Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 30 - Dikurung
Kembali ke kamarnya yang ditempati bersama Theresia, Murni tidak menunda-nunda. Ia langsung melipat semua seragam biarawati untuk dikembalikan.
Ia tidak melihat teman sekamarnya itu, mungkin Theresia sedang menyiram kebun biara, atau memasak, atau mengerjakan rutinitas lain. Murni bersyukur karena itu berarti ia tidak perlu melihat tatapan aneh rekannya, atau mendapat pertanyaan yang tidak ingin ia jawab.
Akan ke mana ia setelah ini? Ia sendiri tidak tahu.
Sejak kecil ia tumbuh di biara. Selain tugas-tugas kerasulan, ia tidak punya pekerjaan lain. Ketika di biara ia mendapat ‘gaji’ sekadarnya, tetapi jika ia berhenti, ia tidak punya penghasilan. Bagaimana ia bisa hidup di luar?
Apakah keputusannya terlalu impulsif? Apakah ia tidak berpikir dengan jernih?
Tidak. Murni menggeleng. Yang ia tahu, ia akan kembali ke Warung Murni. Ia akan berada di samping Mahanta. Melayani para pelanggan bersamanya.
Jika ada roh yang masih ingin kembali, ia yang akan menyelamatkan mereka. Bagi yang tidak ingin kembali, Mahanta akan menyajikan makanan terakhir.
Bukankah itu tugas bahu membahu yang sempurna? Mungkin itulah arti mimpi-mimpinya. Mungkin itulah panggilannya yang sebenarnya. Mungkin itulah jawaban yang dikatakan Mahanta hampir ia dapatkan.
Tapi warung itu hanya buka selama waktu tertentu setelah tengah malam. Akan ke mana ia setelah warung tutup?
Murni tidak peduli. Jika ia harus menjadi roh dulu untuk tetap berada di sana bahkan setelah warung tutup, maka ia bersedia. Ia tidak akan pergi lagi dari sana, seperti yang selama ini ia lakukan.
Kali ini, ia bukan datang sebagai pengunjung. Ia datang untuk tinggal.
Ia terlalu tenggelam dengan pemikirannya sendiri. Tidak menyadari… ada suara kunci diputar.
Di luar kamar, Theresia menyerahkan kunci pada Suster Maria. Sementara dua biarawati senior lain, Suster Margareta mengangguk, dan Suster Anastasia menggerakkan kepala, tanda memerintahkan Theresia untuk pergi dari sana.
Hasil perembukkan mereka bertiga telah disepakati. Bahwa Murni tidak diizinkan pergi begitu saja.
“Aku tetap yakin ada yang terjadi padanya. Aku ingin melakukan eksorsisme. Bagaimana manusia bisa menghilang di ujung gang secara misterius! Tidak bisa diterima akal, hanya bisa menghubungkan dengan sesuatu yang gaib, dengan roh jahat.” Suster Anastasia berkata tegas.
“Suster, saya mohon.” Suster Maria hampir menangis membayangkan bagaimana Murni akan ‘disiksa’ dalam ritual pengusiran setan. Ia yang merawat gadis itu sedari bayi, jadi hatinya serasa diiris-iris. “Dia mungkin hanya bingung. Tapi tidak kerasukan. Suster lihat sendiri, tadi dia memegang rosario dan tidak terbakar…”
“Hanya bingung?” Suster Margareta menyela. “Dia sudah diberi cuti tiga bulan dan memutuskan untuk kembali. Bagaimana dia ‘hanya’ bingung?” Suster Margareta menekankan kata ‘bingung’.
“Begini saja… bagaimana kalau…” Suster Maria tidak menyerah, masih mencoba bernegosiasi. “Kita tahan dia di biara satu bulan lagi…sebentar, izinkan saya selesai bicara dulu.” Suster Maria mengangkat telapak tangan melihat kedua biarawati senior itu serentak membuka mulut hendak protes.
“Dia akan dikunci di kamar. Theresia biar pindah ke kamar lain. Biarkan saya bicara dengannya. Selama ini memang dia tidak menceritakan apa-apa, mulutnya benar-benar terkunci rapat. Tapi saya akan mencoba pendekatan lain, bicara dari hati ke hati.”
“Lagi pula, ke mana dia akan pergi? Sejak bayi dia hanya hidup di biara. Saya… tidak bisa membayangkan dia hidup seorang diri di luar.” Suster Maria hampir tercekat, suaranya mulai basah oleh tangis yang tertahan.
“Jika dari hasil pembicaraan itu ternyata dia memang…” Suster Maria menghela napas, hatinya sangat berat, seolah diganduli beban berpuluh-puluh kilo, “... memang dikuasai roh jahat… saya berjanji, akan setuju untuk eksorsisme.”
Suster Margareta memandang Suster Anastasia, yang tampak sedang berpikir. Lama ketiganya terdiam dalam suasana tegang. Hingga akhirnya, Suster Anastasia mengangguk.
“Baiklah, dengan pertimbangan kemanusiaan dan kasih, aku mengizinkan dia untuk dikurung di kamarnya dan kau bicara hati ke hati dengannya. Hanya satu bulan,” Suster Anastasia mengacungkan jari. “Tidak lebih.”
“Suster bijaksana.” Suster Maria mengangguk, “Terima kasih. Semoga berkat Tuhan selalu menyertai Suster.”
Dan di sinilah mereka kini. Mengunci Murni di kamar sementara sang penghuni kamar masih berbenah di dalam, tidak sadar apa yang sedang berlangsung di luar.
Murni memandang seantero kamar. Ternyata tidak banyak kepemilikan pribadinya di sini. Sesuai dengan kehidupan sederhana yang dijalani para biarawati. Selain seragam biarawati, hanya ada beberapa pakaian kasual, tidak lebih dari sepuluh setel. Satu sepatu pantofel untuk misa, satu sepatu kets untuk dipakai ketika melakukan kegiatan, dan satu sandal jepit untuk mandi.
Ia meraih tas dan mengeluarkan dompet, melihat isinya. Tidak banyak. Ditambah tabungannya yang tidak seberapa, ia memperkirakan paling lama ia hanya bisa bertahan dua tiga bulan di luar.
Tapi apakah semua itu perlu?
Murni duduk di tepi tempat tidur, merenung. Ini semua duniawi, ia yakin di ‘dunia Mahanta’ semua ini tidak dibutuhkan.
Ia mengangkat tangannya, dimana kalung dengan bandul salib kayu masih tergantung di lehernya. Dan menatap tangan satunya yang masih memegang rosario.
Apakah ia juga perlu membawa itu? Ia telah ‘mengkhianati’ Tuhan. Bukankah sangat tidak tahu diri jika ia masih membawanya.
Perlahan, ia meloloskan kalung dari lehernya, menempatkannya di atas tumpukan seragam biarawati yang telah dilipat rapi. Setelah itu, ia juga meletakkan rosario kecil di situ.
Ia bahkan merasa tidak layak lagi untuk berdoa, baik memohon ampun atau pamit. Karena itu, Murni bangkit, membawa tas kecil berisi sedikit benda yang akan ia bawa pergi.
Ia menekan gagang pintu, tetapi…
Pintu tidak bergerak.
Ia berusaha sekali lagi, tapi pintu tetap bergeming. Sekali lagi, dan lagi. Tetap gagal. Pintu tetap tertutup teguh, kuat, dan… memenjaranya.
Dengan horor ia menatap pintu.
Seketika ia sadar. Ia telah dikurung!
Kini, mustahil baginya untuk pergi.
Kini, Murni mulai panik.
Tidak. Tidak. Tidak.
Ia berlari ke pintu dan mulai menggedor-gedor daun kayu yang tidak berdosa itu.
Suara pukulan tinjunya yang kecil, bergema di seluruh lorong biara.
Tidak ada yang datang.
Tidak ada yang mendengar.
Tidak ada yang mempedulikannya.
Murni mundur, menabrak ujung tempat tidur, dan jatuh terduduk.
Air mata mulai merebak di matanya, disusul aliran bening yang menetes satu demi satu. Semakin deras, berjatuhan dari ujung dagunya, meleleh ke lehernya dan membasahi pakaiannya.
“Mahanta… Mahanta…” Murni terisak-isak.
Matanya terpejam, membayangkan tatapan tajam lelaki itu. Merasakan kembali sentuhan tak sengaja mereka, ringan tetapi beraliran ribuan watt listrik. Dan hatinya sangat sakit.
Murni meringkuk di tempat tidur. Seperti bayi di dalam kandungan ibunya.
“Mahanta…” Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya.
Tidak ada yang lain.
Entah mengapa, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat.
Ia ada di sebuah ruangan, juga dikurung seperti ini.
Yang berbeda adalah, itu bukan kamar. Melainkan…
Sepertinya sebuah ruangan serba putih, tanpa pintu dan jendela. Itu terasa sangat dingin. Apakah itu… peti mati?
Bukan.
Sepertinya yang serba putih itu adalah es. Ya. Ia dikurung di ruangan segi empat berdinding es. Karena itu terasa sangat dingin. Begitu dingin menusuk jauh hingga ke tulang-tulangnya, sehingga sepertinya retak perlahan, rasanya sangat ngilu, dan sangat menyiksa.
Mulutnya gemetar hingga giginya bergemeletuk dan tubuhnya menggigil hebat. Tetapi ia tidak mengeluh. Tidak ada satu kata pun yang terucap. Ia hanya meringkuk. Seperti saat ini.
Di mana itu? Ia tidak tahu.
Apakah itu halusinasi karena kesedihan?
Tetapi mengapa seolah ia pernah benar-benar mengalaminya?
When Spring Ends, I'll See You Again