Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Jayden baru saja keluar dari ruangan brainstorming, bertepatan dengan itu matanya langsung menangkap sosok Selina yang baru saja tiba. Wanita itu berjalan masuk ke dalam lobi, langkahnya ragu, lalu berhenti tepat di tengah ruangan.
Selina menggigit bibirnya, wajahnya tampak bingung. Masa aku… harus bersihin toilet itu lagi? gumamnya dalam hati.
Jayden melangkah mendekat. Selina buru-buru menoleh, dan seketika jantungnya berdegup lebih cepat saat mendapati tatapan tajam pria itu menusuk ke arahnya.
“Lama sekali kamu. Ini sudah lewat dari setengah jam,” katanya tegas.
“Maaf, Pak… tadi saya harus jemput putra saya dulu,” jawab Selina pelan, ia mengingat lagi bagaimana tadi ia harus menghibur Ian yang masih murung setelah kejadian di sekolah. Untung saja sebatang cokelat berhasil membuat bocah itu cepat ceria kembali.
Jayden menghela napas pendek. “Kali ini kamu tidak akan membersihkan toilet. Tapi membantu koki menyiapkan makan siang untuk para staf.”
“Ba… baik, Pak,” ucap Selina pelan.
Jayden akhirnya berlalu. Barulah Selina bisa mengembuskan napas lega, karena menurutnya wajah dan aura Jayden terlalu mencekam.
Selina masuk ke dapur besar Aetherworks. Konsepnya jauh dari dapur perusahaan biasa—dindingnya berhiaskan poster dan mural bertema game, beberapa rak bahkan dipenuhi merchandise karakter dari gim-gim ternama milik perusahaan itu.
Di salah satu sisi, para juru masak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Selina berdiri terpaku, tidak tahu harus melakukan apa.
Seorang wanita sebayanya, menoleh ke arahnya. “Hei, jangan bengong. Sini, bantuin,”
Selina tersentak, lalu segera melangkah mendekat.
“Kamu yang kerja di cafenya Nathan, kan?” Katanya sembari tersenyum ramah.
Selina mengangkat alis. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku temannya Nathan. Aku juga pernah ke cafenya beberapa kali. Kamu yang nganterin minuman ke mejaku. Tapi ya… mungkin kamu nggak ingat.” Wanita itu terkekeh kecil.
Selina menghela napas, sedikit kikuk. “Maaf…”
“Nggak apa-apa,” balas wanita itu sambil tersenyum tipis. “Ayo, sini. Bantu aku potongin bawang sama cabai. Kalau makan siangnya nggak siap tepat waktu, Pak Jayden bisa ngamuk.”
•
•
•
“Apa!? Ka… kamu punya anak dari Selina!?”
Zavier terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang. “Itu yang dikatakan Kim. Aku juga belum melihat wajahnya secara langsung… tapi katanya dia mirip sekali denganku. Dan Kim… dia yakin kalau anak itu adalah anakku dan Selina.”
Eliza sontak terdiam. Kata-kata itu seperti pukulan telak yang menghantam dadanya.
“Be… berarti selama ini Selina tinggal di kota Jersey?” lirihnya pelan, matanya menatap lurus kedepan.
“Eliza…” Zavier menggenggam tangan Eliza erat. “Aku harus mengatakan ini sama kamu. Karena aku sudah janji, aku nggak akan pernah sembunyikan apapun darimu. Bahkan soal masa laluku sekalipun.”
Eliza hanya menatapnya, menunggu lanjutan dari Zavier.
“Aku…” suara Zavier tercekat, ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan, “aku memang pernah tidur bersama Selina… kalau nggak salah, itu sebulan sebelum perceraian kami. Aku benar-benar nggak tahu kalau dari kejadian itu… akan lahir sebuah kehidupan baru.”
Tangannya kini meremas jemari Eliza.
“Eliza, maafkan aku. Aku nggak pernah berniat menyembunyikan ini. Aku hanya… aku hanya takut kamu kecewa kalau tahu kebenaran ini.”
Wanita itu menghela napas panjang, dadanya terasa sesak. Dari awal, sejak Zavier dijodohkan dengan Selina, Eliza sudah bertekad untuk melupakan pria itu. Namun hati kecilnya tak pernah bisa. Zavier pun tidak pernah benar-benar lepas dari dirinya. Rasa cinta yang begitu besar membuatnya luluh kembali, meskipun Zavier masih terikat dengan Selina kala itu.
Sebenarnya, Eliza adalah kekasih sejati Zavier. Namun hubungan mereka ditentang oleh ayah Eliza, karena ayahnya pernah kalah dalam tender besar melawan keluarga Zavier. Luka itu membuat sang ayah menolak keras jika anaknya bersama Zavier.
Orang tua Zavier tak bisa memaksakan mereka bersama dan akhirnya menjodohkan Zavier dengan anak sahabat mereka, yang tak lain adalah Selina karena mereka ingin Zavier segera memiliki keturunan.
Tapi tak lama ayahnya meninggal sakit jantung, Eliza tentu saja terpukul dengan kepergian ayahnya yang mendadak.
Hingga setelah ayahnya meninggal, dia dan Zavier kembali menjalin hubungan.
“Sayang… katakan sesuatu,” suara Zavier terdengar parau, penuh rasa takut. Dadanya sesak membayangkan kemungkinan Eliza akan ragu untuk menikah dengannya setelah pengakuan tadi.
Eliza mengulas senyum tipis, lalu membalikkan genggamannya, meremas jemari Zavier dengan hangat. “It’s okay… aku bakal terima. Karena kamu udah berani jujur. Aku nggak bakal menghalangi kamu buat tanggung jawab, karena itu memang udah tugas kamu.”
“Justru mungkin aku atau kamu yang harus menyesal karena Selina nggak ngasih tahu keadaan dia waktu hamil. Mungkin… dia nggak ingin menghancurkan hubungan kita. Aku bisa paham kalau dia memilih jalan itu,” ucap Eliza pelan.
Zavier menatapnya penuh haru.
“Apapun itu, kita tetap harus minta maaf sama dia. Aku juga ngerasa bersalah… bertahun-tahun dia hilang, dan akhirnya kita tahu tempat tinggal dia,” lanjut Eliza lirih.
Zavier lalu mengecup punggung tangan Eliza. “Terima kasih… sayang,"
••••••
Jayden tiba di sebuah rumah mewah yang tak lain adalah rumah besar keluarganya. Meski begitu, pria itu sudah lama tidak tinggal di sana—ia lebih memilih menetap di rumah pribadinya.
Begitu pintu besar rumah itu terbuka, matanya langsung tertuju ke ruang makan yang sudah penuh dengan keluarganya—ibu, saudara-saudara tirinya, para sepupu, dan tentu saja seorang kakek tua yang paling Jayden anggap menyebalkan karena selalu cerewet mengomentari hidupnya.
“Itu Ka Jay udah datang!”
"Kusut banget mukanya, Ma. Kayaknya dia nggak seneng deh dateng ke sini,”
Jayden hanya mendengus pelan, memasang wajah datar tanpa menanggapi candaan itu. Ia melangkah ke arah Bella mencondongkan tubuh sedikit, mencium sekilas pipi Bella, kemudian duduk di sebelah wanita itu.
“Kakek nyuruh kamu ke sini karena ada hal penting yang harus kakek bicarakan,” kata Orlan, kakek Jayden, suaranya dalam dan tegas.
“Apa?” sahut Jayden datar tanpa minat.
Bella cepat menimpali, “Mending kita makan aja dulu, Pa. Anak-anak udah pada lapar tuh.” Dia tahu, kalau langsung menyinggung hal serius di awal, pasti putranya akan mencak-mencak. Lebih baik menahan sebentar sebelum mood Jayden benar-benar hancur.
Usai makan malam—yang lebih banyak diisi celotehan dan tawa adik-adik Jayden. Kini, semuanya beranjak, Orlan, Aron, Bella, dan Jayden berada di ruang privat keluarga Greyvan.
“Bagaimana perusahaanmu?” tanya Orlan, membuka percakapan dengan basa-basi.
“Baik,” jawab Jayden singkat, tanpa ekspresi.
Orlan mengangguk pelan, lalu menatap lurus cucu tertua keluarga Greyvan itu. Pandangannya penuh wibawa.
Jayden mendengus. “Katakan saja apa yang kakek inginkan dariku. Aku tidak suka melihat wajah kakek yang sudah keriput itu lama-lama.”
“Jayden… jangan ngomong gitu ah,” tegur Bella yang ada di samping sambil mencubit pelan lengan putranya.
Orlan hanya terkekeh, sama sekali tak tersinggung. “Lidahmu memang tajam sejak kecil.”
Orlan menarik nafas sebentar “Kamu akan dijodohkan dengan seseorang. Dia adalah Maisa, anak dari Tuan Ranggana dan Nyonya Swara”
Kata-kata itu meledak di telinga Jayden.
Mata pria itu langsung membola lebar, ia langsung berdiri. Nafasnya seketika memburu hebat.
“Atas dasar apa aku dijodohkan dengan dia!?” bentak Jayden lantang.
“Duduk, Jayden,” kata Aron.
“Jay, tenang dulu, Nak.” Bella buru-buru berdiri, menarik lengan Jayden agar kembali duduk.
“Mama sama Papa udah tahu hal ini!?” kata Jayden, sorot matanya menusuk ke arah orang tuanya.
Bella hanya mengangguk pelan, wajahnya sendu.
Jayden menghembuskan napas kasar, tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
Orlan menatapnya lekat-lekat. “Ini memang kakek tahu terlalu mendadak untukmu, tapi mau tidak mau kamu harus menikah. Usia kamu sudah dua puluh enam tahun, Jayden. Sesuai dengan wasiat almarhum ayahmu—kamu harus menikah dengan pilihan keluarga sebelum melewati usia dua puluh tujuh. Jika tidak, seluruh hak waris dan posisi utama di Greyvan akan dialihkan.”
Jayden terkekeh miris. “Ayah sudah tiada! Ngapain aku harus nurutin wasiat itu? Buat apa aku terikat dengan aturan orang mati!?”
Tatapan Orlan menajam. “Apa kamu ingin dicap sebagai anak yang tidak tahu hormat? Mengkhianati pesan terakhir ayahmu sendiri?”
Jayden menggeleng kasar. “Tetap saja aku nggak bisa! Kalian pikir ini zaman apa? Zaman kerajaan di mana orang seenaknya dijodohkan tanpa cinta? Aku bukan boneka, Kek! Aku manusia yang punya hak menentukan hidupku sendiri!”
“Jayden, dengar dulu penjelasan—”
“Cukup, Kakek!” potong Jayden lantang. Matanya berkaca-kaca. “Aku nggak mau dengar apapun lagi. Ini hidupku, dan yang berhak mengatur hanyalah aku! Bukan Kakek, bukan Papa, bukan siapapun!” kata Jayden lekas berdiri.
“Jayden, duduk!” bentak Orlan, suaranya menggelegar.
Namun Jayden tak peduli, ia berjalan cepat kearah pintu. Tangannya mendorong pintu kayu berat itu hingga terbanting keras.
padahal lembek