"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Cengkeraman dari Langit Putih
Tepat sebelum ia tertimbun sepenuhnya, sebuah tangan raksasa berbulu putih menarik rambut Baskara keluar dari tanah dan membawanya terbang menuju ke arah puncak gunung tengkorak. Baskara merasakan hembusan angin yang sangat dingin menusuk pori-pori kulitnya hingga ia merasa tubuhnya membeku seketika di ketinggian yang mengerikan tersebut secara terus-menerus.
Hawa amis dari tanah merah yang tadi memenuhi mulutnya kini berganti dengan aroma salju abadi yang sangat tajam dan sangat murni. Ia mencoba melihat ke arah bawah namun ia hanya mendapati gumpalan kabut berwarna abu-abu yang menutupi seluruh kengerian Alas Mayit yang baru saja ia tinggalkan secara berulang-ulang.
Mahluk berbulu putih itu memegang pundak Baskara dengan kuku-kuku tumpul yang sangat besar namun tidak melukai kulitnya sedikit pun. Baskara berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal sambil mencengkeram erat jam tangan tanpa jarum milik ayahnya yang masih tersisa di genggaman tangannya secara terus-menerus.
"Siapa kamu? Apakah kamu mahluk suruhan kakek buyutku untuk menyelamatkanku dari kematian yang sia-sia ini?" tanya Baskara dengan suara yang hampir habis.
Mahluk itu tidak memberikan jawaban suara melainkan hanya mengeluarkan bunyi dengusan yang sangat berat hingga menggetarkan seluruh tulang rusuk Baskara. Ia mendarat di sebuah dataran datar yang permukaannya terdiri dari tumpukan tulang belulang yang sudah memutih dan mengkilap seperti marmer yang sangat mahal secara berulang-ulang.
Baskara dilepaskan begitu saja hingga ia tersungkur di atas permukaan tulang yang sangat keras dan sangat licin tersebut. Ia mendongak dan melihat sosok mahluk itu ternyata adalah seekor kera raksasa dengan wajah manusia yang sangat bijaksana namun memiliki mata yang sangat sedih secara terus-menerus.
"Aku adalah penjaga ingatan yang dibuang, tempat di mana seluruh sejarah yang benar tentang keluargamu disimpan secara rapi," ucap kera berwajah manusia itu.
Baskara mengerutkan keningnya sambil mencoba berdiri tegak meskipun lututnya masih terasa sangat lemas dan gemetar karena guncangan yang ia alami. Ia melihat di sekeliling puncak gunung tersebut terdapat ribuan prasasti yang terbuat dari lidah manusia yang sudah mengeras menjadi batu secara berulang-ulang.
Setiap prasasti itu memancarkan cahaya biru redup yang berisi rekaman suara dari orang-orang yang telah menjadi tumbal di Alas Mayit sejak ratusan tahun yang lalu. Baskara berjalan mendekati salah satu prasasti dan ia mendengar suara tangisan seorang wanita yang sangat ia kenal dari masa kecilnya secara terus-menerus.
"Bibi Fatma? Apakah itu suara bibiku yang hilang secara misterius saat aku masih berumur lima tahun?" tanya Baskara dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Kera raksasa itu mengangguk pelan dan menjelaskan bahwa bibi Baskara bukan hilang melainkan ditukar oleh kakek Baskara untuk mendapatkan kesuburan tanah perkebunan mereka. Baskara merasa dunia seolah runtuh sekali lagi saat menyadari bahwa setiap kekayaan yang ia nikmati sejak kecil berasal dari darah kerabatnya sendiri secara berulang-ulang.
"Kenapa kamu menunjukkan semua ini padaku sekarang? Apa hubungannya dengan kelangsungan hidupku di hutan terkutuk ini?" tanya Baskara dengan nada penuh amarah.
Mahluk itu menunjuk ke arah pusat puncak gunung di mana terdapat sebuah kolam air yang permukaannya tidak bergerak sedikit pun meskipun angin bertiup sangat kencang. Di dalam kolam itu, terlihat bayangan seorang pria yang sangat gagah sedang memegang sebuah panah yang ujungnya terbuat dari cahaya matahari secara terus-menerus.
Kera tersebut menjelaskan bahwa pria itu adalah leluhur Baskara yang sebenarnya, seorang pejuang yang mengunci gerbang Alas Mayit agar mahluk halus tidak bisa masuk ke dunia manusia. Namun, perjanjian itu dirusak oleh keturunannya yang serakah hingga membuat gerbang tersebut mulai terbuka perlahan-lahan dari dalam tanah secara berulang-ulang.
"Kamu harus mengambil panah cahaya itu dari dalam kolam ingatan jika ingin menutup kembali gerbang yang telah terbuka lebar," perintah kera raksasa itu.
Baskara mendekati kolam tersebut namun ia melihat ada ribuan lintah berwarna emas yang sedang berenang di dalam air dan siap menghisap siapa pun yang berani menyentuhnya. Ia teringat profesinya sebagai anggota tim penyelamat yang harus selalu tenang dan menggunakan logika di tengah situasi yang paling berbahaya sekalipun secara terus-menerus.
Ia melepaskan seragam bagian atasnya dan melilitkan kain tersebut pada tangan kanannya yang memiliki simbol kunci agar terlindung dari serangan lintah emas. Baskara menarik napas dalam-dalam dan mencelupkan tangannya ke dalam air kolam yang rasanya sangat panas seperti minyak mendidih yang sedang dipanaskan secara berulang-ulang.
"Sakit! Ini jauh lebih menyakitkan daripada gigitan mahluk peniru yang pernah aku rasakan sebelumnya!" teriak Baskara sambil menahan perih yang luar biasa.
Lintah-lintah emas itu segera menyerbu tangan Baskara dan mulai menggigit kain seragamnya hingga hancur berkeping-keping dalam hitungan detik saja. Baskara berhasil menggenggam gagang panah cahaya tersebut namun ia merasa jiwanya mulai ditarik keluar dari dalam tubuhnya oleh kekuatan kolam ingatan tersebut secara terus-menerus.
Tiba-tiba, dari arah langit muncul serombongan burung gagak hitam dengan mata merah yang mulai menyerang kera raksasa penyelamat Baskara dengan sangat brutal. Burung-burung itu adalah utusan dari para bangsawan lelembut yang tidak ingin rahasia mereka dicuri oleh manusia yang masih memiliki nurani secara berulang-ulang.
"Cepat ambil panah itu, Baskara! Aku tidak akan bisa menahan serangan mereka lebih lama lagi di tempat terbuka ini!" seru kera raksasa sambil memukul gagak-gagak tersebut.
Baskara mengerahkan seluruh tenaga terakhirnya dan menarik panah cahaya itu keluar dari dalam kolam hingga menimbulkan ledakan cahaya yang sangat benderang. Seluruh lintah emas di tangannya hangus menjadi debu dan luka-luka di tubuh Baskara menutup secara ajaib seiring dengan masuknya energi matahari ke dalam darahnya secara terus-menerus.
Ia berdiri dengan menggenggam panah cahayanya yang kini menyatu dengan simbol kunci di telapak tangannya hingga membentuk sebuah senjata baru yang sangat kuat. Namun, kemenangan itu hanya bertahan sebentar karena dari balik kabut muncul sosok yang paling tidak ingin Baskara lihat dalam kondisi seperti ini secara berulang-ulang.
Arini berdiri di sana namun wajahnya kini sudah terbelah menjadi dua bagian yang masing-masing bagian memiliki kepribadian yang sangat berbeda dan sangat bertolak belakang. Satu sisi wajahnya menangis meminta tolong, sementara sisi lainnya tertawa lebar sambil mengeluarkan lidah yang penuh dengan duri berbisa secara terus-menerus.
"Berikan panah itu padaku, Baskara, atau aku akan merobek jantung wanita yang pernah kamu cintai ini di depan matamu sendiri!" ancam sisi wajah Arini yang jahat.
Baskara bimbang karena ia tahu bahwa di dalam tubuh mahluk mengerikan itu masih ada jiwa Arini yang asli yang sedang berjuang untuk tetap bertahan hidup. Ia mengangkat panah cahayanya namun tangannya bergetar hebat karena ia tidak sanggup jika harus membunuh satu-satunya teman yang masih tersisa di Alas Mayit secara berulang-ulang.
Kera raksasa itu mencoba melindungi Baskara namun Arini dengan cepat menyemburkan cairan hijau yang membuat mahluk berbulu putih itu lumpuh dan jatuh tersungkur di atas tulang. Baskara kini benar-benar sendirian menghadapi sosok Arini yang sudah kehilangan akal sehatnya akibat pengaruh racun dari para bangsawan lelembut secara terus-menerus.
"Maafkan aku, Arini, tapi aku harus melakukan ini demi keselamatan ribuan nyawa manusia di luar hutan ini!" ucap Baskara sambil menarik tali busur cahaya yang muncul tiba-tiba.
Saat anak panah cahaya itu hampir melesat, Arini membisikkan sebuah rahasia tentang keberadaan ibu Baskara yang membuat Baskara menurunkan senjatanya dengan wajah yang sangat pucat.