Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Matahari siang menyengat atap gedung Starlight yang luas. Di satu sisi, Rayyan dan tim teknisi dari perusahaannya sedang melakukan pemasangan sistem panel surya. Suasana kerja terlihat profesional dan penuh konsentrasi.
Rayyan,dengan helm keselamatan berwarna kuning dan sarung tangan kerja, sedang memeriksa inverter—kotak logam besar yang berfungsi mengubah arus searah (DC) dari panel surya menjadi arus bolak-balik (AC) untuk digunakan di gedung. Tangannya yang terampil memeriksa koneksi kabel, memastikan setiap terminal terhubung dengan tepat. Di sekelilingnya, beberapa panel surya berukuran besar sudah terpasang di mounting structure besi yang kokoh, membentuk formasi yang menghadap ke utara untuk menangkap sinar matahari optimal. Seorang rekan teknisi sedang menggunakan torque wrench untuk mengencangkan baut dengan tekanan yang tepat, sambil sesekali mengecek alignment panel dengan theodolite agar sudutnya presisi. Suara gemerincing alat dan instruksi teknis terdengar sesekali, menandakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi.
Kontras dengan area kerja Rayyan,di sudut lain atap gedung terlihat sebuah set syuting yang glamor. Latar belakang green screen raksasa dibentangkan, sementara peralatan lighting profesional dengan softbox besar menciptakan pencahayaan sempurna. Sebuah kamera crane bergerak pelat, dikendalikan oleh camera assistant yang serius. Di tengah set, terdapat replika taman rooftop mewah dengan sofa putih, meja kaca, dan tanaman hias dalam pot keramik. Beberapa production assistant sibuk membawa perlengkapan, sementara script supervisor duduk dengan clipboard di tangan.
Tak lama, Jessy muncul. Dia sudah dalam full makeup dengan riasan natural namun flawless, mengenakan gaun evening dress biru navy yang sleek dan elegan, membentuk siluet tubuhnya yang sempurna. Rambutnya ditata dengan ikal lembut yang terjatuh sempurna di bahunya. Di sampingnya, Zean dengan setelan jas abu-abu yang membentuk tubuh atletisnya, tersenyum percaya diri.
Sutradara dengan kumis tipis dan kacamata berlensa besar mulai mengarahkan: "Oke Jessy, Zean... kita mulai dengan adegan kalian berjalan pelan sambil tertawa, lalu berhenti di dekat sofa. Zean, kamu peluk pinggang Jessy dari belakang, dagu di bahunya. Jessy, pandangan ke kamera, senyum manis tapi tetap natural."
Rayyan yang sedang memeriksa junction box tak bisa mengalihkan pandangannya. Dari balik kacamatanya yang reflektif, matanya mengikuti setiap gerakan Jessy. Hatinya mulai bergejolak ketika melihat Zean mendekat dan memeluk pinggang Jessy sesuai arahan.
"Wah yang cewek cantik banget. Bening kayak artis Korea," gumam salah satu teknisi sambil menyipitkan mata melihat ke arah set.
"Ya udah pas lah sama co-star-nya yang ganteng. Kayak couple beneran," balas rekannya sambil terkekeh.
Percakapan itu seperti bensin yang disiram ke bara di dada Rayyan. Tangannya menggenggam multimeter lebih erat, buku-buku jarinya memutih.
Jessy, dengan instingnya yang tajam, menangkap tatapan tajam Rayyan. Sebuah senyum kecil yang penuh kemenangan muncul di bibirnya. Saat sutradara meminta mereka mengulang adegan, Jessy melakukan improvisasi—dia meletakkan tangannya di atas tangan Zean yang melingkari pinggangnya, dan memiringkan kepala sehingga rambutnya menyentuh pipi Zean. Sebuah adegan yang bahkan tidak ada dalam naskah.
Rayyan merasa dadanya sesak. "Aku ke toilet dulu," ujarnya pada rekan kerjanya dengan suara serak, lalu berjalan cepat meninggalkan area kerja.
Di Dalam Toilet,
Rayyan duduk di bilik toilet,kepalanya menunduk. Otaknya yang biasanya jenuh dengan rumus dan perhitungan teknis, kini kacau balau. Bayangan Jessy yang tersenyum mesra pada Zean—meski hanya akting—terus menghantuinya. Nafasnya agak tersengal, sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya yang selalu tenang.
Tiba-tiba, pintu toilet terbuka dan dua suara yang familiar masuk.
"Lumayan lah sekarang gue udah bisa deket sama Jessy," suara Zean dengan nada sombong. "Dia bilang besok gue boleh jemput ke kampusnya."
"Wah, kemajuan dong," balas suara lain—Toro, manajernya. "Tapi jangan terlalu fokus sama drama cinta deh. Sayang karir lo."
"Santai, Tor. Gue cuma mau seneng-seneng dulu sama Jessy. Lagian dia emang hot sih," ujar Zean enteng.
"Hati-hati. Itu ponakan Pak Deri, tau," tegas Toro.
"Justru karena dia ponakan Pak Deri, makanya bisa dimanfaatin. Koneksinya bisa buat banting karir gue," balas Zean dengan tawa sinis.
Di dalam bilik, darah Rayyan mendidih. Tangannya mengepal begitu erat hingga kuku-kukunya menghunjam ke telapak tangan. Dorongan untuk membuka pintu dan menghajar Zean begitu kuat. Tapi logikanya yang terlatih mengambil alih. Tindakan emosional akan merusak reputasi profesionalnya, bahkan bisa berujung pada pemutusan kontrak.
Dengan napas berat yang ia coba pendam, Rayyan memaksakan diri untuk tetap diam. Di dalam hatinya, sebuah tekad membara:
'Gue nggak akan biarin lo nyentuh Jessy seinci pun, Zean. Gue janji.'
Ketika kedua pria itu akhirnya pergi, Rayyan keluar dari bilik dengan wajah seperti topeng batu. Tapi di balik ketenangannya, api kecemburuan dan perlindungan telah menyala—sebuah api yang mungkin tak bisa lagi ia padamkan.
***
Lift bergerak turun perlahan dari atap gedung Starlight. Suara mesin yang halus hampir tidak terdengar di dalam kabin yang lapang. Dodo, teknisi termuda dalam tim, memecah keheningan.
"Kita ke kantor lagi apa langsung balik aja nih, Bos?" tanyanya pada Ari, sang leader tim.
Ari melirik jam tangannya yang sederhana. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. "Langsung balik aja deh," jawabnya sambil mengusap sedikit keringat di pelipis. "Di kantor juga nggak ada agenda lagi. Laporan bisa dikirim online."
Dia lalu menoleh ke arah Rayyan yang berdiri di sudut lift dengan wajah yang sulit dibaca. "Rayyan, nanti jangan lupa tulis laporan kerja hari ini ya. Yang detail, sama progress pemasangan sampai titik mana. Kirim ke Pak Rusli."
"Siap, Pak," jawab Rayyan singkat. Suaranya datar, tapi pikirannya sudah melayang ke tempat lain.
Ding!
Lift berhenti di lantai 15. Pintu terbuka, dan dua sosok yang sangat familiar memasuki kabin. Jessy, masih dengan gaun syutingnya yang elegan namun sekarang ditutupi jaket ringan, dan Zean yang masih mengenakan setelan jasnya.
Jessy melirik sekilas ke arah Rayyan. Mata mereka bertemu sesaat. Tapi dengan cepat, Jessy memalingkan wajahnya, berpura-pura mengamati tombol panel lift. Sikapnya dingin, sengaja mengabaikan kehadiran Rayyan.
Sebaliknya, Zean tersenyum ramah pada semua orang di dalam lift, senyumnya yang dipoles untuk publik terpampang jelas. "Permisi," ujarnya sopan.
Jessy lalu dengan sengaja bergeser, berdiri begitu dekat dengan Zean hingga bahu mereka hampir bersentuhan. Itu adalah aksi balas dendamnya untuk Rayyan—untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, bahkan bisa lebih dekat dengan pria lain.
Melihat Jessy mendekat, Zean dengan senang hati menyambutnya. Tanpa ragu, dia melingkarkan tangannya di pinggang Jessy. Jessy tersentak kaget—ini lebih dari yang dia harapkan. Tapi sebelum dia bisa bereaksi, Zean sudah menatapnya dengan mata berbinar, dan Jessy, terjebak dalam aktingnya sendiri, membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan. Mereka saling memandang seperti sepasang kekasih, sebuah pemandangan yang sempurna untuk siapa pun yang melihat.
Bagi Rayyan, pemandangan itu seperti pisau yang menyayat-nyayat hatinya. Darahnya mendidih, tapi ekspresinya tetap seperti topeng batu. Hanya tangan di dalam saku jaketnya yang mengepal erat, hingga terasa sakit.
Ding!
Lift berhenti di lantai 10. Jessy dan Zean keluar, masih dengan pose mesra mereka. Zean bahkan sempat melambaikan tangan pada orang-orang di dalam lift sebelum pintu tertutup.
"Itu artis yang tadi syuting di rooftop, kan?" celetuk Ari, memecah ketegangan.
"Iya, Bos," jawab Dodo sambil terkekeh. "Mereka mesra amat ya. Kita nggak dianggep orang kali ya."
"Biasalah, dunia hiburan. Lagi cinlok paling," balas Ari dengan nada tidak peduli, menggunakan singkatan untuk 'cinta lokasi'.
Rayyan tetap diam. Kata-kata mereka hanya menambah rasa pahit di mulutnya.
Ding!
Lantai lobi akhirnya tiba. Mereka berjalan melewati lobi marmer yang megah, lalu berbelok menuju area parkir kendaraan. Ari dan Dodo segera masuk ke mobil dinas perusahaan.
"Sampai besok, Rayyan!" pamit Ari sebelum mobilnya melaju.
Rayyan hanya melambai kecil. Dia berdiri kaku di samping motornya yang tua, helm masih tergantung di stang. Pikirannya berputar cepat. Gambar Jessy dan Zean yang mesra, ditambah obrolan menyinggung di toilet tadi, membuatnya tidak bisa tenang.
Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini.
Dengan tekad yang tiba-tiba mengkristal, Rayyan memutuskan untuk tidak langsung pulang. Dia berbalik dan berjalan kembali ke dalam gedung, langkahnya tegas.
Di lobi, dia melihat sosok yang tepat yang dia cari: Deri, paman Jessy, sedang berjalan cepat menuju pintu keluar dengan ponsel menempel di telinganya.
"Pak Deri?" panggil Rayyan, suaranya lebih bergetar dari yang dia kira.
Deri menoleh, wajahnya menunjukkan kejutan. "Oh, Rayyan! Masih instalasi ya?"
"Sudah selesai, Pak," jawab Rayyan, berusaha terdengar normal.
"Oh, oke kalau gitu. Saya mau buru-buru keluar dulu, ada meeting dadakan," ujar Deri, mulai berbalik.
"Jessy?" tanya Rayyan tiba-tiba, menghentikan langkah Deri.
Deri berhenti, lalu tersenyum kecil. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia memahami sesuatu. "Jessy nggak pulang sama saya. Katanya nanti mau sama Zean."
Wajah Rayyan berubah gelap. Rasa tidak suka dan cemburu yang dia coba tekan akhirnya muncul ke permukaan. Dia menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian.
"Pak... apa boleh Jessy pulang sama saya?" ujarnya, suara rendah namun penuh keyakinan. Tatapannya langsung dan jujur, tidak lagi menyembunyikan keprihatinannya.
Deri memandangnya sejenak. Di matanya, dia melihat seorang pemuda yang dingin dan misterius, namun saat ini menunjukkan kerentanan dan ketulusan yang langka. Dia sadar, pria di hadapannya ini masih sangat menyimpan perasaan untuk keponakannya.
Akhirnya, senyum kecil muncul di bibir Deri. "Kalau mau antar Jessy, kamu langsung aja ngomong sama dia. Dia lagi ada di ruang gantinya, lantai 10, ruang 1003." Dia memberikan akses yang Rayyan butuhkan. "Tapi ingat, Rayyan," tambahnya dengan nada lebih seru, "jaga sikap. Jessy bukan anak kecil lagi."
Rayyan mengangguk, rasa lega dan tegang bercampur menjadi satu. "Terima kasih, Pak Deri."
Dia berbalik dan berjalan cepat menuju bank lift, jantungnya berdebar kencang. Pertempuran mungkin baru saja dimulai, dan kali ini, Rayyan tidak berniat untuk kalah.
kudu di pites ini si ibu Maryam