Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Matahari sudah bersinar terang dan mereka aru saja bangun dari tidurnya.
"Selamat pagi, sayang." sapa Sebastian sambil memeluk tubuh istrinya.
Amira membalikkan tubuhnya dan mencium bibir suaminya.
"Selamat pagi, Bas. Ayo lekas bangun. Bukankah kamu harus ke kantor. Dan setelah itu kita ke pembukaan hotel Tuan Alexander." ucap Amira.
Sebastian menganggukkan kepalanya dan segera ia bangkit dari tempat tidurnya.
"Kita mandi sama-sama, ya."
Amira yang akan menjawabnya langsung terkejut ketika suaminya langsung membopong tubuhnya.
"Bas, hanya mandi saja. Nggak ada yang lainnya.".
Sebastian membawanya masuk ke kamar mandi dan setelah itu ia menaruh tubuh Amira kedalam bathtub.
"Aku ingin olah raga pagi dulu, sayang." ucap Sebastian yang sudah membuka pakaiannya dan pakaian yang dikenakan oleh Amira.
Ia juga ikut masuk kedalam bathub dimana ia akan memijit punggung istrinya terlebih dahulu.
"Enak sekali pijatan kamu, Bas." ucap Amira dengan suara yang sedikit menggoda.
Sebastian menghentikan pijatannya dan ia membalikkan tubuh Amira.
Ia langsung mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya dan memberikan ciuman khasnya.
"Apakah kamu sudah siap untuk olahraga pagi?"
Amira mengangguk kecil dan bersiap untuk melakukan olahraga pagi.
Dalam satu hentakan keras, Amira langsung memeluk erat tubuh suaminya.
Sebastian mulai melaksanakan olah raga pagi di dalam bathtub.
Air yang ada di dalam bathtub terombang-ambing karena gerakan Sebastian yang terlalu brutal.
Suara desahan mereka terdengar jelas di dalam kamar mandi.
Sebastian tersenyum tipis saat melihat istrinya yang bergerak kesana-kemari seperti cacing kepanasan.
Setelah hampir satu jam, Sebastian yang telah menyelesaikan kewajibannya langsung keluar dari bathtub.
Ia mengambil handuk dan menutup tubuh Amira yang kelelahan.
"Bas, kamu nakal sekali." ucap Amira.
Tidurlah lagi, sayang. Kamu pasti lelah sekali," bisik Sebastian lembut seraya mengecup kening istrinya yang sudah ia baringkan kembali di tempat tidur.
Ia mengambil selimut dan menutup tubuh istrinya yang kelelahan
"Aku akan menyiapkan sarapan dan pakaian untukmu. Setelah itu, aku akan membangunkannya lagi, oke?. Anggap saja ini sebagai pemanasan untuk malam nanti."
Amira merengut manja saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Dasar nakal! Aku akan balas kamu nanti."
"Aku tunggu, sayang. Sekarang istirahatlah sebentar," jawab Sebastian, mengusap pipi Amira dengan penuh kasih sayang, lalu bangkit untuk bersiap-siap.
Sebastian keluar dari kamar dan berjalan menuju ke dapur.
"Selamat pagi, Ma, Bapak, Ibu." sapa Sebastian dengan tersenyum ramah.
Casandra menatap sekeliling dan tidak melibatkan keberadaan Amira.
“Amira mana, Nak? Biasanya dia sudah ikut sarapan.”
Sebastian sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum canggung.
“Amira masih tidur, Ma. Tadi malam dia agak kelelahan,” jawabnya cepat.
Pak Herman mengangkat alis dan tertawa kecil.
“Hmm kelelahan, ya? Pagi-pagi wajahmu juga kelihatan segar sekali, Nak. Apa karena olahraga pagi?”
Sebastian yang sedang menuangkan kopi hampir tersedak.
“I-ya, Pak. Bisa dibilang begitu,” jawabnya gugup sambil tersenyum malu.
Casandra dan Ibu Endah saling pandang, lalu menahan tawa kecil mereka.
“Ya sudah, biarkan dia istirahat dulu. Sebentar lagi juga bangun.”
Kemudian Sebastian memanggil Tiara untuk membuatkan susu coklat untuk Amira.
Sebastian berjalan pelan kembali ke kamar sambil membawa secangkir susu coklat hangat di atas nampan kecil.
Aroma manis susu bercampur dengan wangi kopi dari ruang makan menyatu sempurna, menciptakan suasana pagi yang damai.
Ia membuka pintu perlahan agar tidak membangunkan Amira secara tiba-tiba.
Di atas tempat tidur, istrinya masih terlelap dengan posisi miring, rambutnya terurai lembut di atas bantal, wajahnya tenang seperti bayi.
Sebastian tersenyum kecil, lalu duduk di sisi tempat tidur.
“Sayang…” panggilnya lembut sambil menyentuh pipi Amira dengan ujung jarinya.
“Sayang, waktunya bangun. Aku bawakan susu coklat kesukaanmu.”
Amira menggeliat pelan, membuka matanya setengah.
“Hmm, aromanya enak sekali,” ucapnya dengan suara serak manja.
Ia kemudian menegakkan tubuhnya, duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengucek mata.
“Untukku?” tanyanya sambil tersenyum mengantuk.
Sebastian mengangguk dan menyerahkan cangkirnya.
“Tentu. Susu coklat hangat, seperti yang kamu minta semalam.”
Amira menerima cangkir itu, meniupnya perlahan sebelum menyeruput sedikit.
“Hmm, enak sekali, Bas. Terima kasih,” katanya sambil menatap suaminya dengan tatapan penuh cinta.
Sebastian membelai rambut istrinya dengan lembut.
“Minum yang banyak, ya. Setelah ini kita harus berangkat ke kantor, lalu langsung ke acara pembukaan hotel Tuan Alexander.”
Amira mengangguk kecil, lalu meminum susu itu sampai habis.
Ia meletakkan cangkir ke atas nampan dan meregangkan tubuhnya.
“Baiklah, aku siap bangun. Tapi kamu janji bantu aku pilih baju, ya?”
Sebastian tersenyum, bangkit berdiri, dan membuka lemari pakaian mereka.
“Tentu. Aku pikir warna putih lembut cocok untukmu hari ini. Kamu terlihat cantik dengan warna cerah.”
Amira berdiri di belakangnya, memeluk pinggang Sebastian dari belakang.
“Bas, kamu tahu nggak? Aku bersyukur setiap pagi bisa bangun dan melihat kamu.”
Sebastian berbalik, menatap mata istrinya dalam-dalam.
“Aku juga, Mira. Setiap pagi bersamamu membuat hidupku terasa lengkap.”
Setelah itu, mereka berdua bersiap, Amira mengenakan dress putih lembut dengan cardigan tipis, sementara Sebastian tampil rapi dengan setelan abu-abu muda dan dasi biru laut.
Sebelum keluar kamar, Sebastian mengecup kening istrinya sekali lagi.
“Siap, Nyonya Vettel? Mari kita buat hari ini berjalan sempurna.”
Amira tersenyum, menggandeng tangan suaminya.
“Selalu siap, Tuan Vettel.”
Keduanya berjalan berdampingan keluar kamar, menuruni tangga menuju mobil yang sudah menunggu di halaman
Mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gedung perusahaan milik Sebastian.
Bangunan itu menjulang megah dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Sebastian turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk istrinya.
Amira menatap gedung itu dengan napas panjang.
Ada rasa gugup dan bangga yang menyatu dalam dirinya.
“Selamat datang di dunia kerjaku, Sayang,” ucap Sebastian sambil menggenggam tangan istrinya.
Amira tersenyum lembut. “Kantormu terlihat luar biasa, Bas.”
Mereka berjalan beriringan menuju pintu utama, namun sebelum sampai ke lift, Amira menahan langkah.
“Bas, kamu masuk duluan saja, ya. Aku mau ke kamar mandi sebentar.”
Sebastian mengangguk pelan. “Baik, Sayang. Aku tunggu di ruanganku. Jangan lama-lama.”
“Sebentar saja,” jawab Amira sambil tersenyum manis sebelum berjalan ke arah toilet wanita.
Amira berjalan dengan tenang di koridor yang berkilau bersih, langkahnya ringan dan anggun.
Setelah selesai buang air kecil, ia mencuci tangannya dan menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Tenang, Mira. Ini hanya kantor. Nggak perlu gugup,” bisiknya pada diri sendiri.
Namun, ketenangan itu seketika buyar ketika dua sosok yang sangat ia kenal masuk ke dalam kamar mandi.
Keduanya terhenti di ambang pintu. Isabel menatap Amira dari ujung kepala sampai kaki, wajahnya menegang, lalu tersenyum sinis.
“Lihat siapa yang datang. Aku kira kamu sudah menghilang selamanya,” ejek Isabel sambil menatap dari atas ke bawah.
Nakula berdiri di belakangnya, sedikit terkejut tapi cepat menyembunyikan ekspresinya di balik senyum dingin.
“Amira?” katanya pelan, “Aku hampir nggak mengenalimu. Rupanya setelah diceraikan, kamu belajar berdandan juga.”
Amira menatap mereka berdua dengan tenang, tak lagi menunduk seperti dulu.
“Senang melihat kalian masih seperti biasa yang selalu sibuk merendahkan orang lain.”
“Berani juga kamu bicara seperti itu di sini. Kamu pikir kamu siapa datang ke perusahaan sebesar ini? Karyawan magang? Atau pengemis yang tersesat?”
Amira tersenyum kecil dan menjawab pertanyaan dari Nakula.“Aku ke sini menemui suamiku.”
Ucapan itu membuat Isabel dan Nakula sontak tertawa keras.
“Suamimu?” Isabel menatap Amira dengan pandangan mengejek.
“Kamu pikir siapa yang mau menikah sama kamu setelah ditinggalkan Nakula? Jangan bilang kamu jadi istri satpam?”
Nakula ikut tertawa terbahak-bahak mendengar
perkataan dari Amira.
“Amira, kalau mau buat kebohongan, setidaknya buat yang masuk akal. Perusahaan ini bukan tempat untuk main sandiwara.”
Amira hanya menatap mereka dengan tatapan mantap.
“Aku tidak berbohong. Aku istri dari Tuan Sebastian Vettel.”
Tawa Isabel langsung berhenti, tapi ia tetap pura-pura tak percaya.
“Sebastian Vettel? CEO perusahaan ini? Astaga, kamu benar-benar halu, Mir. Dia itu bos besar, bukan tipe orang yang mau melirik perempuan buangan seperti kamu!”
Amira hendak berjalan pergi, namun tiba-tiba Nakula menahan lengannya dan mendorong tubuhnya hingga hampir terjatuh ke dinding.
“Kamu pikir kami akan percaya omong kosongmu? Satpam! Keamanan!” teriak Nakula sambil menoleh ke arah luar ruangan.
Beberapa petugas keamanan yang sedang berjaga langsung berlari mendekat.
“Usir wanita ini keluar! Jangan biarkan mengotori area kantor,” bentak Nakula.
Salah satu petugas mendekat dan hendak menarik Amira keluar.
Amira menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ia hanya menggenggam pergelangan tangannya sendiri, menahan rasa sakit dan harga diri yang remuk.
m“HENTIKAN!!!”
Suara berat dan tajam menggema dari ujung koridor. Semua orang sontak menoleh.
Sebastian berdiri di sana, wajahnya tegang, rahangnya mengeras, dan matanya penuh amarah.
Langkahnya cepat dan mantap menuju arah mereka.
“Lepaskan tangan istri saya.” suaranya rendah namun menggetarkan seluruh ruangan.
Para petugas keamanan langsung mundur dan menunduk ketakutan.
Nakula dan Isabel membeku di tempat saat melihat amarah Sebastian.
Sebastian berdiri tepat di depan mereka, melingkarkan lengannya di bahu Amira yang masih terkejut.
“Kalau kalian berani menyentuhnya lagi…” suaranya bergetar menahan marah,
"Aku pastikan kalian berdua tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga reputasi kalian di dunia bisnis.”
Isabel menelan ludah, wajahnya memucat dan melihat Amira.
“J-jadi, dia benar-benar—”
“Ya,” potong Sebastian tajam.
“Dia istri sahku, Amira Vettel. Dan aku tidak akan diam melihatnya diperlakukan seperti sampah oleh orang yang tidak tahu diri.”
Amira menunduk pelan, matanya berkaca-kaca. Tapi kali ini, bukan karena sedih melainkan karena bangga.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang berdiri di sisinya, melindunginya tanpa ragu.
Sebastian menatap para karyawan yang mulai berkumpul di sekitar.
“Bersihkan area ini. Dan pastikan tak seorang pun di perusahaan ini berani melecehkan Nyonya Amira Vettel Vanderkus lagi.”
Sambil tetap menggenggam tangan istrinya erat, Sebastian menatap Nakula dan Isabel dengan tatapan tajam yang bisa membelah keheningan.
“Kalian berdua keluar dari sini sekarang!!'
karna bastian mandul