NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:309
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tabola Junior

Udara siang di halaman Padepokan Sarasvati masih menyisakan ketegangan dari Ujian Filsafat barusan. Para peserta yang lolos keluar satu per satu, sebagian masih pucat, sebagian lain lega karena berhasil menipu maut tanpa ketahuan panitia. Tim Sapta melangkah paling terakhir, napas mereka masih memburu.

Begitu kaki mereka menginjak pelataran, sebuah suara berat namun penuh kehangatan memanggil:

“Heh, kisanak… selamat kalian lolos.”

Mbah Kunto berjalan mendekati mereka sambil merangkul mereka bertiga wajah mudanya tampak mengembang, bangga.

“Kalian sudah lewati fase pertama yang paling licik. Tapi fase kedua…”

Ia berhenti, menatap mereka satu per satu.

“…jauh lebih gawat.”

Cindeloka menelan ludah. Nada suara Mbah Kunto tidak seperti biasanya—lebih berat, lebih gelap.

Lisna bertanya pelan, “Fase keduanya seperti apa, Mbah?”

Mbah Kunto menyeringai kecil, seolah sudah menebak pertanyaan itu.

“Fase kedua dilakukan di alam bebas. Ujian tim. Kode etik pendekar melarangku cerita detailnya. Tapi intinya… kalian harus bertahan hidup.”

Seluruh anggota Tim Sapta merinding.

Cindeloka bahkan memegangi seragam silatnya erat-erat seperti anak ayam takut hujan.

“Ber–bertahan hidup… yang kayak… hutan beneran, Mbah?” tanya Cindeloka gemetar.

“Hutan, gunung, atau tempat yang bikin nyawa melayang kalau kalian lengah.”

Mbah Kunto menepuk bahu Cindeloka.

“Makanya, istirahatlah. Jajan sana. Perut kosong bikin pikiran bebal.”

Tim Sapta pun menurut. Mereka berjalan menyusuri area warung-warung kecil, mencium aroma sate tusuk, bakwan goreng, dan wedang jahe yang mengepul.

Cindeloka baru saja menggigit cireng ketika BOOM!

Asap berwarna merah bata meletup dari kejauhan, menyelimuti jalanan seperti kabut perang. Asap itu berputar, menari, kemudian membentuk tiga sosok anak berusia sekitar 10 tahun.

Kulit mereka eksotis gelap legam khas tanah Timur, mata mereka menyala penuh semangat. Ketiganya memakai seragam silat putih bersabuk merah Sarasvati.

Yang paling depan maju sambil memanggul kantong tanah liat besar.

“Kami… Tabola Junior dari Timoridwipa!”

Asap menguap bersamaan dengan suara dentuman kecil.

Tim Sapta terlonjak.

Bocah pertama yang bertubuh gemuk menepuk dadanya dengan bangga.

“Aku Pampan, Klan Longginus. Klan pembentuk tanah liat peledak!”

Bocah kedua, bertubuh lebih tinggi, menunduk hormat.

“Maxim Mandalangi.”

Gadis terakhir, berponi rata dan sorot mata garang, melipat tangan.

“Rambu Kleiden.”

Mereka bertiga kemudian membentuk formasi segitiga.

Pampan berseru:

“Tim Sapta! Kami menantang kalian duel! Sekarang!”

Lisna mengangkat tangan menolak.

“Tidak bisa. Kami harus siap-siap ujian fase kedua.”

Raut wajah Tabola Junior langsung berubah muram—lalu berubah nakal.

Pampan melempar segumpal tanah liat ke tanah.

“Kalau begitu… BOOM!”

Duar!

Petasan tanah liat meledak, menghasilkan asap jingga yang menampar wajah-wajah yang lewat.

Saat asap menghilang, Tabola Junior lenyap, entah ke mana.

Cindeloka terbatuk-batuk.

“Ini bocah-bocah apa petasan hidup, sih?”

Setelah kejadian itu, Tim Sapta kembali ke Padepokan Suryajenggala. Tubuh masih lelah, mereka menuju perpustakaan raksasa untuk mencari informasi.

Rak-rak kayu menjulang, buku-buku tua beraksara Kawi, Sunda Kuno, dan Sanskrit berjajar diam seperti prajurit menunggu dipanggil.

Perpustakaan Suryajenggala berada tepat di sisi timur dan atmosfernya jauh lebih gelap serta menekan. Bangunannya lebih ramping, dengan lorong-lorong sempit dan jendela kecil yang hanya membiarkan cahaya masuk sedikit saja.

Di dalamnya tersimpan manuskrip paling berbahaya—ilmu silat terlarang, catatan tentang makhluk gaib, ritual pemanggilan energi liar, dan biografi pendekar gelap yang namanya tidak boleh disebut sembarangan.

Rak-rak kayu jati tua berdiri tegak seperti barisan prajurit yang telah mati. Beberapa gulungan naskah di sini terikat dengan tali emas, pertanda bahwa hanya guru-guru tertinggi yang boleh membukanya.

Para murid yang memasuki Suryajenggala selalu merasa dipandangi oleh sesuatu yang tidak terlihat. Kadang, saat mereka membalik halaman, bayangannya sendiri tampak jatuh lebih dulu daripada tangannya.

Tim Sapta berniat pergi ke Perpustakaan hanya untuk sekadar melihat informasi mengenai sejarah Silat dan Bumi Nusantara,

"Ketemu" ujar Lisna dengan menyeret satu buku besar setebal 800 halaman dari rak yang dipenuhi oleh buku yang berjejer rapi.

"Harusnya kalian harus tahu ini sejak awal" ujar Lisna seraya menghampiri Cindeloka dan Shiva yang menunggunya di bangku kanan dengan membanting bukunya dengan keras yang membuat Cindeloka dan Shiva kaget.

"Pelan pelan dong!" omel Cindeloka dengan kesal.

"Maaf!" jawab Lisna dengan nada sinis.

"Lisna itu buku apa? Gede banget kayak masalah kewanitaan kau!" ledek Cindeloka yang membuat bola mata lisna memutar ke arah Cindeloka dan menatapnya tajam tanpa komentar.

Lisna membuka Ensiklopedia Silat Nusantara Jilid I. Debu beterbangan.

Dalam halaman pembuka tertulis:

“Bumi Nusantara dibentuk pada abad ke-2 oleh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sekaligus Dewa Silat Nusantara.”

SEJARAH GELAP BUMI NUSANTARA

I. Awal Zaman — Prabu Siliwangi dan Fondasi Bumi Nusantara (Abad ke-14)

Dalam catatan tua yang hanya dibacakan pada malam tertentu saat bulan berada tepat di atas puncak Prawatasari, tertulis bahwa Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, bukan sekadar penguasa kerajaan besar; ia adalah Dewa Silat Nusantara, titisan para leluhur penjaga keseimbangan dunia.

Ia menghimpun ajaran dari para pertapa, pendekar hutan, empu bilah sakti, hingga para pinisepuh dari tanah seberang. Dari tangan dialah lahir Bumi Nusantara, sebuah persekutuan para klan dan kerajaan yang kelak menjadi penopang kekuatan silat se-Nusantara.

Di bawah kepemimpinannya, Sunda, Jawa, Bali, Maluku, Minang, Dayak, Bugis dan belasan kerajaan kecil lainnya hidup dalam harmoni yang rapuh—rapuh karena masing-masing memiliki ambisi, warisan, dan kesaktian yang tidak selalu selaras.

II. Konflik Kerajaan dan Bayang-bayang Portugis (Abad ke-15)

Menjelang akhir masa Pajajaran, ketika Prabu Siliwangi menghilang dalam legenda “ngahiang”, persatuan mulai retak.

Kerajaan-kerajaan besar berebut pengaruh:

Mataram menancapkan kuku di selatan,

Majapahit yang menua mencoba mempertahankan bayangnya,

Gowa menguat di timur,

Ternate–Tidore bertarung tanpa henti.

Pada saat itulah armada Portugis muncul di horizon. Kapal-kapal asing itu bukan hanya membawa bedil dan rempah, tetapi juga ambisi untuk menguasai jalur dagang. Mereka tidak memahami kesaktian para pendekar, dan kesombongan itu memicu benturan antara dua dunia.

Beberapa kerajaan menjalin dagang, sebagian lain menolak keras. Kepercayaan antara klan runtuh seperti dinding bata tua terseret banjir.

Dari sinilah bibit Perang Silat Nusantara mulai tumbuh—perlahan, namun pasti.

III. Perang Silat Nusantara Pertama (Abad ke-18)

Tahun-tahun kelam menyelimuti Nusantara. Suku Jawa, Sunda, Bugis, dan Minang saling curiga; kerajaan yang sebelumnya bersaudara kini memandang satu sama lain sebagai ancaman. Pengaruh bangsa asing memperuncing perpecahan, membentuk aliansi-aliansi sementara yang rapuh.

Perang Silat Nusantara pertama pecah ketika komandan kerajaan mengeksekusi seorang pendekar Sunda yang dituduh menjadi mata-mata. Dalam semalam, api perang menjalar dari barat ke timur. Ribuan pendekar terjun ke guru-guru aliran silat berbeda, benturan ajian dan jurus memenuhi ladang-ladang.

Perang selesai hanya ketika para tetua dari tujuh klan utama turun tangan, menutupnya dengan Perjanjian Prawatasari, tetapi perpecahan sudah terlanjur merusak persaudaraan yang telah dibangun berabad-abad.

IV. Perang Silat Nusantara Kedua (1885–1940)

Abad baru membawa ambisi baru. Masa kolonial memperkeruh keadaan. Para pendekar terbagi menjadi dua:

mereka yang bekerja sama demi bertahan,

dan mereka yang menolak tunduk.

Ketika para penjajah berusaha menaklukkan padepokan dan membungkam guru-guru silat, seluruh Nusantara kembali terbakar. Pertempuran berlangsung di hutan, lereng gunung, bahkan di kota pelabuhan.

Di tengah kekisruhan ini, lahirlah sosok yang kelak menjadi tonggak persatuan: Barata Sunda, pemimpin Klan Sunda yang muda namun disegani. Pada tahun 1900, ia terpilih menjadi Pandega Pertama Bumi Nusantara, pemimpin tertinggi para klan, penerus simbolis kehendak Prabu Siliwangi.

Barata Sunda menyatukan klan-klan pecah, menyelamatkan naskah-naskah silat kuno, dan membangun kembali padepokan pusat. Namun perang yang terlalu panjang memakan generasi, hingga akhirnya berakhir ketika para penjajah kelelahan menghadapi perang bayangan para pendekar yang tak pernah menyerah.

V. Perang Silat Nusantara Ketiga (1950–1964)

Perang ketiga bukan lagi tentang penjajah luar, tetapi tentang ideologi yang merasuki Nusantara. Perkembangan politik modern melahirkan kelompok-kelompok radikal yang menolak ajaran lama. Padepokan menjadi target, guru-guru tua dianggap penghalang masa depan.

Bumi Nusantara terbelah antara mereka yang ingin merangkul dunia baru dan mereka yang ingin menjaga warisan zaman dewa.

Konflik merambat dari Gandhi (Jawa) ke Swarna (Sumatra),Borneo (Kalimantan), Surya (Bali), dan Tosan (Sulawesi). Banyak klan melemah, beberapa padepokan runtuh, dan kekuatan gaib leluhur mulai terkubur oleh kekacauan manusia.

Perang ketiga mencapai puncak pada 1964, meninggalkan luka yang belum sempat sembuh ketika tragedi baru muncul…

VI. 1965 — Pengkhianatan Blok Pinurba

Dalam suasana politik yang kacau, kelompok berpaham ekstrem bernama Blok Pinurba bangkit dari bayang-bayang. Mereka memanfaatkan ketidakpuasan para murid muda, memelintir ajaran kesetaraan menjadi gerakan yang tak segan menghancurkan guru mereka sendiri.

Pada suatu malam berkabut tahun 1965, enam Taruna dan seorang Pandega Bumi Nusantara kehilangan nyawa mereka dalam pengkhianatan paling kelam sepanjang sejarah padepokan.

Mereka:

Argani Sunda (1920)

Byratta Wijaya (1920)

Caya Sutena (1920)

Suki Chaniago (1925)

Dierja Cibero (1925)

Ibrahim Padusi (1940)

Pandega Cakra Wisesa (1925)

Jasad mereka disembunyikan di sebuah lubang purba bernama Bayusi. Setelah kejadian itu, Bumi Nusantara terbelah, kepercayaan antar klan hancur, dan dunia silat memasuki masa tergelapnya.

VII. Tragedi Genosida Malam Jum’at Kliwon (1970)

Lima tahun setelah Bayusi, kegelapan datang lagi.

Pada malam Jumat Kliwon tahun 1970, seluruh Klan Sunda, klan tertua dan penjaga ajaran Prabu Siliwangi, menjadi korban pembalasan besar-besaran. Dalam waktu satu malam, ratusan nyawa hilang dan padepokan tua mereka musnah.

Tak ada bukti siapa pelakunya, namun bisik-bisik menyebut bayangan dari sisa-sisa Blok Pinurba, dibantu klan-klan yang pernah iri pada kejayaan Sunda sejak masa Pajajaran.

Setelah tragedi itu, nama Klan Sunda menjadi legenda—dan peringatan abadi.

VIII. Perang Silat Nusantara Keempat (1971–1977)

Kematian Klan Sunda menjadi pemicu perang keempat, yang jauh lebih brutal dan kacau daripada sebelumnya. Tanpa satu klan tertua, keseimbangan runtuh seperti pilar yang dipukul palu raksasa.

Klan Padusi, Tabuni, Lalihatu, Chaniago, dan Wisesa saling bentrok. Tidak ada aliansi yang bertahan lama. Setiap kemenangan dibayar mahal; setiap kekalahan menyisakan dendam yang diwariskan turun-temurun.

Perang hanya berhenti karena kelelahan kolektif pada tahun 1977, bukan karena rekonsiliasi.

IX. Suryadwipa Lautan Api (1978)

Setahun setelah perang mereda, bencana besar melanda salah satu klan paling disegani: Klan Wisesa.

Pada sebuah malam yang tak pernah diingat tanpa gemetar, padepokan mereka — Suryadwipa — berubah menjadi lautan api. Tidak jelas apakah itu serangan, sabotase, atau bencana spiritual yang tak terkendalikan.

Yang pasti, Klan Wisesa musnah, menyisakan hanya segelintir pengembara yang membawa ilmu tanpa rumah.

Nama “Suryadwipa Lautan Api” menjadi peristiwa yang tidak berani dibahas oleh generasi berikutnya.

X. Konflik Darah Sampit (1980)

Tahun 1980, pulau Borneodwipa, tanah para leluhur Dayak, menjadi saksi salah satu konflik paling getir dalam sejarah modern Bumi Nusantara.

Ketegangan antara pendatang Klan Wijaya dari Madura dan Klan Wehea dari Dayak berubah menjadi benturan mematikan.

Dalam catatan resmi padepokan:

78 anggota Klan Wijaya

250 anggota Klan Wehea

meninggal dalam kekacauan itu.

Konflik ini menjadi bukti bahwa luka-luka Nusantara belum benar-benar sembuh, meski perang telah berhenti.

Penutup — Warisan Darah dan Bayang-Bayang

Sejarah Bumi Nusantara adalah sejarah tentang kekuatan, kehormatan, dan perselisihan. Sejarah tentang para dewa yang turun ke bumi dan manusia yang terus saling melukai demi ideologi, tanah, dan harga diri.

Hingga hari ini, padepokan-padepokan yang tersisa masih berdiri—tapi bayang-bayang tragedi masa lalu selalu menunggu, mengingatkan bahwa Nusantara bukan hanya tanah air para pendekar…

…tetapi tanah tempat darah, sumpah, dan rahasia disimpan dalam-dalam.

Laman berikutnya menampilkan peta besar:

BUMI NUSANTARA TERDIRI DARI 10 PULAU:

Swarna, Sundari, Gandhi, Borneo, Surya, Tosan, Samalas, Timori, Janton, Nirwana

Cindeloka menatap peta itu lama, terasa kecil dibanding luas dunia yang menanti.

“Kalau Tabola Junior dari Timori…” gumamnya.

“…berarti di fase kedua nanti, kita bakal ketemu makin banyak monster kayak mereka…”

Mata Lisna menyipit.

“Bukan monster. Pendekar muda.”

"Pastinya mereka jauh lebih kuat daripada kita bertiga, untuk itu kita harus mempersiapkan fisik dan mental untuk melawan mereka", sela Shiva dengan ekspresi serius, dingin, dan nadanya datar

Cindeloka menelan ludah lagi—lebih keras daripada sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!