Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengetahui Kesalahpahaman
🌿🌿🌿
Donita memberhentikan taksi yang dikemudikannya di depan gerbang rumah Malini dan Hudda. Wanita itu memperhatikan kondisi rumah yang berada di atas kondisi sangat mampu.
"Uang ada. Istri cantik dan cerdas mengurus keluarga. Kurang apa lagi? Pria memang seperti itu," kata Donita dalam hati dan memperhatikan Malini masuk ke gerbang rumah.
Donita kembali mengemudikan taksinya.
Setelah sampai di depan pintu rumah, Malini mengetuk pintu setelah sadar pintu itu dikunci. Matanya sesekali menoleh ke belakang, memandangi mobil Hudda yang sudah terparkir di halaman rumah.
"Bi Tanum …!" panggil Malini.
Tanum hanya berdiri diam di tengah ruang tamu sambil memperhatikan Hudda yang duduk dengan tangan saling menggenggam dan mata menyoroti pintu dengan tatapan tajam. Hudda memainkan trik tidak membiarkan istrinya itu masuk sebagai pelajaran atas sikapnya tadi.
"Pa … kenapa pintunya tidak di buka? Kasihan Mama," kata Jian yang sejak tadi mengintip di pintu kamar.
"Ajak anak-anak tidur siang, Bi," suruh Hudda.
Tanum menganggukkan kepala dan berjalan menghampiri mereka, mengajak anak-anak itu masuk ke kamar.
Setelah itu, Hudda berdiri dan berjalan mendekati pintu. Tangannya membuka pintu itu dan melihat Malini berdiri di depan pintu dengan raut wajah kesal. Tatapannya wanita itu jadi tajam dan kakinya melangkah masuk menerobos tubuh Hudda.
"Tunggu," tahan Hudda sambil berjalan mengikutinya sampai menaiki tangga dan masuk ke kamar.
"Apa lagi, Mas?" tanya Malini, geram, sambil meletakkan tas ke atas meja dan bergerak menuju lemari untuk mengambil handuk.
"Belum merasa bersalah?" tanya Hudda sambil menggenggam pergelangan tangannya.
"Egois. Kamu yang jelas-jelas sudah berselingkuh dariku. Seharusnya kamu yang minta maaf, bukan aku," timpal Malini sambil melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman tangan Hudda.
"Hubunganku tidak seserius itu dengannya. Mengertilah. Sudahlah Lini, jangan memperkeruh suasana lagi. Kamu tidak ingat bagaimana hubungan kita baik sebelumnya?" Hudda meraih kedua tangan Malini dan memeluk wanita itu dengan tenang.
Malini menghela napas dan menenangkan perasaannya. Ingin sekali ia membalas perkataan Hudda, tapi ia memilih diam karena tahu perdebatan itu tidak akan berakhir dan Hudda juga tidak akan mengalah karena pria itu memiliki sifat keras kepala.
"Maaf. Sudah? Biarkan aku mandi."
Malini melepaskan pelukan dan tangan Hudda. Lalu, ia masuk berjalan memasuki kamar mandi. Setelah masuk ke kamar mandi, ia mendengar ponselnya berdering, ia kembali membuka pintu. Setelah pintu di buka, ia melihat Hudda sudah mengambil ponselnya yang ada di dalam tas.
"Bu Lini. Maafkan Pak Agung. Aku akan berbicara dengannya dan menyuruhnya memberikan penjelasan kepada Pak Hudda kalau kalian tidak memiliki hubungan apa pun. Aku juga tahu Ibuk tidak mungkin juga melakukan, aku tahu kalau ponsel Ibuk di sadap oleh orang yang tidak bertanggung jawab," jelas Rangga, tanpa tahu orang yang mendengarkannya berbicara adalah Hudda.
Hudda memutuskan sambungan telepon dan mulai merasa bersalah setelah mengingat perkataannya dan sikap kasarnya kepada Malini.
Malini mengambil ponsel yang ada di tangan Hudda dan melihat panggilan yang masuk berasal dari Rangga.
"Menuduh lagi? Kamu mengira aku Rangga memiliki hubungan? Kebiasaan," kata Malini sambil meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Maafkan aku …." Hudda memeluknya dari samping dan bertingkah manja dengan meletakkan kepala ke pundak Malini.
Jian dan Jenaka berlari menghampiri mereka dengan tertawa dan memeluk mereka erat. Tanum memperhatikan mereka dari pintu kamar dan ketakutannya tadi memudar, berubah menjadi perasaan bahagia. Sejak tadi kedua anak itu ingin menemui orang tua mereka dan memaksa menaiki tangga dengan Tanum mengejar mereka dengan perasaan takut mereka melihat pertengkaran Hudda dan Malini.
"Tadi jam berapa pulang sekolah?" tanya Malini setelah merendahkan tubuh sambil mengelus rambut mereka.
"Seperti biasa. Hari ini Jenaka dapat nilai seratus lagi. Kak Jian hanya sembilan puluh," kata Jenaka dan tertawa.
"Dasar sombong," balas Jian, ngambek.
"Tidak apa-apa. Malam ini kita makan malam di restoran China. Siapa yang mau ikut?" tanya Hudda.
Kedua anak itu mengangkat tangan, menunjukkan jari telunjuk sambil berlari mengikuti Hudda yang berlari kecil di kamar itu. Kebahagiaan yang terpancar di wajah anak-anaknya itu yang membuatnya dilema untuk berpisah dari Hudda. Ekspresi wajah Malini berubah sedih melihat mereka bahagia, sedangkan Tanum menatap Malini dan bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu.
Tanum berjalan masuk setelah Hudda keluar dari kamar bersama kedua anak itu.
"Bukankah aku terlihat bodoh saat diam dengan sikap menyimpang Mas Hudda? Aku harus berbuat apa Bik? Membiarkan anak-anakku tahu semua masalah ini dan membuat hati mereka hancu?" Malini meneteskan air mata.
Tanum memberikan pelukan untuk menghapus kegundahan di hati dan pikiran Malini untuk sesaat.
***
Makan siang, Malini menyiapkannya bersama Tanum dengan kedua anak-anaknya bermain bersama Hudda di ruang tamu. Sejenak ia menepikan perasaan yang masih marah dan kesal kepada Hudda.
Ponsel yang ada di atas meja berdering ketika kedua tangan Malini telah memakai sarung tangan plastik dan sedang membaluri ayam dengan tepung. Ia bergerak ingin melepaskan sarung tangan itu, tapi tiba-tiba Hudda muncul di hadapannya dengan ponsel yang berada dalam genggamannya.
"Bicaralah," kata Hudda, berbicara dengan suara kecil dan tersenyum.
Sikap Hudda bisa terbaca olehnya kalau pria itu tengah mengambil hatinya lagi.
"Halo?" Malini lanjut memainkan tangan di baskom tepung.
"Ini keluarga Bu Inara? Bu Inara berada di rumah sakit," kata seorang wanita yang terdengar dari sambungan telepon itu.
Tangan Malini berhenti bergerak, ikut dengan tubuhnya mematung sesaat setelah mendengar berita itu. Hudda juga mendengarnya karena dalam mode speaker. Malini bergegas membasuh tangan di wastafel dapur dan melepaskan celemek yang ada di tubuhnya.
"Bi Tanum. Jaga anak-anak," pesannya sambil melap tangan dan berjalan keluar dari dapur.
Hudda menarik Malini sebelum ia menaiki tangga menuju kamar untuk mengambil uang membayar taksi online karena mobilnya masih berada di kantor Agung dan belum dijemput. Rencana, ia akan menjemputnya nanti sore dengan bantuan Rangga yang akan mengantarnya. Hudda mengajak Malini masuk ke mobilnya, dengan ia yang akan membawa istrinya itu ke rumah sakit.
Hati Malini dilanda kecemasan dan ketakutan, ia duduk tegang dengan gigi mengigit jari karena tidak sabar menunggu sampai di rumah sakit. Hudda sesekali memperhatikannya dengan tangan fokus mengemudiakan mobil dalam kelajuan cukup kencang.
Hanya butuh waktu beberapa menit Hudda mengemudi hingga akhirnya sampai di rumah sakit. Malini berlari memasuki rumah sakit setelah mobil itu berhenti di parkiran.
"Di mana Mama saya, Sus? Namanya Inara dan baru masuk. Tadi saya dihubungi oleh pihak rumah sakit," terang Malini, berbicara cepat.
"Sudah berada di ruang operasi. Bu Inara mengalami kecelakaan saat menyeberangi jalan. Mbak harus segera menandatangani surat ini agar operasinya segera dilakukan, termasuk pembayaran operasinya juga," jelas perawat itu yang merupakan administrasi rumah sakit.
"Bisa operasi dulu Mama saya? Kebetulan saya tidak membawa uang. Saya janji pasti akan membayarnya," kata Malini dengan menunjukkan wajah memelas.
"Ini. Selesaikan administrasinya dan segera lakukan tindak operasi," kata Hudda setelah meletakkan kartu atm-nya ke atas meja administrasi.
"Baik, Pak." Perawat itu mengambilnya dan memberikan surat yang akan ditandatangani Malini.
Setelah itu, Malini berlari menuju ruangan operasi mengikuti perawat lain yang disuruh untuk menuntun mereka menuju ruangan operasi berada. Sedangkan Hudda masih mengurus pembayaran operasi mertuanya itu.