Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Tugas Pengasuh yang Sebenarnya
Naila mengelus rambut Rindu yang tertidur pulas di pangkuannya. Setrika di tangannya bergerak pelan, menyelesaikan baju terakhir di keranjang. Baru saja ia meletakkan setrika, aroma harum tumisan dari dapur menyeruak hingga ke ruang tengah.
Krucuuk
Perut Naila spontan berbunyi pelan. Ia tersenyum kecut.
"Aduh, pantesan ga ada tenaga. Udah jam segini, ternyata. Mana belum makan sejak pagi, lagi," gumamnya, teringat kejadian di rumah Pak Nugraha.
Perlahan, ia mengangkat Rindu dan membaringkannya di kasur kamarnya dengan hati-hati, lalu menutup tubuh kecil itu dengan selimut tipis.
Dari arah dapur, terdengar suara panci yang beradu. Naila bangkit dan melangkah menuju sumber suara, membenahi kerudungnya sekilas.
Suara panci beradu dan uap dari masakan langsung menyambutnya saat ia mendorong pintu dapur. Bu Juwita berdiri di depan kompor, sesekali mengaduk wajan sambil menghela napas pelan.
Naila menundukkan kepala mengisyaratkan meminta izin dengan cara sopan. “Saya bantu ya, Bu.”
“Potong wortel ini. Serong, jangan terlalu tipis. Jangan terlalu tebal juga,” ujar Bu Juwita tanpa menoleh. Ternyata yang terdengar serentetan perintah dan tugas yang terus bertambah.
Naila hanya bisa menurut. Ia mengambil pisau dan talenan, memotong pelan sambil mencuri pandang pada sosok wanita paruh baya itu. Tak ada senyum, tak ada sapaan hangat. Hanya tatapan dingin dan tugas yang langsung diberikan.
“Saya sudah menyetrika semuanya. Rindu tertidur di kamar,” ucapnya pelan, berusaha menghangatkan suasana.
“Kamu tinggal dia sendirian?” ujar Bu Juwita tiba-tiba. Suaranya tetap datar, namun terasa menyengat perasaan. “Kalau dia jatuh, gimana? Tersedak? Kamu bisa tanggung jawab?”
Naila tercekat. “Saya hanya ke kamar sebentar, Bu. Tadi tidurnya pulas banget kok, Bu.”
“Anak kecil itu bisa terbangun kapan saja,” gumam Bu Juwita, kali ini menoleh, matanya tajam. “Kalau kamu memang mau jadi pengasuh, kamu harus siap. Tidak cukup hanya sekedar karena Rindu nempel-nempel terus sama kamu.”
Pisau di tangan Naila sempat terhenti. Dadanya seperti sesak, tapi ia tak ingin terlihat lemah. Ia kembali memotong wortel dengan hati-hati, menahan gejolak perasaan yang mulai muncul.
‘Apa aku benar-benar sanggup?’ pikirnya lirih. Baru beberapa jam, sudah seperti ini. Rumah yang mewah, tapi setiap sudutnya membuat Naila terus tertekan.
Suara tangis kejar dari kamar membuatnya menoleh. Rindu terbangun. Dan Naila tahu, makan siangnya belum selesai. Ia bahkan belum menyuapi Reivan.
“Ambil MP-ASI di kulkas, suapi Reivan dulu,” perintah Bu Juwita tanpa menoleh lagi. “Saya akan tenangkan Rindu. Kamu itu terlalu lambat, semua jadi molor kan?”
“Maaf, Bu…” Suara Naila hampir tak terdengar. Hatinya bergemuruh.
Tangannya gemetar saat membuka kulkas. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
'Aku harus kuat. Aku harus bertahan demi masa depan.'
Reivan telah berada ke kursi makannya, tapi wajah terlihat masam. Sendok demi sendok MP-ASI yang masuk ke mulutnya, tak ada yang tertelan, dan meleber keluar dari mulut bayi itu.
Makanan di mangkuk masih dingin, lengket, dan mungkin tak terasa nikmat bagi bayi ini. Naila mencoba bersabar, menyuapi sambil sesekali membujuknya.
“Yuk, Dek, mamam yang banyak. Ini enak banget. Biar Reivan dak laper lagi,” bujuknya dengan wajah putus asa.
Tapi bocah itu malah meringis, lalu memalingkan wajah sambil memukul sendok dengan tangan kecilnya. Bubur tumpah sedikit ke lantai. Naila mendesah. Hatinya benar-benar terasa lelah.
Dari kamar terdengar tangis Rindu yang sangat keras seperti serangan panik.
“Mamaaaa! Maaaamaa!!”
Langkah cepat terdengar mendekat. Bu Juwita muncul sambil menggandeng Rindu yang masih menangis tiada henti. Rambut Rindu kusut, matanya bengkak. Anak itu langsung menarik diri dari tangan neneknya dan berlari memeluk kaki Naila.
“Mama Naila kemana aja sih? Mama jangan jauh-jauh dali Lindu," ratapnya, memeluk erat kaki Naila sambil menangis kejer.
Naila langsung jongkok, memeluk tubuh kecil itu, mengelus punggungnya dengan panik. “Maaf… maaf, sayang. Kakak di sini aja kok. Kakak nggak pergi kemana-mana… Maaf ya…”
Bu Juwita berdiri di ambang pintu dapur, kedua tangannya bertolak pinggang, rautnya kesal melihat Reivan yang melepeh semua makanan yang ada di hadapannya.
“MP-ASI itu udah kamu hangatin belum?” tanyanya tajam.
Naila menoleh cepat. “Eh, harus dipanasin dulu ya, Bu?" Naila kembali menggaruk kepalanya.
"Saya pikir tinggal disuapin aja. Jadi habis dari kulkas, langsung saya kasih, soalnya Reivan terlihat udah lapar, Bu."
“Langsung dikasih?!” Suara Bu Juwita naik satu oktaf. “Astaga, Naila. Anak sekecil itu belum bisa makan makanan dingin? Pantes aja rewel! Mana ini jorok lagi?”
Naila tercekat. Tangannya otomatis memeluk Rindu lebih erat. Ada rasa takut mendera jiwanya.
“Dasar ceroboh. Kamu ini nggak bisa mikir dulu sebentar sebelum bertindak? Mau jadi pengasuh, masa begini? Makanan bayi itu bukan sembarang bisa dikasih, tahu?! Reivan itu masih bayi yang harusnya diberi makanan hangat, Naila!”
Suara Bu Juwita menggema di dapur. Rindu menyusut ke pelukan Naila. Reivan makin gelisah di kursinya, mulai menangis juga.
Naila tak bisa menjawab. Matanya memanas, napasnya mulai naik turun dengan cepat. Ia tahu, ia salah.
'Harus kuat, harus kuat,' batinnya menahan diri. Namun, matanya telah berbinar, bak bendungan yang siap membanjiri wajah. Naila langsung mengusap pada lengan panjangnya, biar tak ketahuan oleh majikannya ini.
Tapi teguran ini sungguh terasa menampar dirinya secara langsung.
'Tapi, ibu ini keterlaluan sekali. Aku kan sudah jujur tak memiliki pengalaman. Tapi, kenapa sampai marah begini?' Naila terus berperang dalam batinnya.
Dalam diam, ia bangkit, membawa Reivan ke pangkuan. Rindu masih memeluk pinggangnya, seolah takut kehilangan lagi.
'Apakah aku benar sanggup bekerja seperti ini? Ya Allah ... Apakah ini masih hukuman terhadapku yang tak patuh pada kedua orang tuaku.' tangisnya dalam hati.
^^^Revisi tanggal 16 Mei 2025^^^