Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unpleasant Surprise
Sudah berlalu sepuluh menit sejak Vanya melihat pesan yang dikirimkan oleh Henggar padanya. Terkejut sekali dirinya saat melihat dengan jelas ada wajah yang tidak asing baginya—Rendra Adiatmaharaja. Sedang duduk di seberang dengan setelan abu-abu tampak sibuk berbicara.
Henggar
Ini sungguh sebuah kejutan, berkali-kali dia berusaha untuk melawan firma kecil kita.
Vanya tidak tahu harus membalas apa, karena yang jelas saat ini dirinya merasa dibohongi. Tidak, dirinya merasa dibodohi. Satu kejadian demi kejadian terputar kembali dalam benaknya seperti sebuah film. Apakah Rendra selama ini sudah merencanakan tentang ini? Rendra tahu akan sulit untuk melawan Vanya di meja hijau hingga akhirnya menyabotase kasusnya hingga Vanya tidak lagi menjadi pengacara Pak Balawa.
Bukan berarti Vanya meremehkan kemampuan Henggar, akan tetapi kasus ini jauh lebih rumit dibandingkan kasus pro-bono mereka yang lain. Sebelum akhirnya kasus sengketa itu ia ambil alih karena prosesnya yang sangat alot sekali.
Tidak membuang waktu lagi, Vanya segera mencari kontak Rendra untuk menelfonnya. Berkali-kali berdering tapi selalu masuk ke mailbox. Kesal rasanya, ia tidak pernah diperlakukan dengan curang seperti ini.
Pada akhirnya, Vanya menghubungi nomor milik asisten Rendra yang selalu mengekor kemana saja Rendra pergi itu—Shouta. Kali ini tidak butuh waktu yang lama bagi Vanya untuk mendapatkan jawaban, pada dering ke-dua panggilan itu sudah diangkat dan terdengar suara milik Shouta dari seberang panggilan.
"Hallo, Nona."
"Rendra bersama dengan kamu, Shouta?" Vanya tak ingin berbasa-basi. Dia butuh penjelasan. Meski sebenarnya apapun alasannya, perasaan dikhianatinya tetap ada.
"Bang Rendra masih ada rapat dengan klien. Kalau urgent saya sambungkan."
"Nggak perlu." Vanya yang kesal langsung menutup panggilan telefon tersebut.
Helaan nafas kasar keluar dari hidung Vanya, berat sekali rasanya menerima kejutan yang tidak menyenangkan seperti ini. Padahal dia pikir pernikahannya akan berjalan baik-baik saja, kenapa harus ada masalah seperti ini yang menganggu. Kenapa Rendra harus memanfaatkannya.
"Jangan-jangan apa yang dikatakannya selama ini, karena dia memang ingin menyabotase kasusku?" Vanya teringat jika tujuan Rendra adalah menikahinya bukan Alessia. Mungkinkah untuk menyabotase kasus ini?
"Bu Vanya."
Panggilan itu membuat Vanya terhenyak, ia melihat ke arah pintu dan melihat ada seorang perempuan sedang melongokkan kepalanya dari luar. Itu adalah paralegalnya. Vanya membetulkan letak duduknya, untuk apa sang paralegal itu datang kepadanya di jam makan siang begini. Tidak biasa sama sekali.
"Iya, Rachel. Ada apa, ya?"
"Ada yang ingin bertemu dengan, Bu Vanya."
"Oh," Vanya terdiam sejenak, dia bahkan belum sempat makan siang tapi ada tamu. Tidak masalah. Siapa tahu itu adalah klien potensial, hitung-hitung untuk menghilangkan rasa kesalnya terhadap Rendra. "Persilakan masuk."
"Baik, Bu." Rachel segera kembali untuk menemui tamu tersebut.
Vanya sudah bersiap untuk menerima klien baru, saat orang tersebut ia sama sekali tidak menduga jika orang tersebut akan datang menemuinya secara sukarela. Vanya hampir tidak bereaksi sama sekali dan membiarkan tamu itu berdiri di ambang pintu.
"Vanya." Sampai suara miliknya mengetuk gendang telinganya.
**
Seperti yang diharapkan, kasus ini tidak sampai hingga ke pengadilan. Pada akhirnya, keluarga Balawa menerima uang yang ditawarkan oleh pihak perusahaan pengolah sawit. Meski diskusinya sempat terjadi cukup pelik, Rendra tidak menyerah, ia tahu bagaimana memenangkan negosiasi dengan caranya. Dan benar saja, Henggar—sang kuasa hukum lebih memilih untuk membujuk kliennya agar menerima tawaran yang diberikan oleh perusahaan pengolah sawit tersebut dari pada harus melewati persidangan yang bisa memakan waktu dan tenaga.
Kesenangan Rendra itu berakhir saat ia melihat pada ponselnya, ada puluhan panggilan tak terjawab dengan nama kontak 'Istri'. Rendra sudah mengantisipasi hal ini, Vanya pasti akan mengetahuinya cepat atau lambat.
"Bang, tadi Nona Vanya menelfon saya."
"Oh? Apa yang ditanyakannya?"
"Cuma tanya apa bang Rendra sama saya," balas Shouta sembari berjalan di samping Rendra. Tiba-tiba saja Rendra menghentikan langkahnya.
"Lalu?"
"Tidak ada, Nona Vanya langsung menutup telfonnya saat saya bilang abang masih rapat."
"Dia sudah tahu."
Rendra menghela nafasnya lalu melanjutkan langkahnya. Kini dalam benaknya hanya dipenuhi oleh Vanya yang penuh amarah terhadapnya.
Sama sekali Rendra tidak berniat untuk menyembunyikan perihal kasus ini dan dirinya yang terlibat langsung sebagai kuasa hukum dari pihak perusahaan yang menginginkan lahan milik Pak Balawa. Hanya saja dengan watak istrinya yang begitu keras kepala entah apa yang akan diperbuat olehnya jika mengetahui semua ini.
"Tolong pesankan penerbangan paling cepat hari ini," ucap Rendra.
"Tidak jadi pulang besok, bang?"
"Istri saya sedang marah."
Meski tak memahami peliknya biduk rumah tangga sang atasan, Shouta pun mengiyakan perintah Rendra. Segera mengambil ipadnya dan mencarikan tiket penerbangan menuju ke Jakarta yang paling cepat.
**
"Alessia." Akhirnya sebuah kata meluncur dari bibir Vanya.
Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan saudari angkatnya ini, mungkin dua sampa tiga minggu sejak pertemuan terakhir mereka. Meski begitu, Vanya hanya terdiam tanpa menyambut dengan hangat putri dari seseorang yang sudah mengangkatnya sebagai anak.
Alessia melangkah dengan cepat, tubuhnya luruh memeluk Vanya dengan kuat sambil menangis sesenggukan. Vanya masih tidak bereaksi, semenjak kejadian yang membuatnya terjebak pada pernikahan ini, rasanya sulit untuk kembali mempercayai Alessia dengan segala dramanya.
"Maafin aku, Nya. Aku benar-benar minta maaf." Pada tangisnya, Alessia berusaha untuk meminta maaf.
Mendengar perkataan itu, hati nurani Vanya jelas saja tergerak. Bagaimana pun selama ini, tidak ada kata maaf yang keluar dari bibir keluarga itu atas apa yang terjadi padanya. Seolah-olah dirinya memang harus menanggung kehidupan pernikahan paksa itu. Kini mendengarnya seperti mendapatkan segelas air di padang yang tandus.
"Vanya, kamu mau kan maafin aku?" Alessia melepaskan pelukannya, terlihat matanya memerah dipenuhi dengan air mata. Vanya meneliti raut wajah Alessia, selama ini mereka selalu bersama sebagai seorang sahabat. Terlihat ada setitik ketulusan dalam permintaan maaf itu.
Vanya menganggukkan kepalanya. "Yang lalu biar saja berlalu, jangan dipikirkan lagi," ujarnya pelan.
"Aku tahu, kamu pasti akan memaafkanku. Aku merasa bersalah sekali padamu. Semuanya kusadari setelah ...." Alessia tampak seperti hendak menangis lagi.
Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis yang selalu ceria dan punya kepercayaan diri yang tinggi itu. Kenapa mendadak cengeng. Vanya tak mengerti, ia hanya menuntun perempuan itu untuk duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.
"Sebenarnya ada apa?" Vanya mengambilkan segelas air putih untuk Alessia. Menyodorkannya untuk menyegarkan tenggorokannya yang pasti kering terkuras oleh tangisan.
"Andrew ... dia berselingkuh."
Vanya tidak tampak terkejut, ini bukan pertama kalinya Alessia memiliki seorang kekasih yang akan berakhir si pria berselingkuh. Setelah mengamati perjalanan cinta Alessia selama bertahun-tahun, Vanya tahu satu hal, Alessia adalah control freak, sepertinya itu menjadi salah satu alasan kenapa pria-pria yang bersamanya selalu berakhir dengan berselingkuh dengan perempuan lain.
"Kamu sudah yakin dia berselingkuh?"
"Ya, aku sangat yakin. Aku memergokinya sendiri saat mereka akan check-in hotel."
Vanya terdiam sejenak, nah, benar 'kan. Bahkan Alessia sampai bisa tahu kekasihnya hendak check-in ke hotel dengan selingkuhannya.
"Laki-laki seperti itu tidak perlu kamu tangisi, kamu cantik, kamu berharga, ada laki-laki yang lebih pantas untukmu, Alessia." Vanya berusaha untuk memberikan motivasi.
"Aku benar-benar minta maaf, aku merasa ini karmaku setelah apa yang aku lakukan padamu. Kau pasti hidup sangat menderita bersama dengan Rendra."
Vanya menghela nafasnya. "Sebenarnya tidak juga, Mas Rendra baik denganku. Kamu tidak perlu memikirkannya." Vanya tidak sepenuhnya berbohong, selain Rendra yang membodohinya soal kasus Pak Balawa, pria itu sebenarnya selalu baik dengannya.
Awal pernikahan saja dia memberikan sertifikat rumah, surat-surat emas, kartu kredit dan sebagainya. Tidak pernah melarangnya melakukan apapun yang dia inginkan, mungkin di awal pernikahan Rendra sangat dingin dengannya, lambat laun perilakunya tampak berubah.
"Benarkah? Jangan tertipu oleh tampangnya itu, Nya. Lihat aku."
"Aku tidak pernah memilih bersama dengan Mas Rendra," ujar Vanya mengingatkan Alessia lagi jika kebersamaannya bersama dengan Rendra bukan karena keinginannya sendiri. Semuanya terjadi secara tiba-tiba seperti sebuah kecelakaan.
"Aku tahu, itu kesalahanku."
"Jangan anggap itu kesalahan, aku dan Mas Rendra baik-baik saja. Kami menjalani hidup seperti pasangan suami istri pada umumnya."
"Syukurlah kalau kalian baik-baik saja, sepertinya hanya aku yang berlebihan. Aku lega jika kalian memang baik-baik saja."
"Ya, kamu nggak perlu khawatir, Alessia. Kamu sudah makan siang?" tanya Vanya.
Alessia menggeleng tanda dirinya belum makan siang. Vanya pun mengajak Alessia untuk makan siang bersama dengannya juga sebagai tanda bahwa ia sudah memaafkan Vanya, ia tidak ingin menjalin hubungan yang buruk. Bagaimana pun keluarga Vanya memiliki jasa budi dengannya, meski dengan pernikahannya tampaknya sudah impas.
**
Sampai di Jakarta, Rendra tidak langsung menuju ke apartementnya. Dia menuju ke kantor firma tempat Vanya bekerja, berniat untuk membujuk Vanya dengan memberikan treatment romantis dengan menjemputnya, meski sebenarnya ia tahu jika sang istri tidak begitus suka hal-hal yang berbau romantis berlebihan. Namun sampai di sana, ia telah diberitahu jika Vanya sudah pulang sejak lima belas menit sebelumnya.
Butuh waktu satu jam setengah bagi Rendra untuk dirinya sampai di apartement hanya agar mendapati hunian itu kosong tanpa siapapun di sana. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang istri di mana-mana. Rendra bahkan pergi ke kamar istrinya, mencarinya ke setiap ruangan tapi tidak ada.
Rendra berusaha untuk menghubungi Istrinya melalui panggilan telfon, tapi panggilan itu langsung terputus. Sepertinya ponsel istrinya mati. Pening seketika kepala Rendra memikirkan keberadaan istrinya. Rasanya sama seperti awal pernikahan mereka dulu saat Vanya sempat kabur kembali ke Nusantara. Apakah kali ini Vanya juga melakukan hal yang sama?
Rendra terus menerus mencoba untuk menghubungi istrinya, tapi panggilan langsung terputus. Pria yang biasanya tenang dengan pikiran jernih itu dibuat gusar oleh istri kecilnya yang mungkin sedang marah dengannya.
Tak kehilangan akal, Rendra menghubungi Shouta untuk menyelidiki keberadaan sang istri. Lalu yang terakhir ia mencari-cari nomor sahabatnya—Saga. Ternyata menghubungi sahabatnya itu juga sulit, mungkin karena pekerjaan Saga. Namun setelah dirinya mematikan ponsel, ada panggilan telfon dari sang sahabat.
"Hallo, Ren. Ada apa, gue lagi mau apel malam ini."
"Sorry kalau ganggu, gue mau telfon Miray tapi takut dia kaget," balas Rendra, suaranya yang biasanya tenang kini terdengar bergetar.
"Ada apa? Lo kenapa?"
Rendra terdiam untuk sesaat, ia mengusap wajahnya kasar. Tak pernah hatinya segelisah ini. "Vanya hilang lagi."
"Vanya?" tanya Saga untuk memastikan pendengarannya tidak salah.
"Iya, adik ipar lo, gue telfon dia tapi hapenya nggak aktif. Gue cari di kantor katanya udah balik, di rumah nggak ada. Pusing gue."
"Sekarang baru pusing lo?"
"Jangan ngeledek. Gue nggak tahu lagi harus nyari dia dimana kecuali di tempat Miray."
"Yaudah, lo ke sana aja. Dia lagi jagain kakaknya tuh."
"Kenapa lo nggak bilang dari tadi?"
"Gue cuma mau tahu reaksi lo aja, gue pengen tahu sekhawatir apa lo kalo Vanya pergi dari hidup lo."
Perkataan Saga ini benar-benar menampar kenyataan Rendra, sekhawatir apa jika dia kehilangan istrinya. Bukan lagi khawatir sepertinya, karena Rendra yang tenang dan selalu dingin dalam bersikap kehilangan kesabaran dan ketenangannya hanya dalam sekejap. Tampaknya kegilaanlah yang akan menguasai pikiran Rendra jika pria itu kehilangan istrinya.
"Sinting," maki Rendra yang hanya dibalas kekehan oleh Saga dari seberang saluran panggilan telfon.
"Udah, gue mau apel malam dulu. Hati-hati nyetirnya, dia aman di rumah gue."
Tak butuh waktu lama bagi Rendra untuk segera pergi ke rumah sang sahabat yang jaraknya mungkin dua jam kalau macet, tapi kalau perjalanannya lancar cukup satu jam saja.
Malam ini tidak ingin berlama-lama untuk bisa bertemu dengan istrinya, Rendra memilih mengambil kunci mogenya dan mengambil helm miliknya. Ia selalu mengendarai moge jika diperlukan untuk perjalanan yang lebih cepat.
Pria itu membelah jalanan kota jakarta dengan mogenya, tak seperti biasanya yang masih dikuasai oleh ketenangan. Malam ini ia sama sekali tak bisa sekali saja tak menyalip kendaraan, beberapa kali ia harus menyalip kendaraan meski itu aksi yang cukup berbahaya. Rendra hanya ingin memastikan jika istrinya benar-benar berada di rumah sahabat sekaligus kakak iparnya.
Perjalanannya cukup cepat, empat puluh lima menit kemudian ia sampai di rumah pribadi milik Saga. Ia melihat ada mobil milik Vanya yang terparkir di halaman rumah tersebut, ada perasaan lega setelah melihat kendaraan Vanya ada di sana, tapi kelegaan itu belum sepenuhnya sampai ia bisa melihat batang hidung sang istri.
Buru-buru Rendra turun dari mogenya, melepas helm, dan berlari kecil menuju pintu utama rumah tersebut. Setelah memencet bel untuk beberapa kali akhirnya pintu tersebut dibuka. Seorang wanita dengan perut buncit yang menyambutnya.
Wajah perempuan itu tampak tidak bersahabat dengannya, seperti ingin menendang kaki Rendra saja. Tanpa sadar, Rendra mengambil selangkah mundur untuk memberi jarak agar apa yang ditakutkannya tidak terjadi.
"Selamat malam, Miray." Rendra menyapa, matanya sesekali mengintip ke belakang bahu Miray. Menelisik apakah Vanya ada di dalam sana atau tidak.
"Masuk dulu gih, lusuh banget," ucap Miray setelah menilai penampilan sahabat sekaligus adik iparnya itu.
"Vanya di sini?" tanya Rendra dengan cepat.
"Lagi mandi, masuk aja dulu."
Rendra menuruti perkataan sang kakak ipar, berjalan masuk ke rumah dengan mengekor di belakangnya. Menelusuri rumah Miray hingga masuk ke ruang keluarga. Tepat saat dirinya masuk ke ruang keluarga, ia melihat Vanya Anantari—sang istri, baru saja keluar dengan piyama dan rambut yang dibungkus oleh handuk. Seolah-olah perempuan itu adalah tuan rumah di sini.
"Kapan kamu pulang, Mas?" Vanya bertanya tampak terkejut dengan kedatangan Rendra, tapi ia berusaha sekeras mungkin agar tidak terdengar kesal.
Tidak ada jawaban dari Rendra. Pria itu tiba-tiba melangkah lebih cepat ke arahnya. Mata Vanya membulat, ia hendak menghindari Rendra karena pria itu tampak seperti akan menubruknya. Tapi tubuhnya mematung hingga ia merasakan sebuah kehangatan yang melingkupi seluruh tubuhnya.
Rendra memeluknya dengan erat, sangat erat sampai Vanya tak bisa bernafas. Meski begitu ia juga tak berniat untuk mendorong Rendra menjauh. Karena entah bagaimana ia merasa ada gejolak emosi yang terpendam pada tubuh hangat pria itu, ia membiarkan Rendra memeluknya, meski dirinya juga sangat kesal dengan apa yang diperbuat oleh Rendra padanya. Kali ini ia akan membiarkan Rendra memeluknya, tapi setelahnya ia akan menuntut penjelasan.
...-Bersambung-...
...OBJECT OF DESIRES | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa