Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#27
[Rumah Naysila]
"Diajak ke Medan?" tanya Bu Diah.
Naysila mengangguk. "Katanya, Om Roman mau menikahkan Aura, jadi seluruh sanak keluarga dan kerabat diundang. Aku termasuk salah satunya karena Mas Al juga diundang."
Pak Ali yang sedang menikmati makanannya, mengalihkan pandangan pada Naysila dan bertanya, "Lalu, apakah kamu akan ikut dengannya?"
Naysila diam beberapa saat, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Aku belum tahu, Pak. Aku belum memberikan jawaban kepada Mas Al."
"Kenapa tidak memberikan jawaban langsung saat itu juga?"
"Aku bingung," jawab Nasyila. "Terlebih, aku juga ragu mau ikut dengannya."
"Ragu kenapa, Nak?" tanya Bu Diah.
"Ibu dan Bapak tahu aku dan dia sedang bermasalah, jadi alasanku ya... karena itu."
Pak Ali menghentikan suapannya dan menatap putrinya dengan tatapan lembut. "Nak, apakah kamu mau begini selamanya?"
Naysila balas menatap sang ayah, tapi belum mau menjawab pertanyaannya.
"Bapak mengerti kamu kecewa, kamu terluka, kamu sakit hati olehnya. Tapi bukan berarti kamu harus bersikap seperti ini terlalu lama. Alden itu hanya manusia biasa, walaupun dia berusaha sabar menunggu keputusan akhir darimu, tapi dia juga bisa lelah dan menyerah."
Pak Ali menegakkan tubuh di kursinya dan melanjutkan. "Nay, tidak baik menggantung harapan seseorang seperti ini, meskipun kamu juga dulu pernah menggantungkan harapanmu padanya. Tidak semua hal buruk harus dibalas dengan keburukan juga. Bapak dan Ibu, tidak pernah mengajarimu untuk berbuat demikian."
Bu Diah ikut menimpali dengan suara lembut, "Nak, Ibu tahu luka di hatimu belum sembuh. Perbuatan yang Alden lakukan memang tidak bisa dimaafkan dengan mudah, tapi Ibu yakin kamu bukan orang yang pendendam. Jangan biarkan luka itu membuat hatimu jadi keras. Alden sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya dulu, dia juga sedang menunggu keputusan akhir dari kamu. Mau sampai kapan kamu membiarkan dia menunggu, Nak?"
Naysila menunduk, menatap makanan di piringnya yang sudah dingin. Ia merasa matanya panas, tapi berusaha menahan air mata.
"Sampai saat ini, aku belum bisa memutuskan langkah selanjutnya untuk hubunganku dan Mas Al. Hatiku masih terlalu sakit, Bu..." Naysila mulai terisak. "Tapi entah kenapa... saat dia mengatakan dia akan mengikhlaskan aku jika aku meminta diceraikan, rasanya sakit."
Bu Diah dan Pak Ali saling tatap. Mereka menyadari putrinya tidak ingin benar-benar berpisah dengan Alden.
Pak Ali bangkit dari duduknya dan menghampiri Naysila. Ia mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih.
"Nak, apa kamu masih mencintai dia?"
Naysila mendongak, menatap ayahnya dengan berlinang air mata. "Aku pikir dengan kita hidup masing-masing seperti ini, cintaku akan hilang untuknya, tapi ternyata aku salah... Aku gak bisa mengubur rasa ini untuk dia, Pak... Aku... aku... aku masih mencintainya."
Pak Ali tak kuasa menahan haru melihat putrinya menangis. Ia langsung meraih Naysila ke dalam pelukannya.
"Nak, sudah… jangan menangis," ucapnya lembut.
Naysila memeluk sang ayah erat, seolah mencari perlindungan. Isaknya pecah di dada Pak Ali. "Pak… tadi saat pertemuanku dengan Mas Al, sebelum dia pergi… dia bilang kalau dia akan mengikhlaskan aku, gak akan menghalangi jalanku untuk bahagia. Dia… dia janji akan menceraikan aku kalau aku yang meminta, tapi sampai mati pun, dia gak akan pernah menjatuhkan talak kalau aku gak minta, Pak. Dia juga bilang, aku seolah menutup celah untuknya supaya bisa memperbaiki hubungan kami karena aku mengembalikan uang darinya..."
Suaranya parau, tubuhnya bergetar. "Harusnya aku senang dia bilang begitu, tapi entah kenapa… aku justru merasa dadaku sesak. Aku seakan gak mau berpisah dari Mas Al. Entah aku bodoh atau terlalu cinta padanya, tapi ini benar-benar berat, Pak…"
Pak Ali mengusap lembut punggung putrinya, memberi ketenangan. "Nak… kalau Al sudah mengatakan seperti itu, maka artinya dia sudah menyerah untuk membuatmu mau kembali padanya. Bukan karena dia tidak ingin terus berjuang, tapi karena kamu yang tidak memberikan dia kesempatan sama sekali untuk itu."
Naysila terdiam, isaknya mereda sedikit, namun air matanya terus menetes.
"Alden sudah berusaha memperbaiki sikapnya," lanjut Pak Ali. "Dia masih mau menunaikan kewajibannya sebagai suami, memberi nafkah meskipun kalian berjauhan. Tapi kamu mengembalikan uang itu, maka tidak heran kalau Alden berpikir tidak ada lagi kesempatan untuknya. Dia merasa benar-benar ditolak, Nay. Jadi wajar kalau dia akhirnya memilih mengikhlaskanmu."
Naysila menggigit bibirnya, menahan sesak di dadanya. "Aku… aku gak bermaksud menutup semua jalan, Pak. Aku hanya… terlalu marah, terlalu sakit. Aku pikir dengan begitu, aku bisa lega. Tapi ternyata… aku malah semakin hancur."
Pak Ali menarik napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh kasih. "Nak, marah itu wajar. Tapi kalau marah terus menerus, akhirnya hanya kamu yang tersiksa. Kalau kamu masih mencintai dia, jangan biarkan gengsi dan sakit hati menguasaimu. Pertimbangkan baik-baik sebelum semuanya terlambat."
"Hubunganmu dan Alden masih bisa diperbaiki. Apa salahnya kalian mencoba dari awal?"
"Tapi dia sudah menyakiti aku, dia mengkhianati aku, Pak... Itu yang membuatku berat menerima dia kembali," potong Naysila.
"Tapi Alden tidak benar-benar mengkhianati kamu, Nak. Dia hanya membayar wanita itu supaya kamu cemburu karena wanita itu diakui sebagai istrinya," sahut Pak Ali. "Bapak tidak membela dia, tapi jika hanya itu yang dia lakukan, artinya dia tidak benar-benar ingin mengkhianati kamu. Dia melakukannya karena terlalu memikirkan dirinya sendiri, merasa dirinya jadi korban perjodohan orang tua, seolah dia ingin balas dendam dengan menyingkirkan kamu."
Pak Ali melanjutkan. "Tapi pada akhirnya dia menyesal atas apa yang dia lakukan. Dia menyesalinya, meminta maaf, bahkan menginginkan kamu kembali padanya."
Naysila terdiam, hanya membiarkan kata-kata ayahnya meresap masuk ke dalam hatinya yang sedang rapuh. Ia merasa seperti ditampar dengan lembut, diingatkan bahwa selama ini ia terlalu larut dalam amarah dan gengsi, hingga lupa menimbang perasaan yang sebenarnya masih ada di dalam dirinya.
Air mata terus mengalir, tapi kini bukan hanya karena sakit hati, melainkan karena hatinya perlahan mulai menerima kenyataan, ia masih mencintai Alden.
Pak Ali mengusap punggung putrinya, lalu menunduk sedikit agar sejajar dengan wajahnya. Suaranya tegas namun penuh kasih.
"Nay, dengarkan Bapak baik-baik. Jika memang kamu masih mencintai dia dan masih memiliki kesempatan untuk diberikan, maka berikanlah. Jangan biarkan rasa gengsi menutup pintu yang sebenarnya masih bisa terbuka."
Naysila menatap ayahnya, bibirnya bergetar seolah ingin menjawab, namun suara tercekat di tenggorokan.
Pak Ali melanjutkan dengan nada tenang namun tegas, "Tapi kalau memang kamu sudah tidak mau kembali padanya, lekas beritahu dia dan minta cerai. Jangan menggantung hubungan yang pada akhirnya hanya akan mempersulit kalian berdua untuk mendapatkan kebahagiaan. Kamu berhak bahagia, Nay… begitu juga Alden. Jangan biarkan waktu terus berjalan tanpa kepastian, karena nanti kalian berdua hanya akan saling menyakiti lebih dalam."
Kata-kata itu membuat dada Naysila semakin sesak. Ia menunduk, jemarinya meremas ujung rok yang dipakainya. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi kain.
Di satu sisi, ia ingin mempertahankan harga dirinya, tetap berpegang pada luka yang ia rasakan. Tapi di sisi lain, cintanya pada Alden terlalu dalam untuk diingkari. Dan kini, nasihat ayahnya membuatnya sadar: cepat atau lambat, ia harus memilih jalan yang pasti.
Dalam hati kecilnya, Naysila tahu, ia tidak benar-benar ingin berpisah. Ia hanya takut terluka lagi.
______________