"Aku bisa menjadi mommy-mu."
"Apa kau kaya?"
"Tentu saja! Aku sangat kaya dari para orang kaya di negara ini."
"Setuju, Mommy!"
Bukan kisah anak genius, melainkan kisah sederhana penguasa muda yang terlambat jatuh cinta. Melalui perantara manis, keduanya dipertemukan lagi sebagai sosok yang berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momma
"Nona Oliver ...," panggil Sarah yang baru datang. Oliver berdiri di ambang pintu dapur sambil memperhatikan Liam di ruang tengah bersama anak-anak yang lainnya.
"Sarah." Oliver tersenyum.
"Dia sedikit tertutup, kan?" Sarah juga memerhatikan Liam. Anak itu tidak berbaur seperti yang lain, melainkan hanya duduk di sofa memerhatikan mereka bermain.
"Dia anak yang ceria," jawab Oliver. "Hanya saja— sepertinya sulit berteman."
Sarah tertawa kecil. "Dia hanya mau berteman dengan ibunya."
Sarah ingat betul saat Liam datang pertama kali dua bulan yang lalu. Oliver sendiri yang mengakui jika Liam adalah putranya. Itu sebabnya ia mengira jika Tyler dan Oliver adalah pasangan.
"Aku mendekorasi ruangan baru di dekat kamar anak-anak. Mau lihat?" Oliver mengangguk seraya mengikuti Sarah yang menuntunnya.
"Tempat apa ini?" Oliver berjalan mengitarinya. Seperti ruangan luas tanpa perabotan apapun, kecuali karpet tebal di lantainya. Ada banyak foto yang tertempel di dindingnya— tidak beraturan.
"Anak-anak yang menempelnya. Aku memberi nama tempat ini ruang kenangan," jelas Sarah.
"Ruang kenangan," gumam Oliver. Ia mulai memperhatikan foto-foto di dinding.
"Benar. Suatu saat mereka akan keluar, entah menjalani hidupnya sendiri atau bertemu calon orang tua mereka, jadi aku membuatnya untuk mengingat semua anak-anak yang pernah tinggal," jelasnya lagi dengan nada sendu.
Oliver bisa mengerti perasaannya. Ia pernah berpisah sebentar dengan Liam sekali, tapi ia sudah merindukan anak yang tidak memiliki hubungan darah apapun dengannya itu. Tapi, Sarah— dia merawat banyak anak yang ia lihat perkembangannya setiap hari.
"Mereka memang akan memiliki kehidupan baru atau orang tua baru, tapi mereka tidak akan lupa dengan orang tua pertama mereka. Kau ibu terbaik, Sarah." Oliver tersenyum tulus.
"Kau juga ibu yang baik, Nona Oliver. Pantas saja Liam mencintaimu. Tunggu, aku akan membawa Liam kemari." Oliver hanya bisa tersenyum seraya mengangguk. Ia melanjutkan langkahnya, mengamati semua gambar dengan senyuman. Bukankah semuanya tampak bahagia? Ia senang karena bisa turut andil dalam kebahagiaan mereka.
Namun, langkah Oliver terhenti saat melihat foto yang cukup berbeda dari yang lain. Seseorang di dalamnya terlihat sangat tidak asing hingga Oliver menyentuhnya.
"Caitlin dan— Tyler?" Terlihat sekali ini foto lama. Keduanya juga jauh lebih muda.
"Mereka sangat dekat dari yang ku pikirkan," gumamnya. Ia bisa melihat cinta di balik tatapan Tyler yang merangkul Caitlin di sisinya. "Kau benar. Kau sudah menang sejak awal, Caitlin." Bodohnya, ia pernah berniat untuk menjadi serakah.
"Mommy disini?" Samar-samar terdengar suara Liam dari luar. Sarah masuk sambil menggendongnya. "Mommy!" Liam menjadi sumringah.
"Hai," sapanya seraya menyambut Liam dari gendongan Sarah.
"Mommy sedang melihat siapa?" tanyanya polos. Rupanya ia sempat melihat Oliver menatap satu gambar. Sarah ikut memperhatikan.
"Dia mirip sekali dengan daddy," celetuknya. Sarah cukup salah tingkah saat melihatnya juga.
"Aku tidak bermaksud, Nona—"
"Tidak masalah. Aku memang mendengar jika dia berasal dari panti asuhan, tapi tidak menyangka dia berasal dari sini." Oliver menyentuh pundaknya. "Bisa tinggalkan aku dengan Liam?"
"Ya, tentu!" Sarah segera keluar tanpa persetujuan.
"Itu benar daddy, kan, Mom?" tanya Liam.
"Benar, itu memang daddymu."
"Lalu, siapa wanita itu?" Liam tidak bisa mengalihkan pandangannya. Seolah ada sesuatu yang menariknya.
"Kau belum pernah melihatnya?" tanya Oliver. Liam menggeleng pelan.
"Kau senang melihatnya?" Liam mengangguk tanpa sadar, kemudian menggeleng dengan cepat.
"Aku lebih menyukai Mommy!"
Oliver tersenyum lembut sambil mengelus kepalanya. Ikatan batin memang sangat kuat, kan? Buktinya Liam menatapnya tanpa henti dengan pandangan kagumnya. Oliver dapat melihatnya sekarang.
"Kau ingin tahu siapa dia?" Liam menggeleng lagi.
"Dia hanya teman daddy, kan?" tanyanya kemudian, memastikan tidak ada hubungan khusus yang dapat mengganggu hubungan Oliver dan sang ayah.
"She's your mom, Liam," kata Oliver gamblang sambil menatapnya. Liam terdiam menatapnya juga.
"My mom?"
Oliver tersenyum lagi. Ia membawa Liam duduk berlesehan di atas karpet tebal. Oliver membiarkan Liam duduk di pangkuannya sembari memeluk anak itu dari belakang.
"Liam tidak penasaran?"
Ia bersedia menceritakan apa saja yang ingin di ketahui Liam. Anak ini berhak mengetahui tentang ibunya, kan? Alasan Tyler belum mengatakan apapun, mungkin karena ia tidak ingin Liam salah paham dengan mengira bahwa Tyler merupakan pasangan dari ibunya itu.
Namun, tidak salah jika Liam akan berpikir begitu, kan? Lagipula, Liam tidak mengetahui jika ayah yang bersamanya bukanlah ayah kandungnya. Anak ini akan sedih jika mengetahuinya, kan? Oliver sendiri tidak yakin untuk mengatakan bagian ini. Dirinya pun tidak memiliki hak untuk ikut campur lebih dalam.
"Mommy mengenalnya?" tanya Liam. Oliver mengangguk lagi.
"Kami pernah berada di kelas yang sama."
"Sungguh?" Liam tampak kaget. "Kalau begitu— momma orang yang seperti apa?"
"Namanya Caitlin. Dia cantik dan pintar. Saat di sekolah, dia dikejar oleh banyak pria termasuk daddymu."
"Momma memang cantik," gumam Liam sangat pelan.
"Apa dia baik?"
"Tentu saja! Dia sangat baik, itu sebabnya dia melahirkan anak selucu dan sebaik Liam."
Tidak! Dia menyebalkan, tapi aku tidak bisa mengatakannya, batin Oliver berkata lain.
"Aku jadi rindu momma," cicit Liam. Anak itu berbalik dan menyusup di dada Oliver, memeluknya.
"Momma-mu sudah tenang sekarang. Dia pasti senang dan bahagia melihat Liam dari atas sana."
Jangan khawatirkan Liam. Kau tenanglah diatas sana. Aku tidak akan berjanji, tapi akan kucoba untuk membuatnya bahagia. Mungkin ada alasan kita saling mengenal, Caitlin. Oliver berdoa dengan tulus sambil memejamkan matanya.
Di balik tembok, tepat di samping pintu masuk, seseorang mendengarkan dengan tenang. Tyler sudah datang sejak tadi setelah Sarah membawa Liam masuk. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk setelah mendengar obrolan yang cukup serius. Lebih baik ia ikut mendengarkan saja dengan tenang.
"Kupikir kau akan jujur padanya, ternyata kau bisa berbohong juga." Tyler tersenyum mendengar setiap pujian yang dilontarkan Oliver untuk Caitlin. "Jelas-jelas kau tidak menyukainya."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...