Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Aliansi yang Tak Terduga
Pisau lipat yang sangat tajam berkilat di bawah cahaya bulan yang temaram, tepat di depan batang tenggorokan Kirana. Pria bertato naga itu mencengkeram kerah baju Kirana dengan kekuatan yang sangat luar biasa hingga gadis itu merasa pijakannya pada dahan pohon jati mulai goyah. Di bawah mereka, aliran sungai yang sangat deras terus menderu seolah siap menelan siapa pun yang berani terjatuh ke dalam pelukannya yang dingin dan mematikan.
"Satu teriakan saja keluar dari mulutmu, maka kepala bos muda ini akan terpisah dari tubuhnya sekarang juga," bisik pria bertato naga itu dengan suara yang sangat parau.
Kirana membeku, matanya melirik ke arah Arkananta yang masih terkulai lemas di atas dahan pohon dengan luka yang terus mengeluarkan cairan merah kental. Ia ingin meronta namun sadar bahwa posisi mereka sangat tidak menguntungkan di atas ketinggian tebing yang baru saja meledak tersebut. Aroma tembakau murah yang sangat menyengat keluar dari pakaian pria misterius itu, menambah rasa mual yang kini sedang mengaduk isi perut Kirana.
"Apa yang Anda inginkan? Kami sudah tidak memiliki harta apa pun lagi setelah pengkhianatan Bagas tadi," ucap Kirana dengan suara yang sangat lirih dan gemetar hebat.
Pria itu tidak menjawab, ia justru menyarungkan pisaunya dengan gerakan yang sangat tangkas lalu mengangkat tubuh Arkananta ke atas pundaknya dengan sangat mudah. Ia memberi isyarat kepada Kirana untuk mengikuti langkahnya mendaki jalur tikus yang tersembunyi di balik rimbunnya semak belukar yang berduri. Kirana terpaksa merangkak mengikuti pria itu dengan telapak tangan yang mulai lecet karena bergesekan dengan batu gunung yang sangat kasar.
"Berhenti bertanya dan teruslah bergerak jika kamu masih ingin melihat matahari terbit di ufuk timur esok pagi," perintah pria itu tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
Mereka tiba di sebuah gua kecil yang mulutnya tertutup oleh juntaian akar pohon beringin yang sangat lebat dan tampak sangat angker. Di dalam gua tersebut, terdapat beberapa peralatan medis sederhana dan sebuah radio komunikasi tua yang masih menyala dengan suara statis yang sangat mengganggu telinga. Pria bertato naga itu merebahkan Arkananta di atas alas kain terpal yang sudah kusam, lalu ia mulai memeriksa luka di pelipis sang bos muda tersebut.
Kirana segera mendekat dan mencoba membantu pria itu membersihkan luka Arkananta dengan sebotol air bersih yang tersedia di pojok ruangan batu itu. Ia menatap wajah Arkananta yang tampak sangat pucat pasi di bawah cahaya lampu minyak yang bergetar tertiup angin yang masuk dari celah dinding gua. Rasa takut yang sejak tadi menghantui Kirana kini perlahan berubah menjadi rasa penasaran yang sangat besar terhadap identitas asli pria di hadapannya ini.
"Siapa sebenarnya Anda? Kenapa tato naga di leher Anda sama persis dengan yang ada di dalam foto lama ibu saya?" tanya Kirana dengan nada bicara yang penuh dengan selidik.
Pria itu menghentikan gerakannya sesaat, matanya yang tajam menatap Kirana dengan pandangan yang sangat sulit untuk diartikan oleh orang awam. Ia menarik napas panjang, lalu menyulut sebuah lampu minyak lagi hingga seluruh ruangan gua menjadi lebih terang benderang dan terasa sedikit hangat. Sebuah seringai tipis muncul di wajahnya yang penuh dengan luka parut, menunjukkan sebuah sejarah panjang pertumpahan darah yang pernah ia lalui.
"Nama saya adalah Indra, orang yang seharusnya sudah mati bersama ibumu dalam peristiwa kebakaran besar sepuluh tahun yang lalu," jawab pria itu dengan nada yang sangat dingin.
Kirana terperanjat hingga botol air di tangannya terjatuh dan membasahi lantai gua yang terbuat dari tanah liat yang sudah mengeras. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini dianggap sebagai penjahat paling dicari oleh kepolisian ternyata adalah orang kepercayaan ibunya di masa lalu. Indra kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang sampulnya sudah mulai rapuh dan berwarna kecokelatan akibat dimakan oleh usia yang cukup lama.
"Ibumu menitipkan buku ini kepada saya untuk diberikan kepadamu saat kamu sudah berada di titik terendah dalam hidupmu," ujar Indra sambil menyerahkan buku tersebut.
Arkananta tiba-tiba mengerang kesakitan, matanya mulai terbuka secara perlahan meskipun kesadarannya belum sepenuhnya pulih dari guncangan ledakan yang hebat. Ia menatap Indra dengan pandangan yang sangat waspada, tangannya secara insting mencari keberadaan senjata yang biasanya ia simpan di balik pinggang jas mewahnya. Namun, Indra justru memberikan sebuah senyuman kecil yang sangat misterius sambil tetap duduk dengan tenang di depan pintu masuk gua tersebut.
"Tenanglah, Bos Muda, saya bukan bagian dari kelompok pengkhianat yang sedang berpesta di atas helikopter itu sekarang," ucap Indra dengan sikap yang sangat santai.
Arkananta berusaha duduk tegak meskipun kepalanya terasa sangat pening dan dunianya seolah masih berputar-putar tidak menentu akibat benturan yang keras. Ia menatap Kirana yang sedang memegang buku catatan lama, lalu beralih menatap Indra dengan rahang yang masih mengeras kaku dan penuh curiga. Ketegangan di dalam gua itu terasa sangat mencekam, seolah oksigen di sana mulai berkurang dan membuat mereka semua merasa sesak napas.
"Jadi, kamu adalah pengintai yang dikirim oleh ayah saya untuk menjaga Kirana secara diam-diam selama belasan-tahun ini?" tanya Arkananta dengan nada suara yang parau.
Indra mengangguk pelan, ia menjelaskan bahwa selama ini ia selalu berada di dekat Kirana sebagai penjaga bayangan untuk memastikan tidak ada musuh yang mendekat. Ia juga yang memberikan kode rahasia kepada Arkananta saat pertemuan di kantor magang beberapa waktu yang lalu agar Kirana segera dibawa ke tempat aman. Kirana merasa seolah kepalanya ingin meledak saat menyadari bahwa seluruh hidupnya selama ini telah diatur oleh orang-orang besar di balik layar.
"Lalu apa yang tertulis di dalam buku catatan ini? Apakah ini lokasi sebenarnya dari brankas warisan yang dicari oleh Bagas?" tanya Kirana dengan sapaan yang sangat mendesak.
Indra tidak menjawab, ia justru menunjuk ke arah radio komunikasi yang tiba-tiba mengeluarkan suara teriakan Bagas yang sedang memberikan perintah untuk membakar hutan ini. Mereka semua tersentak, menyadari bahwa musuh kini sedang menggunakan cara yang sangat keji untuk memaksa mereka keluar dari tempat persembunyian yang sempit ini. Aroma asap kayu yang terbakar mulai tercium masuk ke dalam gua, menandakan bahwa api sudah mulai merambat di lereng bukit tersebut.
"Kita harus pergi dari sini sekarang juga melalui jalur bawah tanah yang terhubung langsung dengan muara sungai di bawah sana," perintah Indra sambil menyambar tas perlengkapannya.
Arkananta berdiri dengan bantuan bahu Kirana, ia menatap ke arah luar gua yang kini mulai memerah karena pantulan cahaya api yang sangat besar dan panas. Mereka berlari masuk ke dalam lubang sempit di sudut gua yang merupakan sebuah terowongan kuno peninggalan zaman peperangan yang sudah sangat jarang diketahui orang. Kirana terus memeluk buku catatan ibunya dengan sangat erat, menyadari bahwa benda itu adalah satu-satunya kunci untuk menghentikan kegilaan Bagas malam ini.
Namun, saat mereka baru berjalan beberapa meter di dalam terowongan yang gelap, suara gemuruh tanah yang runtuh terdengar sangat keras dari arah belakang mereka. Pintu masuk gua yang tadi mereka tempati kini sudah tertutup sepenuhnya oleh timbunan batu besar akibat ledakan dari luar hutan yang disengaja. Mereka terjebak di dalam kegelapan total dengan persediaan udara yang sangat terbatas dan musuh yang terus mengejar dari arah jalur sungai.
"Tuan Arkan, senter saya mati! Saya tidak bisa melihat apa-apa di depan saya!" teriak Kirana sambil meraba-raba dinding terowongan yang sangat licin.
Arkananta tidak menjawab, namun Kirana merasakan sebuah tangan yang sangat dingin dan kasar tiba-tiba membekap mulutnya dari arah kegelapan yang pekat. Indra dan Arkananta seolah menghilang ditelan bumi, meninggalkan Kirana sendirian dengan sosok asing yang kini mulai menyeretnya masuk ke dalam cabang terowongan yang berbeda. Kirana berusaha meronta, namun sebuah jarum suntik tiba-tiba menembus lehernya dan membuat seluruh tubuhnya menjadi lumpuh dalam sekejap saja.