Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Dua wanita ini menyebalkan sekali. Rasanya aku ingin mencabut gigi emas mereka.
Mutiara, yang sudah tidak tahan lagi, akhirnya meledak.
“CUKUP!” teriak Mutiara, suaranya memantul di dalam butik. “Dia putri kandungku! Dan jika kalian berani merendahkannya lagi, aku tidak akan segan membatalkan semua kerja sama proyek kita!”
Mutiara menarik Nalea keluar dari butik, meninggalkan Sukma dan Nenden yang terkejut dan marah.
Di luar butik, Mutiara memeluk Nalea erat-erat. Air mata Mutiara menetes. “Maafkan Mama, Sayang. Mereka memang jahat. Mama janji, Mama akan membuat mereka semua diam.”
Ibuku membelaku! Hati Nalea terasa hangat, ia membalas pelukan Mutiara. “Tidak apa-apa, Ma. Biarkan saja. Mereka hanya iri karena Mama lebih cantik dariku.” Nalea mencoba melucu.
Mutiara tertawa kecil di tengah tangisnya. Ia memegang tangan Nalea. “Ayo, kita beli semua yang kau mau. Gaun biru itu, dan juga banyak lagi. Kita akan buktikan pada semua orang bahwa putri kandung Hersa adalah permata yang paling berharga.”
...*******...
Di rumah megah itu, suasana siang hari berubah mencekam. Di ruang keluarga, Sisilia tengah mengamuk. Melempar bantal-bantal sofa, menjatuhkan vas bunga, dan memarahi para pelayan dengan suara melengking. Kepulangannya dari gudang dini hari tadi meninggalkan trauma fisik dan emosional, ditambah rasa cemburu yang membakar karena Mutiara mengajak Nalea, saingannya, pergi berbelanja ke mall.
“Maya! Kenapa makanan ini hambar sekali? Kau sengaja, hah agar aku tidak bisa makan! Ingin aku mati kelaparan?” teriak Sisilia pada Maya, pelayan utama di ruang makan.
Maya, seorang wanita paruh baya yang sabar, hanya menunduk. “Maaf, Nona Sisilia. Itu resep yang biasa Nyonya Mutiara suka. Mungkin Nona sedang tidak enak badan sehingga lidahnya kehilangan kemampuan perasanya.”
“Alasan! Semuanya salah! Kalian semua memang tidak becus!” Sisilia menendang kursi di dekatnya hingga terjungkal.
Tak lama kemudian, Tuti, pelayan yang bertugas membersihkan, tanpa sengaja menabrak Sisilia saat mencoba melewati ruang keluarga.
Plak!
“Aduh! Sisilia, maafkan saya, Nona!” pinta Tuti ketakutan.
“Kau sengaja, hah?! Kau iri karena aku Nona Muda di sini! Cacat nanti kau!” Sisilia mendorong tubuh Tuti hingga tersungkur ke lantai.
Rani, pelayan lain, mencoba mendekat. “Nona, jangan seperti ini. Nanti Tuan Ivander marah.”
“Diam! Meja ini! Kenapa masih banyak debu? Apa kau buta? Kerjamu hanya mengintip dan bergosip, kan!” Sisilia semakin histeris. Ia tidak hanya marah pada pelayan, ia marah pada dunia. Ia marah karena Nalea mendapatkan segalanya.
Lidya bergegas menghampiri Sisilia, berusaha menenangkan putrinya yang sudah di luar kendali.
“Sisil, Sayang! Tenang! Ada apa ini? Kenapa kau memarahi mereka? Jangan seperti ini!” Lidya memeluk putrinya yang gemetar.
Namun, Sisilia malah menepis pelukan Lidya, amarahnya kini tertuju pada sang Ibu.
“Ibu! Kenapa Ibu diam saja? Ibu lihat, kan! Mamaj mengajak anak liar itu ke mall tanpa mengajakku! Mereka berbelanja! Mereka bersenang-senang! Aku! Aku juga kan anaknya Mamah, tapi aku malah tidur di gudang! Apa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena sudah menemukan anak kandung? Nalea yang seharusnya dihukum, Bu! Bukan aku!” Sisilia merengek, memukul dada Lidya.
Lidya meraih tangan Sisilia dengan ekspresi penuh keprihatinan. “Sabar, Sayang. Jangan cemburu. Mereka hanya berbelanja pakaian murahan untuk anak liar itu. Kau jangan khawatir. Nanti Ibu akan minta Tuan Ivander memberikan uang saku lebih banyak. Kau bisa membeli barang-barang branded lainnya, Nak. Kita hanya perlu bersabar.”
“Aku tidak mau uang, Bu! Aku mau Kak Azlan! Aku mau Kak Zavian! Aku mau Mamah! Aku mau perhatian mereka! Nalea merebut segalanya dariku!” Sisilia menangis kencang, menunjuk ke arah Lidya. “Ibu tidak pernah membelaku di depan kak Vian! Ibu takut dipecat, kan!”
Lidya tersentak, wajahnya mengeras. “Tentu saja tidak, Sayang! Ibu melakukan ini semua demi masa depan kita! Kita tidak boleh diusir dari sini!”
Tepat saat kekacauan mencapai puncaknya, Azlan muncul. Ia turun dari lantai atas dengan piyama kasualnya. Sanksi dari Ivander membuatnya harus terkurung di rumah, dan ia melihat semua kekacauan yang diciptakan Sisilia.
“Sisilia! Ada apa ini! Berhenti bersikap kekanak-kanakan! Mereka pelayan kita, bukan boneka untuk kau lempar!” bentak Azlan.
Sisilia menatap Azlan, matanya membesar karena terkejut dan marah. “Kak Azlan! Kenapa Kakak membentakku?”
“Kau tidak ingat hukuman dari Papa semalam? Seharusnya kau merenung, Sisil! Bukan membuat kekacauan seperti ini!” Azlan menunjuk puing-puing vas yang pecah.
Sisilia merasa dikhianati. Azlan, satu-satunya orang yang biasanya membela dan memanjakannya, kini berbalik melawan.
“Kak Azlan tidak membelaku? Kakak membela para pelayan rendahan ini?” Sisilia meraung.
“Aku tidak membela siapa-siapa, Sisil. Aku hanya ingin kau lebih dewasa dan bijaksana. Kau harusnya malu melihat sikapmu yang seperti ini. Kau sudah besar!” ujar Azlan, berusaha keras untuk terdengar rasional. Ia mencoba mengabaikan rasa bersalahnya pada Sisilia, dan berpegangan pada perintah Ivander untuk 'mencari kebenaran'.
“Aku tidak mau! Aku tidak mau dewasa! Nalea telah merebut kasih sayang dan perhatian semua orang dariku! Kenapa Kakak tidak melihatnya? Dia hanya anak liar yang tidak berpendidikan, Kak!”
Azlan menatap Sisilia. Kata-kata Nalea yang dia dengar di meja makan kembali terngiang dan membuatnya teringat sesuatu. Dirinya akan terjebak hutang dan berurusan dengan lintah darat. Apakah benar Sisilia seburuk itu? Sikapnya yang kekanak-kanakan dan histeris ini sedikit demi sedikit membuat Azlan meragukan adiknya.
“Cukup, Sisil. Masuk kamar, dan tenangkan dirimu,” perintah Azlan, nadanya lelah.
Sisilia kesal, menatap Azlan dengan kebencian. Ia tidak lagi melihat Azlan sebagai kakak pelindungnya, melainkan sebagai pengkhianat. Ia menghentakkan kaki, berlari menuju kamarnya dan membanting pintu sekeras-kerasnya.
Brak!
Suara bantingan pintu itu membuat Lidya kecewa. Ia menatap Azlan, matanya berkaca-kaca.
“Tuan Azlan, kau sudah berubah,” kata Lidya, suaranya pelan dan penuh tuduhan. “Kau tidak lagi menyayangi Sisilia. Kau lebih memilih mengikuti Tuan Zavian dan Nona Nalea. Kau tidak ingat, Sisilia yang selalu ada di sisimu saat kau sakit?”
"Apa kau sama sekali tidak ingat siapa yang maju paling depan saat kamu mengalami perundungan?"