seseorang mempercayai kita, kita harus lebih dulu memberikan rasa percaya pada mereka kan?
"Dulu gue sempat pengen jadi pemain band atau kalau nggak ya penyanyi."
"Hm, lo punya bakat di sana." Ryuna menanggapi tanpa mengubah posisi.
"Kalau cuma itu nggak cukup, bokap nyokap gue pengen gue fokus di akademik."
Ryuna menatap ke arah Jeri. "Menurut gue itu nggak akan ganggu. Lo masih bisa fokus di keduanya, akademik dan apa yang lo mau."
"Pemikiran orangtua beda. Bokap punya bisnis. Mereka mau gue fokus ke hal itu. Jadi nyanyi cuma hobi doang. Setelah lulus SMA, gue harus kuliah, ngambil jurusan bisnis. Itu sebabnya gue harus rajin supaya bisa lolos seleksi masuk univ."
"Lo pasti bisa, udah punya gambaran masa depan lo. Meskipun ..., nggak sesuai seperti yang lo inginkan."
"Gitu ya? Lo gimana?" ini saatnya Jeri memancing Ryuna untuk berbicara.
Ryuna menggeleng, ia menatap langit malam dengan pandangan menerawang. "Nggak tahu, gambaran masa depan gue blur. Gue jarang diskusi sama bokap nyokap. Gue bingung mau jadi apa, habis lulus SMA gimana."
Gadis itu menghembuskan napas berat.
"Katanya remaja nggak usah sok-sokan stres, apalagi kalau semua masih ditanggung orang tua. Yang bilang gitu kayaknya harus gue timpuk pake buku ensiklopedia."
Lalu beberapa detik setelahnya, ia menatap Jeri. Ryuna merasa terlalu terbuka.
"Lo bisa lupain apa yang gue bilang tadi."
"Yang mana?" Jeri malah usil.
"Semua."
"Kenapa? Gue nggak mau."
Ryuna tak heran lagi, Jeri akan selalu menyebalkan. "Yaudah, simpan itu selama yang lo bisa."
Jeri tak menanggapi, ia mengambil sesuatu lagi dari kresek. Kemudian, lelaki itu membuka bungkusnya.
"Nih."
Ryuna menatap coklat yang diulurkan oleh Jeri, lalu keningnya mengernyit.
"Ada yang bilang coklat bagus buat naikin mood."
Tanpa banyak berkata, Ryuna hanya mengambil coklat itu.
"Sebenarnya gue nggak terlalu suka coklat," ucap Ryuna setelah menggigit coklat itu dan memakannya.
"Yaudah nggak usah lo makan. Muntahin."
"Tapi masih bisa gue makan."
Jeri hanya mendelik.
"Lo nggak seburuk yang gue kira," ucap Ryuna di sela memakan coklat.
"Kita baru kenal. Siapa tahu nanti lo mungkin bakal nyesel pernah ngucapin itu."
"Gue harap nggak." Ryuna menggigit coklatnya lagi.
"Lo tahu nggak selain gue yang ada di kafe, banyak anak-anak SMA yang ada di sana. Gue tadi juga lihat si Jimi kayaknya."
Kali ini Ryuna hampir tersedak. Ia terbatuk kecil beberapa kali sampai Jeri harus menepuk-nepuk pelan belakang lehernya.
"Hah? Sumpah?! Siapa lagi yang datang?" tanya Ryuna sambil menatap penasaran.
"Banyak, kafe itu udah kayak tempat tongkrongan anak SMA kita soalnya."
Sial! Ryuna tak tahu bahkan tak menyadari ada teman-temannya di sana, bahkan ketika di panggung. Bagaimana bisa?
Ryuna menelan ludah. Ok, stay calm. Ia bisa berlaga seolah bodo amat besok. Seolah malam ini tak pernah terjadi.
"Santai aja kali, gue bohong kok, hahaha lihat muka lo," ucap Jeri dengan santai dan diakhiri dengan tawa puasnya.
Gadis itu menatap Jeri dengan tatapan datar, ia benar-benar ingin memukul atau menjambak lelaki itu sekarang.