Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Di Balik Luka
Mentari pagi menari-nari di balkon apartemen Riana, tempat janji cinta baru saja terucap. Namun, kehangatan mentari seolah tak mampu menembus dinginnya keraguan yang masih membekas di relung hati Riana. Ia duduk di samping Bima, menikmati teh hangat, namun pikirannya berkelana jauh, ke masa lalu yang pahit.
"Apa yang ingin kita lakukan hari ini?" tanya Bima, senyumnya tulus, matanya memancarkan kebahagiaan.
Riana tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik keramahan. "Aku belum tahu. Mungkin mencari apartemen baru?"
Bima mengangguk setuju. "Tentu, tapi sebelum itu, ada yang ingin ku bicarakan." Ia meraih tangan Riana, menggenggamnya lembut. "Tentang kita."
Jantung Riana berdegup kencang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia ingin percaya pada Bima, pada cinta yang baru saja bersemi. Namun, bayangan Raka dan Kirana masih menghantuinya, seperti mimpi buruk yang tak mau pergi. Pengkhianatan itu telah merobek-robek kepercayaannya pada orang lain, membuatnya sulit untuk membuka hati sepenuhnya, bahkan pada Bima yang begitu baik padanya.
"Aku... aku takut, Bim," bisik Riana, suaranya bergetar. Ia menunduk, tak berani menatap mata Bima. "Aku takut terluka lagi. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai siapa pun lagi."
Bima mengangkat dagu Riana dengan lembut, memaksanya untuk menatap matanya. Tatapannya penuh dengan kasih sayang dan pengertian. "Aku tahu, Riana. Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Setelah apa yang terjadi..."
Air mata Riana akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia merasa malu karena ketidakmampuannya untuk mempercayai Bima, tetapi ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. "Aku merasa bersalah," isaknya. "Kamu begitu baik padaku, tapi aku..."
Bima memeluk Riana erat, membiarkannya menangis di dadanya. Ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menghapus luka yang ada di hati Riana. Ia harus membuktikan cintanya melalui tindakan, melalui kesabaran, dan melalui pengertian yang tak terbatas.
"Aku tidak akan pernah menyakitimu, Riana," bisik Bima di telinga Riana. "Aku janji. Aku akan selalu menjagamu, melindungi mu, dan mencintaimu tanpa syarat."
Riana ingin percaya pada janji itu, tetapi keraguan masih mencengkeram hatinya seperti rantai besi. "Bagaimana aku bisa tahu?" bisiknya. "Bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak akan seperti mereka?"
Bima menghela napas, memahami ketakutan Riana. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Riana dengan tatapan yang tulus. "Aku tahu kata-kata saja tidak cukup. Aku akan membuktikannya padamu, setiap hari. Aku akan sabar, pengertian, dan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."
Hari-hari berikutnya, Bima berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan Riana. Ia selalu menepati janjinya, memberikan perhatian, dukungan, dan kasih sayang tanpa henti. Ia menemani Riana mencari apartemen baru, mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan, dan selalu ada di sisinya saat ia merasa sedih atau cemas.
Namun, Riana masih sering merasa tidak aman. Ia merasa cemburu saat Bima berbicara dengan wanita lain, merasa khawatir saat Bima terlambat pulang, dan merasa takut saat Bima tidak bisa dihubungi. Ia tahu bahwa perasaannya tidak rasional, tetapi ia tidak bisa mengendalikannya.
Suatu malam, Bima harus pergi menemui temannya yang sedang sakit di luar kota. Ia berjanji akan segera kembali, tetapi Riana tidak bisa menahan perasaannya. Ia terus menelepon Bima, mengiriminya pesan, dan bertanya kapan ia akan kembali.
"Riana, aku baik-baik saja," kata Bima dengan nada lelah di telepon. "Aku sedang di rumah sakit, menemani temanku. Aku akan segera kembali. Bisakah kamu percaya padaku?"
Riana terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah bertindak berlebihan, bahwa ia telah membiarkan ketakutannya mengendalikan dirinya. Ia merasa malu dan bersalah karena telah meragukan Bima. "Maafkan aku, Bim," ucapnya lirih. "Aku... aku hanya takut kehilanganmu. Aku takut kamu akan meninggalkanku seperti Raka."
Bima menghela napas lega. Ia memahami ketakutan Riana, tetapi ia juga merasa sedikit frustrasi. Ia ingin Riana percaya padanya, tetapi ia tahu bahwa itu membutuhkan waktu dan kesabaran. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Riana," katanya lembut. "Aku akan selalu kembali padamu. Aku mencintaimu."
Setelah menutup telepon, Riana merenungkan tindakannya. Ia menyadari bahwa ia harus mengatasi traumanya, bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Ia harus belajar mempercayai Bima, memberikan kesempatan pada cinta mereka untuk tumbuh dan berkembang. Ia memutuskan untuk mencari bantuan profesional untuk mengatasi masalahnya.
Keesokan harinya, saat Bima kembali, Riana menyambutnya dengan senyuman tulus dan pelukan hangat. "Selamat datang kembali," bisiknya. "Aku merindukanmu."
Bima membalas pelukan Riana erat-erat. Ia merasakan perubahan dalam diri Riana, sebuah tekad untuk mengatasi ketakutannya. "Aku juga merindukanmu," bisiknya. "Aku senang bisa kembali."
Riana melepaskan pelukannya dan menatap Bima dengan mata yang berkilauan. "Aku ingin mengatakan sesuatu," katanya. "Aku... aku percaya padamu, Bim. Aku percaya pada kita. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin membangun masa depan bersamamu."
Bima tersenyum bahagia. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi ia yakin bahwa dengan cinta, kepercayaan, dan komunikasi yang terbuka, mereka bisa menghadapi segala tantangan yang ada di depan, selangkah demi selangkah, bersama-sama.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*