Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Manis
Di dalam mobil, suasana terasa mencekam. Tidak ada yang bicara, hanya suara mesin mobil yang bergetar pelan.
Hana duduk diam, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Dominic, yang biasanya penuh percaya diri, kini terlihat gelisah. Jemarinya mengetuk setir mobil berulang kali, seakan sedang menahan sesuatu dalam pikirannya.
Sampai akhirnya, dengan napas berat, Dominic membelokkan mobil ke pinggir jalan dan menghentikannya.
“Hana…” suaranya rendah, terdengar berat.
Hana tetap menatap ke luar jendela, enggan melihat Dominic. Hatinya masih terasa sakit setelah percakapan di rumah Rina. Kata-kata wanita itu masih terngiang di kepalanya. "Kamu pacaran dengan seumuran anakmu, apa kamu gila?"
Perlahan, Hana menutup matanya, menahan air mata yang menggenang. Dia tidak ingin menangis lagi, tidak di hadapan Dominic.
“Aku tahu ini sulit,” lanjut Dominic, suaranya lebih lembut kali ini. “Tapi aku tidak menyesali perasaanku padamu. Aku tidak peduli dengan omongan orang lain.”
Hana akhirnya menoleh, matanya penuh emosi.
“Tapi aku peduli, Dom.” Suaranya bergetar. “Aku peduli dengan bagaimana orang-orang melihat kita. Aku peduli dengan bagaimana mantan istrimu, keluargamu, bahkan Dion melihat ini.”
Dominic menghela napas panjang. Matanya menatap Hana dalam, seperti ingin menelusuri segala luka yang ia sembunyikan.
“Apa yang kamu rasakan, Hana?” tanya Domi.
Hana terdiam. Dadanya sesak. Dia ingin mengatakan banyak hal, ingin berteriak bahwa semua ini terlalu berat untuknya. Tetapi, saat melihat mata Dominic yang penuh ketulusan, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Dominic menggenggam tangan Hana, lembut namun tegas. “Kamu tahu aku mencintaimu, kan?”
Hana mengangguk pelan, tapi hatinya masih berperang dengan kenyataan.
“Tapi apakah cinta cukup?” suaranya hampir seperti bisikan. “Bagaimana kalau aku mulai lelah dengan semua ini, Dom? Aku lelah harus membuktikan bahwa kita baik-baik saja.”
Dominic terdiam sejenak. Ia tahu Hana sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Dia tidak ingin memaksanya, tapi juga tidak bisa membiarkan gadis itu menyerah begitu saja.
“Kalau kamu lelah, bersandarlah padaku, aku tidak akan memaksamu untuk bertahan, tapi aku ingin kamu tahu, aku di sini. Aku akan selalu di sini.” kata Dominic akhirnya, suaranya penuh ketulusan.
Hana menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Seakan dalam sekejap, semua rasa takut dan ragu yang memenuhi hatinya runtuh oleh kata-kata Dominic.
Air matanya jatuh, dan tanpa berpikir panjang, ia mendekat dan memeluk Dominic erat.
“Aku takut, Dom… aku takut kehilanganmu.”
“Kamu gak akan kehilangan aku, Hana. Aku janji.” Dominic membalas pelukannya, mengecup puncak kepala Hana dengan lembut.
Di dalam mobil yang berhenti di pinggir jalan, di bawah langit malam yang sunyi, dua hati yang terluka mencoba menemukan jalan mereka kembali.
Tetapi, apakah janji itu cukup untuk membuat mereka bertahan? Atau justru takdir masih menyimpan luka yang lebih dalam untuk mereka?
Dominic membelai wajah Hana dengan penuh kelembutan, seakan ingin meyakinkan gadis itu bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan, dan dalam sekejap, Dominic memberanikan diri untuk mendekat, bibirnya menyentuh bibir Hana dengan lembut.
Ciuman itu terasa hangat, penuh kasih sayang, seakan Dominic ingin menyalurkan semua perasaannya yang selama ini terpendam.
Awalnya, Hana hanya diam, membiarkan Dominic menuntunnya dalam kehangatan yang asing baginya. Tetapi saat Dominic memperdalam ciumannya, Hana mulai membalasnya, membiarkan dirinya hanyut dalam perasaan yang begitu mendalam.
Di sela-sela napas yang memburu, Dominic berbisik di antara bibir mereka yang masih bersatu.
"Tetaplah bersamaku, Hana… Semua akan baik-baik saja kalau kamu tetap di sisiku."
Hana mengeratkan jemarinya di dada Dominic, merasakan detak jantung pria itu yang berpacu sama cepatnya dengan miliknya.
"Tapi, Dom… Aku takut." Suaranya bergetar di sela napasnya yang tak beraturan.
"Aku tahu. Aku juga takut kehilanganmu, Hana. Tapi aku lebih takut kalau kita menyerah hanya karena omongan orang lain." Dominic menangkup wajah Hana, menatap gadis itu dalam-dalam.
Hana menunduk, jari-jarinya gemetar saat menyentuh wajah Dominic. "Kalau semuanya tidak berjalan seperti yang kita harapkan?"
Dominic tersenyum tipis sebelum kembali mencium bibir Hana, kali ini lebih dalam, lebih lama, seakan ingin meyakinkan gadis itu melalui setiap sentuhan. "Aku akan berjuang untuk kita. Aku tidak peduli dengan apa pun selama kamu masih memilihku."
Bibir Dominic bergerak turun, mengecup tengkuk Hana dengan lembut, membuat gadis itu memejamkan mata, merasakan betapa besar perasaan pria di hadapannya. Hana tahu hatinya telah memilih Dominic, meski dunia menentang mereka.
Tapi, seberapa lama mereka bisa bertahan sebelum badai benar-benar menghantam?
Ciuman yang penuh gairah itu terus berlanjut, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Dominic semakin memperdalam sentuhannya, sementara Hana hanya bisa terhanyut, merasakan setiap inci kasih sayang yang diberikan pria itu.
Namun, tiba-tiba suara klakson panjang dari mobil di belakang mereka membuyarkan segalanya.
Bip!
Hana tersentak dan buru-buru menjauh dari Dominic, wajahnya memerah karena malu.
"Ekhem!" Dominic pun berdeham, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu.
Tepat saat itu, ketukan di kaca jendela mobil membuat mereka sama-sama menoleh. Seorang polisi berdiri di luar dengan ekspresi penuh selidik. Dominic menurunkan kaca jendela dengan tenang, sementara Hana masih berusaha menormalkan detak jantungnya.
"Maaf mengganggu, Pak. Tapi Anda sudah terlalu lama berhenti di pinggir jalan dan menghalangi kendaraan lain," kata polisi itu dengan nada formal.
Dominic, dengan ekspresi tenang dan sedikit licik, tiba-tiba melontarkan kebohongan yang sukses membuat Hana menoleh kaget.
"Maaf, Pak. Istri saya sedang ngidam dan tiba-tiba minta berhenti di sini. Saya tidak bisa menolaknya, Anda tahu bagaimana ibu hamil," kata Dominic santai, sambil menepuk tangan Hana dengan lembut.
Mata Hana melebar. 'Istri? Ngidam?'
Polisi itu tampak ragu sejenak, lalu melirik ke arah Hana yang masih terdiam dengan wajah merah padam. Hana ingin membantah, tapi Dominic meremas tangannya halus, seolah memberi isyarat untuk diam.
"Oh, begitu, Pak? Ya, kalau istri Anda sedang ngidam, saya mengerti. Tapi lain kali cari tempat yang lebih aman, ya?" kata polisi itu akhirnya, suaranya melunak.
Dominic mengangguk, tersenyum sopan. "Tentu, Pak. Terima kasih atas pengertiannya."
Setelah polisi pergi, Hana menoleh tajam ke arah Dominic.
"Istri? Ngidam? Serius, Dom? Apa kamu gila?" bisiknya geram.
Dominic hanya terkekeh kecil, tatapannya penuh godaan. "Kalau aku bilang pacarku yang sedang ngidam ciuman, apa kamu pikir dia akan percaya?"
Wajah Hana semakin panas.
"Domi!" gerutunya, tapi Dominic hanya semakin tertawa.
Namun di balik semua candaannya, ada sesuatu di dalam hati Dominic yang bergetar hebat. Seandainya benar Hana adalah istrinya, mungkin dia tidak akan perlu lagi menghadapi dunia yang terus menentang mereka. Tapi apakah itu mungkin? Atau ini hanya fatamorgana yang akan segera runtuh?
Dominic menoleh ke arah Hana yang masih cemberut di kursi penumpang. Ia tahu gadis itu masih memikirkan kejadian barusan.
"Kamu kenapa masih manyun gitu?" tanya Dominic, menyenggol dagunya pelan.
Hana mendesah, menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya menggumam, "Aku masih merasa nggak sopan cuma manggil nama kamu aja."
"Jadi, kamu mau panggil aku apa? Om? Pak? Atau... yang lebih manis?" Dominic menaikkan sebelah alis, lalu tersenyum menggoda.
Hana memutar bola matanya. "Nggak mungkin aku manggil kamu om atau pak. Kamu bukan dosen atau pamanku."
Dominic terkekeh. "Kalau gitu, kasih aku nama kesayangan dong. Biar aku tahu kamu serius sama aku."
Hana berpikir sejenak. Jantungnya berdebar. Ia tak ingin terdengar terlalu berani, tapi juga ingin sesuatu yang istimewa.
"Hmm... Gimana kalau... ‘Nic’?" tanyanya pelan.
Dominic mengerutkan dahi. "Nic? Simpel banget, sih."
Hana menatapnya dengan tatapan menantang. "Kalau nggak suka, ya udah, aku panggil ‘Sayang’ aja."
Dominic mendadak diam. Mata hitamnya menajam, tapi bibirnya melengkung penuh arti. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Hana, membuat gadis itu menahan napas.
"Coba panggil," bisiknya lembut, nyaris seperti godaan.
Hana mengerjap gugup. "A-apaan?"
Dominic tersenyum miring. "Tadi kamu bilang ‘Sayang’. Coba panggil aku itu, biar aku tahu kamu nggak main-main."
Pipi Hana langsung merona. Ia menoleh ke luar jendela, berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Nggak jadi. Nic aja cukup."
Dominic tergelak. "Pengecut."
Hana mendengus, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecilnya. Dalam hati, ia tahu… cepat atau lambat, mungkin dia benar-benar akan memanggil pria itu sayang.
Bersambung...