Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Laura dan Novel
Setelah perdebatan yang cukup memakan energi dengan Hana, aku kembali ke kebun apel, disana ada Laura yang duduk di gazebo, sepertinya dia menungguku. Aku dan Laura bercengkrama, terkadang juga Laura menyinggung tentang Ringa. Jujur saja, aku mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah lain, karena dengan membahas Ringa, akan menyakiti hati Laura.
Laura juga bertanya tentang Hana dan aku menjelaskan perdebatan kami, aku meminta penjelasan mengapa dia memfitnahku, tapi tidak ada titik terang. Lalu, Laura bercerita tentang buku pertama yang dia baca. Demi-Gods and Semi-Devils, novel karya Jing Wong.
Aku mengamati Laura yang duduk di gazebo, matanya bercahaya saat dia mulai bercerita tentang novel pertama yang dia baca, Demi-Gods and Semi-Devils, karya Jing Wong. Laura tampak begitu antusias dan terlarut dalam ceritanya, seakan-akan dia kembali ke dunia yang digambarkan dalam novel tersebut.
Laura mulai menjelaskan bahwa Demi-Gods and Semi-Devils adalah sebuah karya epik yang berlatarkan zaman dinasti Song di Tiongkok. Novel ini mengisahkan kehidupan tiga tokoh utama: Qiao Feng, seorang ketua dari sekte pengemis yang terkenal dengan kemampuannya dalam seni bela diri; Duan Yu, seorang pangeran muda dari kerajaan Dali yang lebih memilih belajar sastra daripada seni bela diri; dan Xu Zhu, seorang biksu yang menjalani kehidupan yang penuh dengan dilema moral.
"Qiao Feng," kata Laura dengan mata berkilauan, "adalah karakter yang sangat kompleks. Dia adalah pahlawan sejati dengan hati yang murni, tetapi nasibnya penuh dengan tragedi. Dia dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia sebenarnya bukan orang Han, melainkan keturunan Khitan, yang selama ini dianggap sebagai musuh oleh bangsanya sendiri."
Aku mendengarkan dengan seksama, merasa terhanyut oleh cara Laura menggambarkan Qiao Feng. Aku bisa merasakan betapa dia terhubung dengan karakter ini, seolah-olah dia merasakan setiap penderitaan dan perjuangannya. Laura kemudian beralih ke Duan Yu.
"Duan Yu adalah karakter yang sangat berbeda," lanjutnya. "Dia awalnya tidak tertarik pada seni bela diri dan lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan puisi. Tetapi takdir membawanya ke dalam dunia yang penuh dengan konflik dan pertarungan. Dalam perjalanannya, Duan Yu jatuh cinta pada Wang Yuyan, seorang wanita cantik yang sudah menjadi obsesi baginya sejak pertama kali dia melihatnya."
Aku mengangguk, mengerti bahwa cerita tentang cinta yang tak terbalas selalu memiliki daya tarik tersendiri. Duan Yu, dengan segala ketidaksukaannya pada kekerasan dan pilihannya untuk cinta, terasa sangat manusiawi dan dekat. Laura kemudian berbicara tentang Xu Zhu, yang kisahnya tidak kalah menarik.
"Xu Zhu adalah seorang biksu muda yang kehidupannya berubah drastis ketika dia tanpa sengaja melanggar sumpah selibatnya dan terlibat dalam konflik besar di dunia persilatan. Dia menemukan rahasia-rahasia tentang asal-usulnya dan harus memutuskan jalan hidup yang akan dia tempuh."
Laura berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Yang paling menarik dari novel ini adalah bagaimana ketiga karakter ini, meskipun memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda, akhirnya saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Mereka belajar tentang persahabatan, kehormatan, dan pengorbanan."
Aku terpesona dengan cara Laura menjelaskan novel tersebut. Cara dia bercerita membuatku ingin tahu lebih banyak tentang dunia yang diciptakan oleh Jing Wong. Aku bertanya, "Apa yang paling kamu sukai dari novel ini, Laura?"
Laura tersenyum, matanya berkilauan dengan antusiasme. "Aku sangat menyukai bagaimana Jing Wong menggambarkan kompleksitas manusia dan hubungan antar karakter. Tidak ada yang benar-benar baik atau jahat dalam novel ini. Semua karakter memiliki motivasi dan perjuangan mereka sendiri. Itu membuat cerita ini terasa sangat hidup dan realistis."
Aku mengangguk, mencoba memahami kedalaman yang dijelaskan Laura. "Apakah ada bagian tertentu dari novel ini yang sangat berkesan bagimu?"
Laura merenung sejenak sebelum menjawab, "Ya, ada satu bagian dimana Qiao Feng harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang paling dia percayai telah mengkhianatinya. Dia harus membuat keputusan sulit antara balas dendam dan memaafkan. Itu adalah momen yang sangat emosional dan menggambarkan kekuatan dan kelemahan manusia dengan sangat baik."
Aku bisa merasakan emosi dalam suara Laura saat dia menceritakan bagian itu. "Bagaimana dengan Duan Yu dan Wang Yuyan? Apakah mereka akhirnya bersama?"
Laura menggelengkan kepalanya pelan. "Itu adalah salah satu bagian yang paling menyedihkan. Meskipun Duan Yu mencintai Wang Yuyan dengan sepenuh hati, takdir tidak mempertemukan mereka. Itu mengajarkan kita bahwa tidak semua cinta berakhir bahagia, dan kadang-kadang, kita harus menerima kenyataan yang pahit."
Aku merasa terhanyut dalam cerita Laura, seolah-olah aku sendiri berada dalam dunia novel tersebut. "Bagaimana dengan Xu Zhu? Apakah dia menemukan kedamaian dalam hidupnya?"
Laura tersenyum lembut. "Xu Zhu adalah karakter yang mengalami transformasi terbesar. Dari seorang biksu yang polos dan naif, dia berubah menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Meskipun dia menghadapi banyak tantangan dan dilema, dia akhirnya menemukan kedamaian dalam menerima dirinya sendiri dan jalan hidup yang dia pilih."
Aku terkesan dengan cara Laura menguraikan perjalanan hidup Xu Zhu. "Apa yang menurutmu membuat novel ini begitu istimewa, Laura?"
Laura menatapku dengan penuh keseriusan. "Novel ini mengajarkan kita tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang bagaimana kita menghadapi konflik dan tantangan dalam hidup. Karakter-karakternya menunjukkan bahwa tidak ada yang sempurna, dan kita semua memiliki kelemahan dan kekuatan kita sendiri. Itu yang membuat cerita ini begitu mengena dan relevan."
Aku tersenyum, merasa terinspirasi oleh penjelasan Laura. "Terima kasih telah berbagi cerita ini, Laura. Aku bisa melihat betapa berartinya novel ini bagimu."
Laura membalas senyumku, matanya berkilauan dengan kehangatan. "Terima kasih juga, Ryu, karena sudah mendengarkan. Kadang-kadang, berbagi cerita seperti ini membantu kita memahami lebih banyak tentang diri kita sendiri dan orang lain."
Laura melanjutkan ceritanya dengan semangat yang tak berkurang. Dia berbicara tentang latar belakang sejarah dan budaya yang kaya dalam Demi-Gods and Semi-Devils, dan bagaimana Jing Wong berhasil menggabungkan fakta sejarah dengan fiksi yang mendalam.
“Yang juga sangat menarik adalah bagaimana Jing Wong menggambarkan dunia persilatan dengan begitu rinci,” kata Laura. “Dia tidak hanya fokus pada pertarungan dan seni bela diri, tetapi juga pada nilai-nilai moral yang mendasari dunia tersebut. Ada kode etik yang harus diikuti, dan seringkali, karakter-karakter ini harus membuat keputusan sulit yang menantang prinsip-prinsip mereka.”
Aku bertanya, “Apakah ada nilai-nilai tertentu yang menurutmu sangat menonjol dalam novel ini?”
Laura mengangguk. “Ya, salah satu nilai yang sangat menonjol adalah kehormatan. Para karakter sering dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih antara melakukan hal yang benar atau menyerah pada godaan dan kepentingan pribadi. Kehormatan mereka sering dipertaruhkan, dan keputusan mereka mencerminkan karakter sejati mereka. Selain itu, persahabatan dan kesetiaan juga menjadi tema sentral dalam cerita ini. Karakter-karakternya sering berkorban demi teman-teman mereka, menunjukkan betapa kuatnya ikatan persahabatan tersebut.”
Aku merenung sejenak, mencerna kata-kata Laura. “Sepertinya novel ini tidak hanya menyuguhkan cerita yang menarik, tapi juga memberikan pelajaran moral yang mendalam.”
Laura tersenyum. “Benar sekali, Ryu. Itulah yang membuatnya begitu berkesan bagi banyak pembaca. Novel ini mengajarkan kita untuk tetap setia pada prinsip-prinsip kita, menghargai persahabatan, dan berjuang demi kehormatan dan kebenaran.”
Dia melanjutkan dengan menggambarkan beberapa adegan pertempuran yang paling menegangkan. “Ada satu pertarungan besar antara Qiao Feng dan musuh-musuhnya, di mana dia hampir kalah karena jumlah musuh yang begitu banyak. Tapi dengan keahlian bela dirinya dan semangat juangnya yang tak kenal menyerah, dia berhasil mengalahkan mereka. Adegan ini sangat mendebarkan dan menunjukkan betapa kuatnya karakter Qiao Feng.”
Aku bisa melihat bagaimana Laura begitu terpesona oleh kekuatan dan ketangguhan karakter ini. “Qiao Feng sepertinya adalah seorang pahlawan yang sangat inspiratif,” kataku.
“Memang benar,” jawab Laura. “Meskipun dia mengalami banyak penderitaan dan pengkhianatan, dia tetap teguh dan tidak pernah menyerah. Itu yang membuatnya begitu luar biasa.”
Laura juga menyebutkan bahwa novel ini memiliki banyak lapisan cerita yang saling berkaitan. “Setiap karakter memiliki cerita mereka sendiri, dan seringkali, jalan cerita mereka saling bersilangan dengan cara yang tak terduga. Itu membuat cerita ini sangat dinamis dan menarik.”
Aku terpesona oleh kerumitan dan kedalaman yang digambarkan Laura. “Apakah kamu pernah merasa bahwa beberapa bagian dari novel ini mencerminkan pengalaman hidupmu sendiri?”
Laura tertawa pelan, lalu menjawab dengan lembut, “Tentu saja, Ryu. Banyak bagian dari cerita ini yang mengingatkanku pada perjuangan dan keputusan sulit dalam hidupku. Misalnya, bagaimana Qiao Feng harus menghadapi kenyataan pahit tentang asal-usulnya, itu membuatku berpikir tentang bagaimana kita semua memiliki masa lalu yang kadang sulit diterima, tetapi kita harus belajar untuk menerimanya dan melanjutkan hidup.”
Aku merasakan kedalaman emosi dalam kata-kata Laura dan menyadari betapa pentingnya novel ini baginya. “Aku bisa melihat betapa besar pengaruh novel ini terhadapmu, Laura. Terima kasih telah berbagi semua ini denganku.”
Laura tersenyum hangat, matanya bercahaya dengan rasa syukur. “Terima kasih juga, Ryu, karena sudah mendengarkan. Berbicara tentang novel ini membuatku merasa lebih dekat denganmu.”
Aku merasa ada ikatan baru yang terbentuk antara kami, sebuah pemahaman dan penghargaan yang lebih dalam. Dalam percakapan ini, aku tidak hanya mengenal lebih banyak tentang Demi-Gods and Semi-Devils, tetapi juga tentang Laura dan bagaimana dia memandang dunia. Ini adalah momen yang berharga, dan aku merasa beruntung bisa berbagi dengannya.
Laura menyukai novel begitu besar, seperti kecintaanku pada apel. Tidak ada yang lebih kucintai, daripada apel itu sendiri.