Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21
Saat dirinya bisa masuk ke kamar dan beristirahat, Tenggara malah memilih duduk sendirian di lobi. Menunggu Ganesha dan teman-temannya kembali hingga pukul setengah satu pagi. Perasaannya tidak tenang saja kalau belum melihat gadis itu masuk ke kamarnya. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dada dan membuatnya tidak nyaman.
Gema suara tawa dari arah pintu masuk kemudian membuatnya mengangkat kepala. Gadis yang ditunggunya berjalan masuk dengan senyum terkembang selebar-lebarnya. Kedua temannya setia berada di sisi, menjaga di kanan dan kiri.
Selalu ada perbedaan yang kontras dari bagaimana cara kedua teman Ganesha memandang dirinya. Walau tak selalu ramah, Selena masih menunjukkan kesopanan dengan tidak menampakkan kemuakan secara terang-terangan. Tetapi Kafka, lelaki itu sama sekali tidak pernah berusaha menutupi kebenciannya. Kilat amarah selalu memenuhi netranya setiap kali mereka berjumpa.
"Kok masih di sini?" Ganesha bertanya dengan senyum yang pudar sepenuhnya.
Tenggara menarik pandangannya dari Kafka, melunakkannya ketika bertemu tatap dengan Ganesha. "Nungguin lo," ucapnya.
Kening Ganesha mengerut samar. "Kenapa?" tanya sang gadis.
"Ada yang mau gue obrolin."
"Besok aja," sela Kafka. Mekanisme tubuhnya secara alami menarik Ganesha ke belakang tubuhnya. Menyembunyikan eksistensi sang gadis dari jarak pandang Tenggara yang dia anggap predator berbahaya.
Berusaha tetap tenang dan tak terpancing emosi, Tenggara menahan diri tetap di tempat. Dengan nada rendah dia berkata, "Ini soal kerjaan, bukan urusan pribadi." Kepalanya meneleng sedikit, mengintip ke arah Ganesha. "Besok kita flight jam sebelas, gue nggak yakin masih ada waktu yang cukup buat diskusi."
Di belakang tubuhnya, Kafka merasakan Ganesha bergerak perlahan. Dia mendesah panjang, memelototi sang gadis untuk tetap diam.
"Soal kerjaan," bisik Ganesha meyakinkan.
Kafka berdecak keras. Mau tak mau, dia membiarkan lengan Ganesha lolos dari genggaman. Dengan mata yang terus mengawasi pergerakan Tenggara, dia biarkan gadis itu muncul ke permukaan.
"Jangan lama-lama, Nesha butuh tidur yang cukup." Kafka memperingatkan.
Tenggara hanya mengangguk, lalu mempersilakan Ganesha berjalan lebih dulu. Sebelum mengekor di belakang sang gadis, lagi-lagi dia mendapati Kafka menatap tajam dirinya. Lelaki itu juga kembali menunjukkan gestur yang mempertegas ungkapan, I'm watching you. Seakan Tenggara tidak cukup diperingatkan hanya satu kali.
Dari lobi, mereka berjalan menuju area tengah hotel. Ke sebuah bar dengan pencahayaan remang dan alunan musik yang cozy dan menghanyutkan. Satu set tempat duduk dengan meja bulat dan dua single sofa empuk dipilih. Mereka duduk berseberangan, dengan jarak tak cukup jauh terbentang.
Tenggara memesan Highball untuk dirinya dan Shirley Temple untuk Ganesha. Sebagai pendamping, dipesannya Mini Cheese Platter untuk berdua.
"Soal apa nih?" tembak Ganesha setelah semua pesanan mereka siap di meja.
Tenggara menyesap Highball-nya sedikit, lalu menjawab, "Evaluasi rutin aja."
Ganesha menganggukkan kepala. "Gimana, gimana? Ada yang menurut lo perlu ditingkatkan?" tanyanya.
Sebelum menjawab, Tenggara mengeluarkan tab yang sedari tadi ditentengnya ke mana-mana. Beberapa video sudah diunduh di sana, sengaja disiapkan untuk bahan evaluasi yang biasa mereka lakukan setiap beberapa kali setelah pentas.
Di setiap pentas, mereka selalu menunjuk satu orang dari pihak promotor untuk melakukan dokumentasi, lalu hasilnya itulah yang akan digunakan untuk mendiskusikan penampilan mereka mendatang. Selain itu, ada juga beberapa fancam dari penggemar. Biasanya dipilih random, dicomot dari daftar tag di akun sosial media resmi milik mereka.
Sambil sesekali menyesap minuman masing-masing, mereka asyik berdiskusi. Tak ada canggung ataupun grogi. Mereka mendadak kompak menyingkirkan perasaan pribadi.
"Next event kayaknya kita perlu ubah beberapa setlist," usul Ganesha, "Gimana kalau bawain lagu-lagu lama yang udah jarang kita bawain, tapi angka streaming-nya masih tinggi?"
Tenggara berpikir sejenak, lalu manggut-manggut tak lama kemudian. "Tambahin item couple di lagu ini oke nggak?" Seraya menunjuk fancam penampilan mereka di salah satu lagu.
"Item couple?"
"Iya."
"Misalnya?"
"Mini scarf gitu mungkin? Bisa kita iket di tangan atau di stand mic."
Ganesha terdiam sebentar. Berpikir sambil menghadirkan visualisasi dari ide Tenggara di kepalanya. Setelah terbayang, dia manggut-manggut. Itu bukan ide yang buruk. Mini scarf yang diikat di pergelangan tangan atau di stand mic akan cukup eye catching tanpa mereka berusaha berlebihan untuk menunjukkan keberadaannya. Masalahnya sekarang adalah mencari warna dan motif mini scarf yang sesuai dengan kebutuhan.
"Kita bikin custom aja, gue ada kenalan yang bisa provide. Di sini udah ada beberapa desain yang sempat gue bikin," ujar Tenggara. Dia menggeser layar tab ke folder lain. Beberapa desain buatannya ditunjukkan kepada Ganesha. "Lo lihat-lihat aja dulu, kalau ada yang menurut lo oke, kita pakai yang itu."
Jika didengarkan, obrolan mereka seperti wajar-wajar saja. Dua orang partner kerja yang sedang berdiskusi tentang apa yang baik untuk kemajuan karier mereka. Tetapi bagi Ganesha, ini adalah sesuatu yang baru. Meski sudah kerap melakukan evaluasi seperti sekarang, ini adalah kali pertama dia merasa benar-benar dilibatkan. Dalam banyak kesempatan di masa lalu, dia lebih sering iya-iya saja. Apa yang Tenggara mau, itu yang dia iyakan tanpa banyak melakukan penolakan.
Menyadari hal tersebut, Ganesha berhenti sejenak. Dia jadi merenungkan banyak hal sia-sia yang sudah dia lakukan dulu. Padahal kalau punya keberanian lebih banyak, dia bisa saja menunjukkan dirinya lebih sering dan tak harus makan hati. Kalau dipikir-pikir, Tenggara juga tidak sejahat itu. Lelaki itu bersikap semaunya sendiri bisa jadi karena dirinya yang terlalu iya-iya saja.
"Kak," gumamnya setengah menerawang.
Tenggara berdeham. Raut wajahnya setenang malam.
"Thank you udah minta pendapat gue."
Sebaris kalimat biasa, tetapi berhasil meluluhlantakkan isi hati Tenggara. Dia merasa tertampar, lalu mempertanyakan apakah dirinya memang sudah sejauh itu membiarkan Ganesha tenggelam dan merasa tak didengar.
Di pertengahan diskusi yang masih harus dilanjutkan, Tenggara merasakan sesuatu menusuk dadanya terlalu kuat.
......................
Padahal sudah hampir jam tiga pagi, tapi Tenggara tetap tak bisa menghindarkan diri dari tatapan maut Kafka. Lelaki itu berdiri bersilang tangan di depan unit kamar Ganesha. Menyandarkan bahu di dinding, memandang penuh penghakiman sejak dirinya dan Ganesha baru muncul di ujung lorong. Ibarat anjing, Kafka ini jenis Doberman Pinscher, yang tak akan angkat kaki dari tempatnya ditugaskan berjaga.
"Masuk," perintahnya.
Nadanya terdengar tak ramah dan Tenggara tidak suka, tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Bibirnya tetap bungkam, sembari matanya menyaksikan Ganesha masuk ke kamar dan tubuh rampingnya sepenuhnya menghilang setelah pintu ditutup.
"Apa lihat-lihat? Nggak seneng?" sengak Kafka ketika Tenggara mengalihkan pandangan padanya.
Tenggara hanya bisa menghela napas rendah. Bisa saja dia menghajar Kafka, memberikan hadiah di wajah tampannya agar lelaki itu berhenti bertingkah sok jagoan. Hanya saja, Tenggara tak bisa realisasikan ide itu sekarang. Selain menimbulkan keributan, dia juga tidak mau pandangan Ganesha kepada dirinya menjadi buruk dan hubungan mereka semakin renggang.
Pada akhirnya, Tenggara hanya bisa meninggalkan Kafka sendirian di sana. Masuk ke kamarnya sendiri sambil mengucap sabar seribu seratus kali.
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅