Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sudah dua hari selepas kepergian sang ibu Bisma masih saja murung.
Padahal segala bujuk rayu sudah Pamungkas dan Amanda kerahkan agar remaja itu bisa sedikit mengalihkan kesedihannya.
Pamungkas bahkan memberikan ponsel keluaran terbaru supaya bisa menyenangkan putra bungsunya itu, tapi tetap saja Bisma tak seceria biasanya.
"Udah dong Dek? Dari kemarin kata Bi Umi kamu makannya sedikit. Kalau kamu sakit gimana? Apa kamu mau liburan? Atau makan di restoran favoritmu?" bujuk Pamungkas kembali.
Bisma kembali menggeleng, remaja itu lalu meletakkan sendoknya dan berlalu dari meja makan.
"Tunggu Dek! Katakan sama papah kamu mau apa?"
Dada Bisma terasa sesak, sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tak menetes.
"Apa papah yakin bisa mengabulkan permintaan Bisma?" ucap remaja itu sembari menatap sang ayah penuh luka.
Tubuh Pamungkas menegang. Tanpa bertanya, Pamungkas tahu apa yang hendak di minta oleh putranya itu
"Dek—"
"Ngga bisa kan? Ya udah jangan menjanjikan apa-apa pah!"
Pamungkas akhirnya melepaskan tangan sang putra dan membiarkan Bisma berlalu pergi.
"Biar Amanda yang ngomong pah," sela Amanda lalu mengejar adiknya.
Amanda bergegas mengejar sang adik. Suasana rumahnya benar-benar telah berubah semenjak kepergian ibu mereka.
Tak ada kehangatan. Bahkan dalam hati kecilnya Amanda merindukan omelan ibunya yang selalu membuat suasana rumah terasa ramai.
"Dek tunggu!"
"Apalagi ka? Apa kakak mau bujuk aku juga? Kalian mau apa lagi dari aku hah! Enggak puaskan kakak telah membuat mamah pergi, sekarang kakak mau aku gimana?" pekik Bisma frustasi.
"Dek, apa maksud kamu?"
Bisma tersenyum sinis menatap sang kakak. Dia merogoh saku celananya dan melempar benda hitam kecil itu pada sang kakak.
"Ngga perlu sok pura-pura peduli sama aku kalau kakak itu cuma mentingin diri sendiri. Aku heran sama kamu ka. Kamu itu perempuan, kalau suatu saat kamu menikah, lalu suamimu selingkuh, apa kamu akan ikhlas? Picik sekali kamu sama mamah ka!"
Tubuh Amanda menegang saat melihat kamera yang pernah adiknya minta dari ayah mereka dulu.
"Itu terpasang di mobil remot yang kebetulan ada di ruang tamu saat kalian dengan tega menyakiti mamah! Ingat ka, surga ada di telapak kaki mamah kita. Kalau kamu berbuat seperti itu apa yakin hidup kamu akan baik-baik aja?"
Bisma lalu pergi meninggalkan sang kakak yang masih terdiam di tempatnya.
Sejak kemarin Bisma masih berusaha mencari keberadaan ponsel lamanya. Saat di sekolah dia tak menemukanya dan teman-temannya meyakinkan Bisma kalau dirinya membawa pulang ponselnya itu.
Oleh sebab itu dirinya mencarinya di setiap sudut rumah. Di sanalah tak sengaja ia menemukan mobil remotnya yang kemarin dia mainkan tapi lupa dia bereskan.
Bisma lalu melihat kamera pemberian sang ayah yang dia pasang di atas mobil mainannya. Betapa terkejutnya ia saat melihat rekaman di kamera itu.
Terlihat pertengkaran sang ibu dan ayah mereka. Apalagi dirinya melihat keberadaan sang kakak yang justru lebih membela ayahnya.
Amanda jatuh terduduk. Dia tak menyangka rahasia yang coba dia sembunyikan akhirnya ketahuan juga oleh sang adik.
Ia yakin Bisma akan membencinya sekarang. Benar menurut pepatah, serapat apa pun bangkai di tutupi pasti akan tercium juga. Entah mau bagaimana pun kita menyembunyikannya.
"Kamu belum berangkat Ka? Terus Bisma sama siapa?" tegur Pamungkas saat melihat anak sulungnya malah terduduk di teras.
"Bisma Pah," ucap Amanda lirih.
"Bisma udah tahu, aku yakin dia pasti marah dan benci sama Manda pah."
Sungguh Amanda tak bermaksud memisahkan adiknya dari sang ibu. Dia hanya berpikir realistis jika mereka hidup dengan ibu mereka yang tak berpenghasilan, Amanda yakin mereka akan terlunta-lunta, dan dirinya tak mau itu terjadi.
.
.
Bisma memilih membolos sekolah, sejak kemarin dia berusaha mengingat-ingat rumah tempat tinggal Zahra.
Selama ini dirinya jarang sekali main ke sana. Sekarang dia menyesal karena kerap kali menolak ajakan sang ibu.
Dirinya juga tak tahu harus menggunakan kendaraan apa ke sana. Jika meminta sopir sang ayah dirinya yakin Pak Ijan pasti tak akan mau mengantarnya.
Namun, Bisma bisa bernapas lega karena ia yakin jika sang ibu berada di tempat yang aman.
Dirinya juga tengah bimbang, apa harus ikut dengan sang ibu atau ayahnya. Meski masih remaja Bisma tahu apa yang sang kakak pikirkan adalah demi masa depannya, tapi ia merindukan sang ibu. Dia juga merasa sedih atas apa yang terjadi dengan ibunya.
"Bisma?" panggil seseorang yang membuat Bisma menoleh.
Wajahnya menatap datar pada wanita yang menghampirinya dengan wajah tersenyum. Jika dulu dia akan menyambut wanita itu dengan ramah, kini tidak lagi. Bisma benci wanita itu, sebab karena dia adalah penyebab luka ibunya.
"Kenapa kamu di sini? Kamu enggak sekolah?" ucap wanita itu lembut.
"Jangan begini sayang, papah pasti cemas—"
"Apa tante puas?" ucap Bisma yang muak dengan sikap Sisil yang menurutnya bermuka dua.
"Apa maksud kamu Bisma?" jawab Sisil cemas, bagaimana tidak cemas jika kini dirinya tengah bersama teman-teman langganan salonnya.
"Tante udah rebut papah dari mamah aku. Tante udah buat mamah pergi dari rumah, apa tante puas?"
"Bisma," lirih Sisil dengan wajah pias. Apalagi dia mulai mendengar bisik-bisik rekan-rekannya.
"Kenapa tante jahat sama mamah? Kurang baik apa mamah sama tante, kenapa tante justru merebut papah!" bentak Bisma dan berlalu dari hadapan Sisil.
"Bisma?" panggil Sisil yang di abaikan oleh remaja itu.
"Bukankah itu anaknya jeng Nur ya jeng Sisil?"
Sisil tercekat, kebanyakan dari mereka mengenal Nur, meski Nur jarang sekali perawatan, tapi beberapa kali Sisil pernah mengajak Nur bergabung dengan teman-teman sosialitanya.
"Apa ini Jeng? Kamu beneran merusak rumah tangga sahabatmu?" sambung teman Sisil sinis.
"Aku—"
"Kami benar-benar tak menyangka Jeng, jujur saya kecewa, kita ini berteman baik, kamu tahu bagaimana kami membenci wanita perusak rumah tangga orang kan?" sela rekan Sisil yang lain.
"Kalian salah paham. Aku—"
"Alah sudahlah, ngga mungkin tiba-tiba anak itu mengataimu. Menyesal kami mengenalmu!"
Mereka lantas berlalu meninggalkan Sisil karena kecewa. Wanita yang mereka anggap baik itu ternyata mempunyai sifat yang buruk.
Sisil jatuh terduduk karena tak menyangka hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi. Dirinya akan di anggap hina karena menjadi pelakor, terlebih lagi di rumah tangga sahabatnya sendiri.
Dengan tubuh gemetaran Sisil berusaha menghubungi Pamungkas. Untungnya panggilan itu segera di tanggapi oleh kekasihnya itu.
"Halo Sil? Syukurlah akhirnya kamu menghubungi mas. Ada apa sayang?" tanya Pamungkas lembut.
"Bisma mas," ucap Sisil dengan suara tercekat.
"Kamu kenapa sayang, kenapa kamu menangis? Ada apa dengan Bisma?" di seberang sana Pamungkas merasa panik. Dia khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap putra bungsunya itu.
"Bisma membuatku terhina di depan teman-temanku mas. Nama baikku hancur," adu Sisil tak tahu diri.
"Apa? Maksud kamu gimana?"
.
.
.
Lanjut