Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbang dan Kebenaran yang Terungkap
Setelah berjalan sekitar satu kilometer mendekati area hutan dan tebing, pandangan Shanmu tertuju pada langit mendung di atas mereka. Ingatannya melayang pada pemandangan di pelataran sekte, pada kultivator yang berdiri di atas pedangnya, melayang bebas seperti burung. Sebuah kerinduan mendalam dan kekaguman yang polos menyergapnya. Ia menatap Lanxi yang berjalan di sampingnya, wajahnya dipancari senyum cerah yang penuh harap dan sedikit ragu.
"Lanxi," ucapnya, suaranya bergetar halus karena antusiasme. "Karena kita sudah dekat... bolehkah aku melihatmu terbang? Maaf jika aku lancang bertanya."
Lanxi menoleh, melihat ekspresi polos dan penuh harapan seperti anak kecil itu. Sebagai seorang Pejuang Perak, ia memang sudah bisa terbang tanpa bantuan artefak khusus, berbeda dengan Pejuang Besi yang masih memerlukan alat bantu seperti pedang terbang atau karpet spiritual. Sebuah senyum lembut merekah di bibirnya.
"Baiklah. Akan kuperlihatkan padamu."
Shanmu langsung berseri, matanya berbinar-binar bagai dua bintang. Ia mengamati dengan saksama setiap gerakan Lanxi. Lanxi berdiri tegak, mengambil napas dalam-dalam yang tenang. Kemudian, tanpa gerakan berlebihan, tubuhnya yang ramping mulai melayang perlahan dari tanah. Seolah-olah ditopang oleh tangga tak kasat mata, ia naik setinggi lima meter, berdiri di udara dengan anggun, gaun birunya berkibar lembut ditiup angin siang yang dingin. Ia bertahan di sana beberapa detik, lalu turun dengan lembut, mendarat tanpa suara.
"Wah! Itu sangat hebat, Lanxi!" puji Shanmu, tepuk tangan kecil keluar dari tangannya yang besar. "Aku tidak menyangka... perkataan Kepala Desa dulu benar adanya! Manusia benar-benar bisa terbang!"
Lanxi tersenyum, merasa hangat oleh reaksi tulus Shanmu. "Tentu saja. Dan bukan hanya melayang, kami para kultivator bisa terbang dengan sangat cepat."
Mata Shanmu semakin berbinar. Rasa penasarannya meledak. "Kalau begitu... jika tidak keberatan, bisakah kau tunjukkan padaku kecepatan terbangmu? Dan... tunggu aku di pinggir hutan dan bukit itu nanti." Ia berhenti sejenak, lalu dengan polosnya menambahkan, "Aku akan melihatnya sambil berlari mengejarmu. Hitung-hitung pemanasan sebelum latihan."
Saran yang naif dan penuh semangat itu membuat Lanxi tertawa lembut, suaranya seperti gemerincing lonceng perak di angin. "Bagus. Aku tidak salah memilih teman. Semangatmu sangat bagus, Shanmu."
Shanmu menggaruk-garuk kepalanya, merasa malu sekaligus senang dipuji. "Baiklah. Perhatikan dan kejar aku jika bisa," lanjut Lanxi dengan senyum bermain-main.
Shanmu mengangguk antusias. Lanxi kembali mengumpulkan Qi-nya. Kali ini, ia melayang lebih tinggi, mencapai ketinggian sepuluh meter. Lalu, dengan ledakan energi yang halus namun kuat, tubuhnya melesat bagai anak panah yang dilepaskan dari busur raksasa. Ia bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan menuju area pinggir hutan dan bukit yang ditunjuk Shanmu, meninggalkan jejak angin yang berdesir di belakangnya.
Shanmu terpana. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena usaha, tetapi karena kekaguman yang mendalam. Ia menyaksikan sebuah legenda hidup, sebuah mimpi yang mustahil, terwujud tepat di depan matanya. Untuk sesaat, ia hanya bisa berdiri, menelan ludah, memandang sosok yang semakin mengecil di langit.
Kemudian, ia tersadar. Aku harus mengejar! Bukan karena ingin menyamai, tetapi karena ingin menyaksikan lebih dekat, ingin merasakan sedikit saja dari pengalaman itu dari sudut pandangnya sendiri. Dengan senyum lebar, ia mulai berlari.
Namun, ini bukan lari biasa. Ini adalah lari Shanmu. Tubuhnya yang perkasa melesat di tanah, kakinya meninggalkan jejak dalam di tanah lembap. Angin menerpa wajahnya, tetapi ekspresinya penuh kegembiraan murni. Matanya tak lepas dari titik biru kecil di langit. Ia tidak berpikir untuk menyamai kecepatan terbang Lanxi; ia hanya ingin "melihat" dan "merasakan" dari bawah.
Lanxi, yang telah sampai di tepi hutan, mendarat dengan anggun. Ia menoleh ke belakang, mengharapkan melihat Shanmu masih berlari di kejauhan, atau setidaknya baru setengah jalan. Namun, yang ia lihat adalah... tidak ada.
Alisnya yang halus berkerut. Apa dia tersesat? Atau kelelahan? Pikirannya berputar. Ia memindai area di sekelilingnya.
Dan kemudian, dari bawah sebuah pohon besar tepat di depannya, suara yang akrab terdengar.
"Wah, hebat sekali, Lanxi! Kau terbang begitu cepat!"
Lanxi terkesiap. Kepalanya menoleh ke bawah sumber suara. Di sana, berdiri dengan wajah bersinar dan sedikit berkeringat di pelipis, adalah Shanmu. Ia tersenyum cerah, matanya memancarkan kekaguman yang tak terbendung.
Kapan... dia sampai di sini? Pikiran Lanxi kacau. Ia tidak melihat atau merasakan pendekatan Shanmu sama sekali. Ia terbang dengan kecepatan penuh, meski tidak maksimal, tetapi tetap kecepatan yang jauh melampaui lari manusia biasa.
"Shanmu... kapan kau di situ?" tanya Lanxi, suaranya mengandung keheranan yang nyata.
Shanmu memiringkan kepalanya, tampak bingung. "Aku dari tadi selalu di bawahmu, mengejar sambil melihat kau terbang, Lanxi."
Jawaban polos itu membuat Lanxi merasa seperti ditampar. Selalu di bawahku? Mengejar? Itu mustahil. Kecuali... kecuali kecepatan lari Shanmu sebanding, atau bahkan mungkin melebihi kecepatan terbangnya yang tadi? Tapi itu... tidak masuk akal. Manusia tanpa Qi, tanpa teknik kultivasi, memiliki kecepatan seperti itu?
Lanxi memandang Shanmu dengan tatapan yang lebih dalam, lebih analitis daripada sebelumnya. Ia turun dari batu tempatnya berdiri, mendekati Shanmu. "Kau... apa benar ini, Shanmu?" suaranya berbisik, penuh ketidakpercayaan.
Shanmu tersentak, lalu melihat sekelilingnya dengan waspada, seolah-olah mencari ancaman. "Iya, ini aku, Shanmu. Apa... ada Shanmu lainnya?" tanyanya, kebingungannya tulus.
Lanxi memegang dagunya, menghela napas panjang yang mengandung segala macam emosi: keheranan, kekaguman, dan sedikit... kegelian. "Ya sudahlah. Kita lanjutkan latihanmu. Aku sangat penasaran ingin melihatnya."
Wajah Shanmu kembali cerah. "Ayo, Lanxi, ikuti aku!"
Mereka kemudian memasuki hutan, menyusuri pinggiran tebing yang curam. Tak lama, Shanmu menemukan targetnya: sebuah batu raksasa, kira-kira tiga kali lebih besar dari tubuhnya, setengah terkubur di tanah.
"Lanxi, lihatlah!" seru Shanmu, dengan nada meyakinkan seperti seorang pesulap yang akan menunjukkan trik. "Batu ini bisa menghilang tiba-tiba, loh!"
Lanxi, yang sudah dipenuhi rasa penasaran yang membara, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai cepat. "Baiklah, coba tunjukkan. Jika ada kultivator atau binatang spiritual yang coba mengganggu, aku akan menebasnya."
Janji perlindungan itu membuat Shanmu semakin senang dan merasa aman. "Lihat, Lanxi, perhatikan baik-baik." Ia lalu membungkuk, kedua tangannya yang besar mencengkeram tonjolan di sisi batu.
Lanxi mengamati dengan skeptis. Bahkan bagi seorang Pejuang Biasa, mengangkat batu sebesar itu akan sangat sulit. Ia mempersiapkan diri untuk melihat "trik" atau mungkin gangguan eksternal.
Shanmu mulai menarik. Otot-ototnya menegang, urat di lehernya membesar. Dengan suara erangan dari dalam dada, ia mengerahkan tenaganya.
Wussshh!
Apa yang terjadi selanjutnya membuat Lanxi membeku total.
Batu raksasa itu terlepas dari tanah bukan dengan cara diangkat perlahan, tetapi terlontar ke atas dengan kecepatan yang mengerikan, seolah-olah ditendang oleh raksasa tak kasat mata. Batu itu melesat vertikal ke langit, menembus lapisan awan mendung yang rendah, dan... menghilang dari pandangan. Sementara itu, karena daya tolak yang tiba-tiba dan tidak seimbang, Shanmu terlempar ke belakang. Pantatnya menghantam tanah dengan keras.
"Aduhh!" keluhnya, sambil mengelus bagian yang sakit. Ia segera bangkit, dan matanya langsung mencari batu itu. Saat melihat lobang kosong di tanah, wajahnya berseri-seri campur keheranan. "Lihat, Lanxi! Batunya menghilang lagi!"
Ia menunjuk ke arah lobang, lalu menoleh ke Lanxi, berharap mendapat penjelasan atau setidaknya reaksi yang sama herannya.
Namun, yang ia lihat membuat hatinya berdesir khawatir.
Lanxi berdiri membeku. Matanya yang indah membulat, pupilnya mengecil. Wajahnya pucat, mulutnya sedikit terbuka. Ia tampak seperti orang yang baru saja menyaksikan hantu, atau sesuatu yang melanggar semua hukum fisika dan kultivasi yang ia ketahui. Ia terdiam total, seolah-olah jiwa tercabut dari tubuhnya.
"Lanxi! Tenanglah! Sadarkah dirimu?" seru Shanmu, suaranya tegang. Ia langsung mengambil posisi waspada, tubuhnya berputar, matanya yang tajam menyapu setiap sudut hutan, mencari musuh tak kasat mata yang mungkin telah menyihir temannya. Tangannya mengepal, siap melindungi Lanxi yang tampak tidak berdaya.
Beberapa detik yang terasa seperti abad berlalu. Kemudian, perlahan-lahan, ekspresi Lanxi berubah. Kekagetan dan keterpukauannya berubah menjadi sebuah pemahaman yang dalam, hampir menakutkan. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Shanmu yang sedang berjaga-jaga.
"Shanmu," ucapnya, suaranya datar namun bergetar halus. "Batunya tidak menghilang."
Shanmu berhenti memindai, memandang Lanxi dengan bingung. "Hah? Tapi..."
"Tapi," sambung Lanxi, memotongnya, "kau yang melemparkannya terlalu kuat. Terlalu, terlalu kuat."
Shanmu terdiam. Tubuhnya condong ke belakang, ekspresi kebingungan yang mendalam menghiasi wajahnya. "Haa? Bagaimana bisa?"
Lanxi menggeleng pelan, seolah-olah mencoba mengatur kembali realitas di kepalanya. "Coba angkat satu batu lagi. Tapi kali ini, jangan gunakan semua tenagamu."
Shanmu mengernyitkan dahinya. "Lanxi, tadi... aku tidak menggunakan seluruh tenagaku."
Pengakuan polos itu seperti pukulan kedua bagi Lanxi. Tidak menggunakan seluruh tenaga, namun bisa melemparkan batu sebesar itu hingga menghilang di awan? "Baiklah," ucapnya, berusaha tetap tenang. "Kalau begitu, angkat batunya perlahan. Angkat yang itu." Ia menunjuk sebuah batu yang bahkan lebih besar, kira-kira empat kali ukuran Shanmu, sebuah monolit yang tampaknya mustahil digerakkan.
"Baiklah." Shanmu mendekati batu raksasa itu tanpa ragu. Ia membungkuk, mencari pegangan, lalu dengan desisan napas, ia mulai mendorong. Batu itu bergerak, lalu terangkat dari tanah. Shanmu berdiri tegak, menahan beban yang mengerikan itu di atas bahunya dengan relatif mudah, lalu memandang Lanxi. "Lihat, sudah kuangkat. Lalu apa yang harus kulakukan?"
Lanxi, yang menyaksikan pemandangan itu dengan mata nyaris melotot, menunjuk ke arah sebuah pohon besar di kejauhan, yang puncaknya tinggi menjulang, dan ke arah gerbang kota yang masih terlihat samar-samar. "Coba lempar sampai melewati pucuk pohon itu."
Shanmu terkejut. "Bagaimana bisa, Lanxi? Aku tidak sekuat itu," protesnya jujur.
"Jika tidak bisa, tidak apa-apa," kata Lanxi, mencoba meyakinkan. "Yang penting dicoba terlebih dahulu."
Shanmu mengangguk, lalu bersiap. Kali ini, ia benar-benar berniat mengerahkan seluruh kemampuannya. Ia mengatur napas, merasakan setiap otot di tubuhnya, lalu dengan teriakan kecil dari dalam dada, ia mendorong batu raksasa itu ke atas dengan kedua tangannya.
Wussshhh!
Suara itu lagi. Batu monolit itu melesat dari bahu Shanmu seperti proyektil dari ketapel raksasa. Ia meluncur dengan kecepatan yang memekakkan telinga, membelah udara, melesat tinggi, melewati puncak pohon besar yang ditunjuk Lanxi dengan mudah, dan terus naik hingga menghilang ditelan awan mendung yang gelap.
Shanmu sendiri, karena daya dorong yang luar biasa, terduduk di tanah, pantatnya kembali mendarat keras. Ia tidak merasakan sakit kali ini. Ia hanya duduk terpaku, menatap langit kosong tempat batunya menghilang, wajahnya dipenuhi ketidakpercayaan yang mendalam.
"Bagaimana bisa... ini tidak mungkin..."
Lanxi berjalan mendekat, membantunya berdiri. Tangannya yang lembut merasakan betapa padat dan kokohnya otot lengan Shanmu. Ia menatap mata Shanmu yang masih bingung. "Jadi... selama ini kau tidak menyadari kelebihanmu?"
Shanmu menggeleng pelan, matanya masih kosong. "Aku... baru melihatnya hari ini, Lanxi."
Lanxi menghela napas, campur aduk antara frustrasi dan kekaguman yang luar biasa. Lalu, tiba-tiba, ia tertawa. Bukan tawa mengejek, tetapi tawa yang keluar dari kelegaan, dari keheranan yang telah menemukan jawaban, dari kekonyolan situasi. Suara tawanya yang biasanya anggun kini terdengar bebas dan riang, bergema di antara pepohonan.
Shanmu hanya bisa heran melihat Lanxi tertawa seperti itu. Ia tidak mengerti.
Setelah tawanya mereda, Lanxi berjalan menuju sebuah batu yang jauh lebih kecil dari yang diangkat Shanmu tadi, kira-kira sebesar tubuh manusia biasa. Tanpa mengedarkan Qi-nya sama sekali, ia mencoba mendorongnya. Batu itu bahkan tidak bergoyang. Ia bahkan tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.
"Lihat," ucap Lanxi, berbalik pada Shanmu. "Aku, seorang kultivator Pejuang Perak, bahkan tidak bisa menggerakkan batu ini tanpa menggunakan Qi."
Shanmu mengangguk, memperhatikan dengan serius.
Kemudian, Lanxi mulai mengedarkan Qi-nya. Aura biru pucat memancar halus dari tubuhnya. Ia kembali mendorong batu yang sama. Kali ini, batu itu bergerak, lalu terangkat sepenuhnya. "Lihat, ini kekuatanku dengan menggunakan kultivasi."
Lalu, dengan gerakan yang terampil, ia melemparkan batu itu ke depan. Batu itu terbang melayang dengan kecepatan yang baik, membentuk parabola di udara.
"Wah! Itu hebat, Lanxi!" puji Shanmu tulus, wajahnya kembali berbinar melihat "keajaiban" kultivasi.
Lanxi menghela napas lagi. Kemudian, ia memperhatikan di mana batu itu jatuh. Jaraknya kira-kira satu kilometer dari mereka. "Meskipun menggunakan kultivasi dan Qi-ku," ucapnya, suaranya jelas dan penuh penekanan, "aku tidak bisa melempar batu itu lebih jauh dari lemparanmu tadi. Bahkan, lemparanmu tadi mungkin berkali-kali lipat lebih jauh."
Ia memandang Shanmu langsung ke matanya. "Itu artinya, kekuatanmu, Shanmu... itu spesial. Sangat spesial. Itu adalah kekuatan fisik murni pada tingkat yang bahkan melampaui beberapa kultivator."
Kata-kata itu menggema di telinga Shanmu. Kekuatanmu spesial. Melampaui kultivator. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama merasa diri kurang, merasa diri tidak berguna di dunia yang memuja Qi, sebuah kebenaran baru disodorkan padanya. Ia hampir tidak percaya. Tapi melihat ekspresi serius Lanxi, nada bicaranya yang tidak main-main, dan bukti yang baru saja mereka saksikan bersama, sebuah keyakinan pelan-pelan mulai tumbuh di dalam hatinya. Perasaan aneh menyergapnya, campuran antara senang, bangga, dan... harapan. Mungkin, jalannya memang berbeda. Mungkin, kekuatannya yang selama ini ia anggap biasa saja, ternyata berarti.
Sementara itu, di gerbang Kota Lama...
Penjaga Li, yang sebelumnya ketakutan setengah mati mengira Shanmu siluman, kini sudah lebih tenang setelah menyaksikan Shanmu pergi bersama Nona Lanxi. Ia berdiri berjaga dengan tenang, meski sesekali masih merinding mengingat pengalaman menghilang-nya Shanmu.
Boommmmm!!!
Suara ledakan dahsyat yang menggelegar tiba-tiba memecah kesunyian sore. Sepuluh meter tepat di depan pos penjagaan, sebuah batu raksasa yang dilemparkan Shanmu, menghujam bumi dengan kekuatan yang mengerikan. Tanah bergetar, debu dan kerikil beterbangan membentuk awan kecil.
Penjaga Li yang sedang melamun langsung melompat setinggi pinggang, jantungnya nyaris copot. Tanpa bisa menahan diri, jeritan primal keluar dari mulutnya.
"Aawwwwwwwww!!!!!!"
Teriakan panik dan ketakutan itu begitu keras, menggema hingga ke dalam kota, bahkan mungkin terdengar hingga jarak ratusan meter.
Warga Kota Lama yang sedang beraktivitas di dekat gerbang langsung berhamburan keluar, penasaran dengan sumber suara menggelegar dan teriakan minta tolong itu. Mereka berkumpul, membentuk kerumunan yang semakin besar, mengelilingi batu meteor yang tiba-tiba jatuh dari langit.
Penjaga yang berwajah dingin, yang juga terkejut bukan main, mendekati rekannya yang masih terduduk lunglai. "Apa yang terjadi?!"
Penjaga Li, dengan wajah pucat dan napas tersengal, menunjuk ke arah batu besar itu. "Itu... itu pasti ulah siluman gunung! Batu jatuh dari langit!"
Kata-katanya menyebar seperti api. "Siluman gunung?" "Batu dari langit?" "Apa ini pertanda buruk?"
Semua orang memandang batu yang masih menancap di tanah dengan heran dan ketakutan. Mereka memeriksanya, tetapi tidak menemukan tanda-tanda api atau petir. Hanya sebuah batu besar biasa, seolah-olah diambil dari gunung dan dijatuhkan dari ketinggian yang sangat tinggi. Sebuah misteri di siang hari yang mendung, yang tak seorang pun, kecuali dua orang di tengah hutan tahu jawabannya. Kota Lama gempar, sementara di kejauhan, Shanmu baru saja menyadari bahwa dirinya mungkin tidak biasa, dan Lanxi tersenyum melihat sebuah potensi yang luar biasa mulai terbangun di depan matanya.