HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
transformasi setelah menikah
Sebulan setelah Aini lahir, Dewanga merasa hidupnya berubah—tapi bukan ke arah yang ia harapkan.
Tini berubah drastis.
Bukan berubah menjadi lebih lembut, lebih sayang, lebih perhatian. Tapi berubah menjadi... lebih keras. Lebih kasar. Lebih mudah marah.
***
**Pagi itu, Dewanga bangun pukul 03.30 seperti biasa.**
Aini tidur di ranjang bayi sederhana—keranjang rotan tua yang dialasi kain. Wajahnya tenang, napasnya teratur. Dewanga menyentuh pipi bayinya dengan lembut—satu-satunya momen damai sebelum hari yang berat dimulai.
Ia keluar kamar dengan hati-hati, menuju dapur.
Mulai membuat adonan seperti biasa—pelan, sangat pelan, agar tidak membangunkan siapa pun.
Tapi baru lima menit—
"DEWA!"
Suara Tini keras dari dalam kamar. Bukan memanggil—tapi membentak.
Dewanga langsung berhenti. Jantungnya berdegup cepat. Ia masuk kamar dengan hati-hati.
"Iya, Tini?"
Tini duduk di kasur dengan wajah merah, rambut acak-acakan, mata menyipit penuh amarah. Aini masih tidur di sampingnya—tidak terbangun meski ibunya berteriak.
"LO BERISIK! AINI GIMANA KALO KEBANGUN?!"
Dewanga menunduk. "Maaf... aku udah se-pelan mungkin—"
"PELAN APANYA?! GUA DENGER DARI SINI! LO PIKIR GUA TULI?!"
"Tini, kumohon... jangan keras-keras. Aini bisa kebangun—"
"JANGAN NGATUR GUA! INI ANAK GUA! GUA YANG TAU APA YANG BAIK BUAT DIA!"
Dewanga terdiam. Bibirnya bergetar—ingin membantah, ingin bilang *"Ini juga anak aku"*—tapi ia tidak berani.
"Maaf..." bisiknya pelan.
Tini menatapnya dengan tatapan tajam—tatapan yang penuh kebencian. "Cepet selesain urusan lo, terus pergi jualan. Jangan lama-lama di sini. Bikin sumpek mata aja."
Dewanga mengangguk. Keluar kamar dengan langkah gontai.
Di dapur, ia melanjutkan membuat adonan—kali ini dengan air mata yang mengalir tanpa suara.
***
**Siang hari, Dewanga pulang dari jualan.**
Rejeki hari ini cukup baik—seratus sembilan puluh ribu. Ia pulang dengan sedikit senyum—berharap Tini akan senang.
Ia masuk rumah dengan hati-hati. "Tini, aku pulang."
Tini duduk di sofa, menggendong Aini yang sedang menyusu. Wajahnya datar—tidak ada senyum, tidak ada sapaan.
"Tadi laku seratus sembilan puluh ribu." Dewanga mengeluarkan uang dari sakunya, menyerahkannya pada Tini.
Tini mengambil uang itu dengan satu tangan—tangan satunya masih menahan Aini. Ia menghitung cepat.
"Kurang."
Dewanga terdiam. "Kurang? Aku udah kasih semuanya, Tini—"
"JANGAN BOHONG! LO PASTI SIMPEN BUAT JAJAN SENDIRI!"
"Aku gak bohong! Ini beneran semua—"
"TERUS KENAPA KURANG?! LO PIKIR GUA BODOH?!"
Dewanga menatap uang di tangan Tini—seratus sembilan puluh ribu. Semua ada. Tidak ada yang kurang.
"Tini... itu udah semua. Aku gak simpen—"
Tini melempar uang itu ke wajah Dewanga—lembaran-lembaran uang berhamburan, jatuh ke lantai.
Aini tersentak—kaget dengan gerakan tiba-tiba ibunya. Ia mulai menangis.
"LIHAT! SEKARANG AINI NANGIS GARA-GARA LO!"
Dewanga langsung berlutut—mengambil uang yang berserakan, menyusunnya dengan tangan gemetar. "Maaf... maaf, Tini..."
Tini berdiri, menggendong Aini dengan kasar—berusaha menenangkan bayinya dengan goyangan yang keras, tidak lembut.
"Diem... diem, Aini... jangan nangis..." suaranya keras—bukan menenangkan, tapi memaksa.
Aini menangis semakin keras.
Dewanga ingin meraih anaknya—ingin menenangkan dengan caranya sendiri—tapi ia tidak berani.
Ia hanya bisa berdiri di sana—menunduk, menahan air mata, mendengar tangisan anaknya yang tidak berhenti.
***
**Sore itu, Dewanga mencoba berbicara baik-baik.**
Ia duduk di sebelah Tini yang sedang menonton TV—Aini sudah tidur di keranjang rotan.
"Tini... aku mau ngomong sesuatu."
Tini tidak menatapnya. Matanya tetap tertuju pada layar TV. "Ngomong aja."
"Aku... aku capek, Tini. Setiap hari kamu marah-marah. Padahal aku udah berusaha—"
Tini menoleh tajam. "LO BILANG AKU YANG SALAH?!"
"Bukan gitu—"
"TERUS APA?! LO MAU BILANG GUA SUKA MARAH-MARAH TANPA ALASAN?!"
"Tini, aku cuma mau kita bicara pelan-pelan—"
"LO PIKIR GUA GAK CAPE?! GUA JAGA AINI SEHARIAN! GUA NYUSUIN! GUA GANTI POPOK! LO?! LO CUMA JUALAN TERUS PULANG! ENAK BANGET HIDUP LO!"
Dewanga terdiam. Dadanya sesak.
"Tini... aku juga cape... aku kerja dari subuh sampai sore—"
"KERJA?! LO BILANG ITU KERJA?! CUMA JUALAN GORENGAN! BEDA SAMA GUA YANG HARUS JAGA ANAK TIAP DETIK!"
"Tapi Tini—"
"UDAH! GUA GAK MAU DENGER LAGI! LO EGOIS! MIKIR DIRI SENDIRI DOANG!"
Tini berdiri—berjalan cepat ke kamar, lalu—
BRAK!
Pintu ditutup keras—sangat keras sampai dinding bergetar.
Dewanga duduk sendirian di ruang tamu—menatap kosong ke lantai.
Dari kamar, terdengar suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan keras—sangat keras, seperti ingin menghancurkan lantai.
THUD! THUD! THUD!
Suara itu memenuhi rumah—membuat jantung Dewanga berdegup semakin cepat.
Ia ingin pergi—keluar rumah, cari angin sebentar, menenangkan diri.
Tapi ia tahu—kalau ia bergerak ke arah pintu, Tini akan keluar dan menutup pintu itu di depan wajahnya. Menguncinya dari dalam. Memaksanya untuk tetap di sana, mendengarkan amarah yang tidak akan pernah padam.
Jadi ia hanya duduk.
Diam.
Menunduk.
Menahan air mata yang sudah tidak bisa ia bendung lagi.
Dan malam itu, Dewanga menangis sendirian di ruang tamu gelap—sementara Aini tidur pulas di keranjang rotan, tidak tahu bahwa ayahnya sedang hancur perlahan.
**[Bab 33 Selesai - 1.000 kata]**
---
#
---