Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Wening masih enggan beranjak, sementara Seno makin gemas saja dengan istri kecilnya yang cukup ngeyelan dan merepotkan.
"Kalau nggak mau beranjak dari sini, nggak pa-pa juga sih. Tapi kamu harus makan dan membersihkan tubuhmu," ujar pria itu penuh solusi.
Seno akhirnya memutuskan untuk membiarkan saja istrinya mau apa. Bocil merajuk malah semakin membuat pusing saja. Lebih baik tidur karena hari juga sudah malam.
Wening bergegas ke kamar mandi setelah pria itu beranjak. Nyatanya Seno keluar sebentar untuk mengambilkan makan malam yang telah ia pesan sedari tadi. Tak lupa menaruh ganti untuk istrinya mengingat semua pakaian gadis itu sudah tertata rapih di kamarnya.
Awalnya Seno pindah lantaran tak ingin satu ranjang. Tetapi setelah dipikir-pikir pria itu perlu juga untuk belajar mengurusinya. Tentunya juga paham kalau tugas seorang istri itu apa saja. Ekspektasi tak sesuai realita, baru hari pertama sudah terjadi huru hara di luar kepala.
"Eh, ngapain masih di kamar?" tanya gadis itu terkesiap mendapati suaminya masih setia menghuni kamarnya.
"Mm ... bawa ini," tunjuk Seno pada pakaian bersih dan juga nampan di atas nakas berisi makanan. Pria itu memalingkan muka tak tenang, di mana Wening keluar hanya berbalut handuk saja.
"Makasih, udah sana keluar!" usir gadis itu mendorong tubuh suaminya agar keluar dari kamar.
"Iya, iya aku keluar. Jangan dorong-dorong dong, Ning, santai!" protes pria itu menatap sesuatu yang indah di balik dadanya.
"Apa lihat-lihat! Jangan mesum ya!" tukas Wening galak. Menunjuk dua netra matanya dengan dua jarinya agar berhenti menatapnya dengan begitu liar.
"Kenapa? Mata, mata aku, gunanya untuk melihat! Salah?" tanya pria itu ngegas.
"Salah lah, Om itu mesum, suka ngebuli, nyeselin, jahat. Jadi, jangan harap kalau Wening bakalan nurut!"
"Kamu nggak takut tidur di kamar sendirian? Ini rumah gede loh, kalau ada apa-apa di bawah sini, kamu teriak, aku nggak bakalan denger dari atas. Pertimbangan baik-baik!" bujuk Seno agar gadis halalnya mau pindah sekamar dengannya.
Rasanya tidak mungkin berterus terang menyuruhnya menghuni kamarnya untuk melayani dirinya sebagai istri yang sesungguhnya kecuali tidur bersama dalam tanda kutip. Nampaknya pria itu harus bersabar beberapa bulan ke depan hingga Wening lulus dari menengah atas.
"Udah biasa tidur sendiri di rumah, bahkan saat ibu dan bapak tidak di rumah lantaran nonton dangdutan. Jadi, aku tidak takut sama sekali, di kampung juga sepi malah."
Seno mengerutkan keningnya, sepertinya ia harus mencari cara lain agar gadis itu mau suka rela pindah tanpa keterpaksaan yang berarti.
"Ya sudah, selamat istirahat! Kamarku nggak dikunci, nanti kalau berubah pikiran datang saja ke atas pintu yang paling dekat dengan tangga," ujar pria itu sebelum beranjak.
Wening bergeming, tidak menanggapi pesan suaminya. Pokoknya keputusannya sudah bulat untuk tidak satu kamar dengannya. Apalagi saat ini masa periode Wening sudah berakhir, bagaimana kalau suaminya yang diam-diam suka memperhatikan dirinya tiba-tiba khilaf dan memaksanya. Sungguh itu sesuatu yang mengerikan di bayangan Wening.
Dari pada pusing memikirkan, perempuan belia itu lebih dulu mengisi perutnya karena merasa lapar. Biar pun ngambek, ya memang harus makan juga, supaya kuat menghadapi kenyataan. Kalau suaminya lumayan arogan.
Gadis itu baru saja menghabiskan satu porsi makan malam tetiba listrik di rumah gedongan itu tiba-tiba padam. Sontak saja suasana menjadi gelap gulita. Mana ponsel tak ada, di rumah baru yang Wening sendiri belum hafal denah rumahnya.
"Ya ampun ... rumah segede gini bisa mati lampu juga. Emang telat beli pulsa apa!" gerutu Wening kesal. Tidak ada satu celah yang masuk satu pun. Kamar ini benar-benar gelap, hingga saat keluar terpaksa tangannya meraba-raba udara agar tidak menabrak benda atau sejenis apa pun yang menghalangi jalan.
Sesuatu yang kenyal itu terasa keinjek di kakinya. Membuat gadis itu menjerit seketika mendadak merasa takut, padahal tadi sudah cukup percaya diri menolak tawaran pria itu.
Dapur, mana ya dapur, ya ampun ... gelap banget, mana tadi nginjek apaan lagi," ucap gadis itu terus menyusuri lantai dapur.
Hal pertama yang Wening tuju adalah kompor. Ia perlu pencahayaan dari api kompor untuk membuatnya lebih nyaman. Gadis itu terus berjalan pelan. Tak ada cahaya membuatnya benar-benar kesulitan.
"Alhamdulillah ... ini sepertinya bener, ingat banget tadi sebelah selatan ruang tengah itu ada dapur. Oke, jalan pelan-pelan saja!" gumam Wening menenangkan.
Tangannya berhasil menyentuh konter dapur. Meraba hingga menemukan saklar kompor. Spontan gadis itu menyalakannya. Namun, kenapa ia tidak bisa. Wening makin kesal saja.
"Duh ... butuh cahaya. Sial banget sih hari ini!" gumam gadis itu putus asa.
Perempuan itu berbalik lantas menubruk sesuatu hingga membuatnya menjerit lantang!