NovelToon NovelToon
Seharusnya

Seharusnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lu'lu Il Azizi

Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Sekarang!

Aku berdiri bersiap melanjutkan tugas, Laras pun melakukan hal yang sama. Kami mulai membuka kardus-kardus kecil berisi botol kaca, berbagai motif.

“bukankah kau pernah berjanji untuk bercerita tentang Ain.”ucapnya memecah hening, tanpa menoleh ke arahku. Setelah gurauanku yang terakhir, kami sibuk dengan tugas masing-masing.

Ku garuk rambut bagian samping, mengangkat bahu di sertai tarikan nafas panjang. Wajah Ain langsung muncul dalam pikiranku.

”rumit, Ass.”ucapku sekaligus menghentikan gerak tangan.

Laras memandang ke arahku.”rumit!!”balasnya, dengan mata menyuruhku untuk segera bercerita.

Akhirnya aku mulai bercerita. Cukup sulit untuk mengawalinya darimana, karena tentang Ain begitu komplek. Aku tidak berniat menyembunyikan apapun, apa yang sedang aku rasakan, seperti apa harapanku, bagaimana respon Ain, termasuk komunikasi kami yang sedang buruk, lalu terakhir tentang sulitnya menjaga janji pada diri sendiri. Aku mengungkapkan semua, entah kenapa aku merasa jika Laras adalah orang yang dapat di percaya, aku bahkan sedikit menceritakan masa laluku. Suasana kembali hening ketika aku berhenti bicara.

Awalnya Laras mendengarkan dengan tangan tetap sibuk menata botol kaca di dalam etalase, mengelompokkan juga memilah sesuai ukuran dan motif. Entah sejak kapan aku tidak menyadarinya, dia sudah terdiam memandang fokus ke arahku. Aku tidak bisa mendeskripsikan arti di balik ekspresi wajahnya itu, padahal aku banyak membumbui ceritaku dengan gurauan.

“kenapa kau menatapku seperti itu Ass?!”tanyaku setelah sadar jika sedang di perhatikan dengan ekspresi aneh itu. Laras mendadak kaget karena tiba-tiba aku memperhatikan raut wajahnya.

”tidak apa-apa mas.” jawabnya sedikit kikuk, seraya membuang muka.

“banyak hal yang sudah kau lewati mas..”dia seperti menampakan rasa iba.

“kau pasti nyesel mendengar ceritaku, hehehe.”

“mungkin...”wajahnya menunduk, seakan takut jika mata kami bertemu.

“ayolah Ass.. kenapa wajahmu terlihat sedih, aku yang jadi pemeran utama saja santai.”kelahku, sangat tidak nyaman jika suasana seperti ini terus berlanjut.

“apa yang akan terjadi, jika di akhir nanti kau tidak bisa bersama Ain?”Laras bertanya ragu. Kini kedua matanya lah yang pertama menatapku.

Deg deg deg...

Aku terdiam. Laras termangu menunggu gerak bibirku. Aku mengalihkan pandangan dari wajahnya, hatiku berdenyut membayangkan kemungkinan itu.

“mungkin.... seperti kardus, lakban, juga plastik yang ada di sekeliling kita ini, hehe-”aku tertawa.

namun tidak dengan Laras, dia sadar jika tawaku hanya sebuah pengalihan.“maaf. Aku bertanya hal yang tak perlu.”

Aku mencoba mencairkan kembali suasana, namun raut wajah Laras tidak juga kunjung santai. Kami melanjutkan tugas dengan lebih banyak diam, habis maghrib akhirnya kami selesai, tinggal membersihkan kardus-kardus yang masih berserakan. Namun Laras mengajak pulang, dia berkata bisa menyelesaikannya sendiri besok, bersama karyawati yang sudah ia dapatkan.

***

Sudah berapa kali aku mengetuk tulisan.”tunda 10 menit.”pada layar HP, alarm yang ku setting pukul 05.00 tidak mampu membangunkan ku tepat waktu, 30 menit berikutnya barulah aku bangkit, beranjak dan berjalan menuju kamar mandi dengan terhuyung-huyung.

Masih dengan rutinitas yang sama di setiap paginya. Secangkir kopi racikan sendiri selalu menjadi pembuka untuk lambungku, tentunya setelah air putih. Sudah beberapa hari aku tidak bertukar pesan dengan Ain, seberapa banyak pun aku berniat menyederhanakannya, tetap saja rindu ini tidak mau reda.

Aku hanya mampu menekan dan menahan, bukan menghilangkannya.

Karena tugasku untuk toko Laras sudah selesai, otakku merasa sedikit lebih lega, satu beban hilang. Tapi, karena hal itu pula yang mungkin membuat bayangan Ain kembali menari-nari di dalam pikiran, debarannya bukan lagi sekedar tentang mampu tidaknya aku menahan diri sampai waktu yang tepat tiba, namun juga tentang tanda tanya besar, apakah Ain telah membuka hati untuk seseorang.

Hati, kau memang sangat menyebalkan!

Tidak ingin terlarut dalam fantasi ku sendiri, aku segera menyibukkan diri dengan membersihkan seisi ruangan.

Hari ini Laksa libur, juga tidak ada tugas meracik apapun karena bibit-bibit parfum yang kami order belum datang.”Vik, pesankan sesuatu buat sarapan kita.”ku kirim pesan dari gudang, sedikit lagi dan aku selesai membuat gudang terlihat lebih rapi. Botol bekas, barang retur, serta alat-alat yang sudah rusak, ku kumpulkan dalam satu tempat sesuai jenisnya.

Aku menaruh sapu lantai pada pojok gudang, sekaligus menandai kegiatan bersih-bersih sudah selesai. Vika mengirim pesan jika sarapan sudah datang, aku bergegas menuju kesana membawa dua piring kosong juga sendoknya.

“dapat sarapan apa kita?”celotehku menaruh piring di atas etalase lalu mengambil dua botol air mineral dingin sebelum bergabung dengan Vika, duduk santai di atas karpet warna hijau.

“geprek.”jawabnya mulai membuka kemasan, sendok yang ku bawa tak berfungsi, karena kami makan menggunakan tangan, kami mulai menjamah menu sarapan.

Masih seperti hari-hari sebelumnya, watak judes, cerewet, dan hobinya yang kepo hilang. Vika lebih sering diam, tidak terlalu banyak protes, juga HP yang tidak pernah lepas dari pandangannya. Aku melirik ke dalam etalase tempat botol kaca, berdebu. Begitu pula botol kaleng berisi aneka jenis varian parfum yang berbaris di dinding etalase setebal 15CM, juga tidak kalah berdebu, itu sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi, karena Vika selalu rajin jika itu tentang kebersihan. Aku menghela nafas panjang, kehabisan bahan untuk bicara dengannya, karena setiap kali aku mencoba menggodanya, hanya jawaban datar juga ekspresi tidak peduli yang aku terima. Entahlah!

“hallo-, ada apa bos.”sapaku setelah mengangkat telpon dari pak bos. Kami membicarakan seputar toko pak herman, dia cukup terkesan waktu aku berkata hampir 100% yang menjalankannya adalah Laras, anak pak herman. Di akhir pembicaraan kami, pak bos memberi kabar jika 3hari lagi kita di undang untuk datang ke rumah pak herman, acara tasyakuran.

***

Pukul 19.21, aku masih duduk satu ruangan dengan Vika, menjaga toko. Sejak habis maghrib kami sibuk dengan gadget masing-masing, hanya berganti posisi ketika ada pembeli datang.

“kau masih bertengkar dengan Reno?”aku membuka pertanyaan saat pembeli terakhir pergi dengan barang yang sudah dia tenteng. Tidak ada jawaban darinya, dia terus saja fokus pada layar HP, seperti hari-hari sebelumnya dia sengaja menghindari topik ini.

Kali ini aku sedikit memaksa dengan pertanyaan yang lebih menusuk.“bagimu, siapa Laksa?”

akhirnya Vika menanggapi. Menoleh ke arahku, sedikit melotot.”apa maksudmu!”sergahnya sewot.

Merasa sekarang adalah waktu yang tepat, aku mulai bicara tentang intuisiku. Vika mendengarkan dengan wajah menahan marah, aku tidak peduli. kami mulai berdebat, dia kekeh menepis ucapanku dan aku terus menjelaskan apa yang ku lihat tiap harinya, dengan sedikit menekan.

Perdebatan kami terhenti karena ada pembeli, Vika bersiap melayani. Bersamaan dengan itu, satu pesan masuk pada HP ku.

”mas, sibuk?”Ain yang mengirim pesan, hatiku berdebar.

aku bedecak.”kenapa harus sekarang!”batinku, menarik nafas panjang setelah membaca pesan itu. Aku terlanjur sudah terpancing dengan masalah Vika, belum bisa fokus dengan layar HP, pandanganku masih memperhatikan Vika yang sedang memberikan uang kembalian pada pembeli, wajahnya masih menahan emosi, sesaat setelah pembeli pergi dan hilang dari pandangan kami. Aku berniat menutup toko.”malam ini harus kelar.”desakku dalam hati. Mengabaikan pesan yang aku terima dari Ain.

Vika yang paham dengan tindakanku langsung protes.“apa maksudmu El?”sergahnya.

“kita keluar cari tempat yang pas.”ajak ku bernada memaksa, awalnya Vika menolak tapi aku terus memaksa, kami lanjut berdebat sambil menutup pintu toko. Sepuluh menit yang cukup menegangkan.

“aku yang akan bertanggung jawab!”tutup ku, merujuk pada, jika pak bos komplain kenapa toko harus tutup sebelum waktunya.

akhirnya Vika mengalah, dia terdiam. Dan aku anggap itu tanda persetujuan darinya.

1
Riyana Dhani@89
/Good//Heart//Heart//Heart/
mr sabife
wahh alur ceritanya
mr sabife
luar biasa ceritnya
mr sabife
bagus dan menarik
mr sabife
bgusssss bnget
mr sabife
Luar biasa
queen.chaa
semangat terus othorr 🙌🏻
Charles Burns
menisan 45menit biar setengah babak
Dale Jackson
muach♥️♥️
Dale Jackson
sedang nganggur le
Mary Pollard
kelihatannya
Wayne Jefferson
gilani mas
Wayne Jefferson
siap ndoro
Alexander Foster
mubadzir woii
Alexander Foster
mas koprohh ihhh
Jonathan Barnes
kepo kek dora
Andrew Martinez
emoh itu apa?
Andrew Martinez
aku gpp kok kak
Andrew Martinez
kroco noob
Jonathon Delgado
hemmbbbb
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!