Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 1
Aroma antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan isak yang tertahan. Lampu-lampu putih di ruang rumah sakit berpendar dingin, seakan tak peduli pada air mata yang jatuh di lantai.
Arsyi berdiri kaku di samping ranjang kecil. Tubuh mungil yang selama ini menjadi alasan ia bertahan kini terbaring diam, wajahnya pucat, bibirnya kebiruan. Selimut tipis menutupi dada kecil itu, tapi dingin sudah lebih dulu merebut hangatnya.
“Bu, kami sudah berusaha.” Suara dokter lirih, penuh formalitas yang berulang kali ia dengar di film dan berita, kini menancap langsung ke telinga. “Jantung anak Ibu berhenti, kami tak bisa mengembalikannya.”
Kata-kata itu merobeekk dada lebih tajam daripada pisau. Dunia seakan berhenti berputar, suara sekeliling menghilang... hanya desingan hampa yang menggema.
Arsyi menatap wajah kecil itu, anaknya. Buah hatinya, segalanya.
Senyum anaknya yang dulu hangat, rengekannya yang mengisi malam semuanya lenyap dalam sekejap.
“Tidak… tidak, Nak, bangun… ini Ibu…” Suara Arsyi pecah, tubuhnya bergetar saat ia mengguncang lembut bahu mungil itu. “Kau tidak boleh pergi, dengar? Kau akan tumbuh besar... akan sekolah, akan panggil Ibu dengan suara lantang…”
Perawat mencoba menarik tubuhnya, tapi Arsyi menepis. Air matanya jatuh deras, membasahi wajah dingin anaknya.
Dan di saat itu, suara paling ia benci menyusup tajam ke telinganya.
“Sudah kubilang! Ini semua salahmu, Arsyi!”
Ia menoleh.
Di ambang pintu, berdiri Fajar. Lelaki yang dulu ia panggil suami dengan harap, kini hanya bayangan kelam. Tatapannya penuh benci, rahangnya mengeras.
“Kalau saja kau jaga kandunganmu, kalau saja kau lebih berhati-hati merawatnya… anak kita tidak akan mati begini!” Fajar menuding tepat ke wajahnya.
Arsyi terpaku, kata-kata itu menampar lebih keras daripada tangan.
“Mas…” suaranya serak. “Aku... sudah lakukan segalanya. Aku menjaga anakku siang malam, aku__”
“Omong kosong!” bentak Fajar, membuat perawat menunduk tak berani menengahi. “Kau memang perempuan tak berguna! Bahkan jadi ibu pun kau gagal! Kematian ini tanggung jawabmu!”
Arsyi mematung. Tangannya masih menggenggam tubuh kecil anaknya, tapi hatinya hancur berkeping-keping.
Perempuan tak berguna.
Kata-kata itu menggema, menyalakan bara dalam dadanya.
Tak lama, suara lain menyusul. Nyonya Ratna, ibu mertuanya datang dengan wajah pura-pura berduka padahal bibirnya tersenyum tipis.
“Ibu sudah bilang sejak awal, Fajar. Perempuan ini tidak pantas melahirkan anakmu. Lihat hasilnya... anak ini pun membawa sial!”
Arsyi menoleh pada wanita paruh baya itu, menatapnya tajam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tidak lagi sekadar menunduk.
“Jangan katakan anakku pembawa sial!"
Nyonya Ratna mendengus. “Anakmu mati di usia sekecil ini, itu tanda buruk! Leluhur kami tidak salah menolakmu dulu.”
Arsyi bangkit. Air matanya masih mengalir, namun sorot matanya berbeda. Dingin dan menusuk.
“Cukup! Jangan sekali lagi menyebut anakku dengan kata kotor itu! Dia suci! Yang kotor itu… kalian! Mulut kalian sudah terbiasa mengucapkan kata-kata hinaan dan cacian padaku! Tapi, jangan berani menghina anakku!“
Ruangan membeku.
Bahkan Fajar terdiam sesaat, tak menyangka istrinya yang selama ini selalu diam bisa melawan.
Namun hanya sesaat.
“Dasar perempuan kurang ajar!” Fajar melangkah maju, seolah hendak menampar. Tapi Dokter buru-buru menahan, memohon agar suasana diredam.
Arsyi tak peduli.
Ia menunduk kembali pada anaknya, mengecup kening dingin itu untuk terakhir kali.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak sanggup melindungimu. Tapi percayalah... ini bukan akhir Ibu. Kehilanganmu akan menjadi awal kekuatan Ibu.”
Malam itu setelah jenazah dimandikan dan dibungkus kafan putih, Arsyi mengikuti prosesi dengan kaki lemas. Setiap langkahnya seperti berjalan di atas duri. Isak tetangga dan kerabat bercampur dengan bisik-bisik hinaan keluarga suami.
“Percuma menikah kan... kalau jadinya begini?” ucap salah satu kerabat Fajar.
“Sudah kubilang, Fajar terlalu tinggi untuk perempuan seperti itu,” timpal yang lainnya.
Arsyi mendengar semuanya, tapi ia hanya diam. Air matanya habis, yang tersisa hanyalah api yang mulai menyala.
Saat tanah menutup jasad kecil itu, ia berbisik dalam hati.
Aku tidak akan selamanya diam! Hari ini aku kehilangan segalanya, tapi suatu hari aku akan berdiri. Aku akan bangkit... meski harus melawan dunia!
Sepulang dari pemakaman, Arsyi masuk ke kamar. Semua mainan kecil anaknya masih berserakan. Boneka beruang yang belum sempat dipeluk lagi, selimut bergambar awan.
Ia duduk di lantai, memeluk boneka itu erat. Tubuhnya berguncang hebat karena isak tangis yang menyayaatt hati, bukan hanya karena tangis kesedihan namun juga karena tekad yang tumbuh.
Di luar pintu Fajar masih melontarkan sumpah serapah, mengancam akan menikah lagi karena butuh istri yang bisa memberinya keturunan sehat.
Namun kali ini, Arsyi tidak merasa hancur. Tidak seperti biasanya...
Ia berdiri, menatap cermin. Wajahnya sembab, tapi sorot matanya tajam.
“Cukup! Aku bukan budak hinaan! Aku bukan perempuan lemah lagi! Aku Arsyi… dan aku akan meninggalkan rumah ini.”
Kata-kata itu terucap pelan, namun bergema dalam dirinya.
Hari itu, di atas puing hidupnya... lahirlah kekuatan baru. Kekuatan seorang wanita yang dipaksa kehilangan, namun justru menemukan dirinya sendiri.