(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bocah yang Sudah Dewasa
Edward mengedarkan padangannya, melihat selokan kecil yang ditunjuk Bagas. Sepertinya ia mulai mengingat sedikit-sedikit cerita yang terjadi di situ.
“Waktu itu kita buru-buru harus kembali ke klinik karena ada warga yang mengalami kecelakaan di tempat kerja dan elo maksa yang bawa motor padahal belum mahir. Di perempatan ini akhirnya kita tabrakan sama anak kecil yang sedang ngebut dengan sepedanya. Dia masuk ke dalam parit, roda belakang sepeda bututnya agak bengkok dan yang pasti lututnya terluka aga parah karena darah yang keluar nggak mau berhenti.”
“Gue ingat Gas. Saat itu kita kehabisan kasa dan gue langsung mengeluarkan saputangan untuk membalut lukanya sementara. Tanpa peduli dengan rasa sakitnya, anak kecil itu langsung melanjutkan perjalanan dengan sepedanya dan lagi-lagi kembali ngebut.”
Wajah Edward berbinar sambil mengangguk-anggukan kepalanya, senang akhirnya ia bisa mengingat sesuatu.
“Iya dia harus mengejar waktu karena ternyata korban yang mengalami kecelakaan itu adalah bapaknya. Sampai di klinik dia hanya bisa meneteskan air mata tanpa isak tangis karena nyawa bapaknya sudah tidak tertolong lagi meskipun kita sudah berusaha semaksimal mungkin.”
“Apa bocah itu tinggal di dekat sini, Gas ?”
“Dulu, sekarang sudah pindah ke Yogya.”
“Apa elo pernah ketemu sama dia, Gas ? Gue nggak ingat sama sekali wajahnya tapi kulitnya agak legam seperti terbakar sinar matahari.”
“Apa elo mau ketemu sama dia ?”
“Bisa ? Gue mau tanya kenapa saputangan ini bisa ada di…..” Edward yang sadar dengan alasannya mencari tahu pemilik saputangan itu tidak melanjutkan kalimatnya.
Wajahnya terlihat tegang, khawatir kalau perempuan yang ditidurinya malam itu adalah bocah yang ditabraknya hampir 9 tahun yang lalu.
“Ed, kenapa ?” tanya Bagas sambil menautkan alisnya.
“Umur berapa dia sekarang Gas ?”
“Sekitar 20 tahun lebih sedikit. Terakhir gue ketemu dan ngobrol sama dia sekitar 4 tahun yang lalu, waktu itu dia baru saja lulus SMA dan sempat cerita kalau mau meneruskan kuliah di Jakarta.”
Wajah Edward semakin tegang, tanpa sadar saputangan yang digenggamnya diremas kuat-kuat. Hatinya sedang bergumul antara ingin bertemu atau malah melupakannya sama sekali.
Bagaimana kalau setelah bertemu, wanita itu menuntut pertanggungjawabannya karena Edward sudah mengambil paksa keperawanannya ?
“Ed, jadi mau ketemu sama dia ? Mumpung dia lagi ada di Yogya.”
Wajah tegang Edward terlihat ragu-ragu tapi mengingat niatnya ingin menyelesaikan masalah ini satu persatu akhirnya Edward menganggukkan kepala.
“Bisa kita ketemu dia hari ini ?”
Bagas tidak langsung menjawab, tangannya sibuk mengetik pesan di handphonenya.
“Bisa Ed, jam 2 siang di kafe Jingga.” Edward mengangguk dengan jantung berdebar tidak karuan.
***
“Masih lama orangnya, Gas ?” tanya Edward dengan wajah gelisah.
“Sebentar lagi, masih di jalan. Elo kenapa sih dari tadi gelisah, kayak mau ketemu sama calon istri aja.”
“Nggak apa-apa. Lagi mikirin gimana ceritanya dia mengembalikan saputangan ini tanpa diketahui siapa-siapa.”
“Nggak usah dipikirin, elo bisa tanya langsung sama orangnya.”
Edward mengerutkan dahi saat melihat Elsa dan temannya baru saja masuk ke dalam kafe. Bagas menoleh dan melambaikan tangan untuk memberitahu posisinya.
“Ngapain Elsa diajak kemari, Gas. Elo yang kasih tahu dia kalau kita ada di sini ?”
“Iya, kenapa ?”
“Ini urusan gue, nggak ada hubungannya sama dia !” suara Edward meninggi dan wajahnya kelihatan kesal. “Apalagi dia bawa temannya segala kemari.”
“Itu adik gue, namanya Kinan. Sejak Elsa di sini, Kinan diminta menemani Elsa tinggal di rumah itu sedangkan Erwin kost di tempat lain.”
“Jadi itu sebabnya elo sangat akrab sama Elsa,” sindir Edward sambil tersenyum miring.
Belum sempat Bagas menjawab, Kinan dan Elsa sudah sampai di meja kedua pria itu.
“Halo Kak ! Siang dokter Edward.” Kinan menyapa kakaknya dan Edward dengan senyum terpaksa sedangkan Elsa hanya tersenyum pada Bagas, enggan melihat Edward yang kelihatan masih kesal dengan kedatangan Elsa.
“Duduk !”
Elsa buru-buru duduk di sebelah Bagas sedangkan Kinan menarik kursi dari meja lain lalu duduk di ujung meja dekat Elsa.
“Jam berapa dia datang, Gas ?” tanya Edward dengan wajah datar.
“Ed, kenalkan ini Elsa, bocah yang tabrakan sama kita di pematang sawah itu.”
Saking terkejutnya mata Edward sampai melotot dan menatap Elsa dengan tatapan tidak percaya sedikit pun.
“Jangan bercanda, Gas.”
“Jadi elo ngajak gue kemari hanya untuk ketemu dia ?” ketus Elsa pada Kinan yang tidak memberitahu tujuannya mengajak ke kafe Jingga.
“Disuruh sama mas Bagas.”
Elsa menghela nafas lalu mengalihkan tatapannya ke arah Edward yang masih melotot kepadanya.
“Kenapa memangnya kalau saya bocah yang dokter tabrak itu ? Takut saya tuntut karena dokter bukan saja belum mahir mengendarai motor tapi juga tidak punya SIM ?”
Bagas dan Kinan sama-sama tertawa lalu dengan isyarat, Bagas mengajak adiknya beranjak.
“Selesaikan masalah kalian yang belum tuntas biar semuanya jelas. Sa, Edward kebingungan bagaimana saputangan itu bisa kembali kepadanya dan sekarang dia pasti lega karena sudah tahu alasannya.”
Tanpa menunggu ijin dari Edward dan Elsa, kedua kakak beradik itu meninggalkan kafe,
Edward meraih gelas kopi dinginnya lalu meneguk hingga setengah.
“Apa kamu….”
“Saya kenapa ?” ketus Elsa. Matanya makin membola saat Edward melirik ke arah perutnya.
“Apa kamu yang datang ke hotel malam itu ?” tanya Edward dengan nada ragu-ragu bahkan ia sampai menelan ludah, khawatir dengan jawaban Elsa. Wanita itu malah tersenyum sinis.
“Iya saya ada di hotel pagi itu bersama Fahmi untuk membereskan masalah dokter seperti biasa. Kenapa ? Dokter takut koleksi rekaman CCTV anda saya gunakan untuk menghancurkan hidup anda ?”
“Berikan padaku rekamannya, aku ingin melihat seperti apa wajah perempuan yang bersamaku malam itu. Setidaknya….”
“Setidaknya dokter bisa minta maaf atau berniat tanggungjawab padanya, begitu ? Bukankah dokter biasa melakukan kegialaan semacam itu bersama dokter Lily, jadi menambah satu koleksi perempuan lagi tidak masalah” potong Elsa dengan nada sinis tatapan penuh rasa marah sekaligus kecewa.
“Jangan asal bicara ! Aku tidak pernah melakukannya dengan Lily. Perempuan itu adalah yang pertama untukku dan sepertinya dia juga begitu. Aku akan bertanggungjawab seandainya dia sampai hamil karena perbuatanku malam itu.”
“Sudah saya bereskan semuanya jadi dokter tidak usah khawatir. Dia tidak akan menuntut pertanggungjawaban apapun meski sampai hamil.”
“Jangan mengatur hidupku, biar aku yang memutuskan sendiri. Sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku hanya sekedar calon adik ipar yang ternyata membiarkan dirinya hamil sebelum resmi menikah.”
Emosi Elsa langsung ingin meledak mendengar ucapan dan tatapan wajah Edward seperti mengejeknya sambil tersenyum sinis. Diraihnya gelas Edward yang tinggal setengah lalu disiramnya ke wajah pria itu hingga mengotori kemejanya juga.
“Elsa !”
“Setidaknya saya melakukan kegilaan ini setelah bercerai bukan semasa menjadi istri anda seperti yang dokter lakukan dengan perempuan itu !”
Elsa yang sudah berdiri langsung meninggalkan Edward dan tidak mampu menahan air matanya.
dasar sundel bolong