Dihadapkan pada kenyataan bahwa lelaki yang dicintai tidak bertanggung jawab, Alana nekat bunuh diri. Namun, ibu Daffa memohon kepada Gafi, anak tertuanya, untuk menikahi Alana menggantikan adiknya, padahal lelaki itu sudah punya kekasih.
Gafi terpaksa setuju demi menyelamatkan aib keluarga dan anak dalam kandungan Alana. Namun, Gafi membuat persyaratan, yaitu keduanya akan bercerai setelah Alana melahirkan.
Sesuai kesepakatan yang telah dibuat, keduanya pun bercerai. Alana membawa anaknya dan hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Daffa dan Gafi kembali untuk menagih cinta yang dibuang dahulu.
Persaingan cinta antara dua bersaudara, siapakah yang menjadi pilihan Alana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Dua
Gafi menjalankan mobilnya menuju apartemen Naura. Dia sengaja tak mengatakan tentang kedatangannya. Ingin menyelesaikan semua dengan baik. Bagaimana hubungan mereka yang terjalin hampir empat tahun bukan waktu yang singkat.
Sampai di apartemen, Gafi langsung masuk ke lift dan memencet tombol lantai berapa yang akan dituju. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tak tau harus bicara apa agar Naura bisa menerima keputusan ini.
Gafi langsung membuka pintu apartemen dengan akses yang dia miliki. Apartemen ini memang miliknya. Dia sering menghabiskan waktu bersama dengan Naura di sini.
Gafi terkejut melihat ruang tamu yang sangat berantakan. Biasanya selalu rapi dan bersih jika dia datang.
"Kenapa berantakan sekali? Apa sebenarnya begini keseharian Naura?" tanya Gafi pada diri sendiri.
Melihat apartemen yang sunyi, Gafi menggelengkan kepalanya. Jam telah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi mengapa apartemen masih terlihat sunyi dan kotor.
"Apa Naura belum bangun, padahal sudah jam sebelas. Kenapa bisa tidur hingga siang begini?" Gafi masih bertanya dengan diri sendiri.
Gafi berjalan menuju kamar. Langkahnya sempat terhenti. Dia sebenarnya segan masuk kamar, tapi tak mungkin berteriak memanggil Naura. Wanitanya itu sangat sulit dibangunkan jika telah tidur.
Dia mencoba membuka pintu, beruntung tak di kunci. Kamar tampak gelap. Gafi lalu menghidupkan lampu. Pemandangan yang dia lihat di depan mata begitu mengejutkan.
"Pertunjukan yang sangat bagus," ucap Gafi dengan suara lantang dan tepuk tangan yang keras.
Hal itu membuat Naura terbangun. Dia tampak sangat syok melihat Gafi yang berdiri dengan mata menatap tajam ke arah dirinya.
"Jadi ini yang sering kau lakukan dibelakangku? Dasar jalang!" ucap Gafi dengan emosi yang tak tertahankan.
Apa yang dia lihat di depan mata saat ini begitu mengejutkan. Naura sedang tidur dengan adiknya Daffa.
Gafi mendekati ranjang dan menarik selimut yang menutupi tubuh Daffa. Hal yang menjijikan, ternyata adiknya tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya.
Daffa yang terkejut langsung membuka mata, dan semakin syok melihat Gafi yang berdiri di hadapannya.
Gafi tak ingin mengotori tangannya dengan memukul adiknya. Dia ingin melakukan sesuatu yang akan membuat pria itu menyesali perbuatannya itu seumur hidup.
Naura turun dari ranjang dan mengutip pakaiannya yang berserak di lantai. Dia lalu mengenakannya.
"Gafi, ini tak seperti yang kamu bayangkan! Kemarin Daffa datang karena merasa kurang sehat, sehingga aku menawari diri agar dia menginap di sini saja," ucap Naura dengan suara sendu agar Gafi terenyuh.
"Mengobatinya dengan berolahraga di atas ranjang! Kau pikir aku bodoh? Dengan tubuh telanjang kalian berdua sudah bisa menjawab apa yang terjadi!" ucap Gafi dengan suara lantang.
Daffa memungut celananya dan lalu memakainya. Dia tampaknya tak ada lagi rasa malu pada abangnya itu.
"Kami memang habis bercinta, Abang mau apa? Mau bunuh aku atau Naura? Silakan!" ucap Daffa menantang abangnya itu.
Tangan Gafi sudah terangkat ke atas, tapi di tahannya. Dia sudah janji dalam hati, tak akan mengotori tangannya.
"Aku tak akan melakukan hal bodoh itu. Membunuhmu itu terlalu ringan, tapi aku akan membunuhmu secara perlahan. Apa yang ada dalam pikiranmu saat tidur dengan kekasih abangmu sendiri?" tanya Gafi dengan penuh penekanan.
Bukannya merasa bersalah dengan apa yang dia dan Naura lakukan, justru Daffa tertawa. Dia memandang sinis ke arah abangnya itu.
"Aku hanya ingin menghibur kekasihmu. Sejak menikah, kau melupakannya. Padahal dia telah berkorban demi membiarkan kau menikah. Tapi seolah kau lupa dengan janjimu. Semua ini bukan murni kesalahan Naura. Cobalah introspeksi dirimu, Bang. Kenapa dia melakukan ini? Semua juga karena kamu! Kau yang mulai mencampakkan dirinya sehingga dia mulai berpikir mencari tempat bersandar lain. Jangan egois, jika kau bisa tidur dengan wanita lain bahkan menikah, kenapa Naura tak boleh?" tanya Daffa dengan senyum liciknya.
"Baiklah, jika kau memang telah mendapatkan sandaran baru, mulai detik ini kita tak ada hubungan lagi. Bersandarlah dengan pria yang kau anggap tepat!" ucap Gafi.
Setelah itu Gafi berjalan meninggalkan apartemen itu. Dia takut jika lebih lama berada di antara dua pengkhianat itu darahnya akan mendidih dan pasti emosi.
Namun, baru saja dia hendak membuka pintu, tangannya ditahan seseorang.
"Gafi, aku tak mau putus. Maafkan aku ... aku khilaf. Aku janji tak akan mengulanginya," ucap Naura dengan suara sendunya.
"Tapi aku yang tak ingin bersamamu lagi. Aku ingin hubungan kita berakhir!" balas Gafi.
Naura tak bisa terima, dia memohon maaf dengan menangis. Pegangan tangannya dilepaskan Gafi. Dia tetap berjalan, tak peduli teriakan Naura yang memanggil namanya. Wanita itu tak bisa mengejarnya karena tak menggunakan baju.
Gafi langsung masuk ke mobilnya. Dia meninju setir melampiaskan emosinya.
"Dasar pengkhianat. Lihat saja Daffa, apa yang akan kamu lakukan jika aku tak mengirimkan kamu uang lagi. Sesakitnya pengkhianat, yang paling menyakitkan dilakukan orang terdekat dan tersayang kita!" ucap Gafi bermonolog.