Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Suamiku Seorang CEO?
Al yang baru saja menyetrika baju koko putihnya menoleh saat Nayla duduk di sebelahnya, membawa secangkir teh hangat.
“Mas… aku dapat undangan reuni dari teman-teman SMA. Acaranya di gedung dekat taman kota, hari Sabtu malam,” ujar Nayla pelan sambil menatap suaminya.
Al meletakkan setrika dan menatap istrinya penuh perhatian. “Reuni, ya? Kamu mau datang?”
Nayla mengangguk pelan. “Iya, Mas. Sekalian silaturahmi juga. Tapi… kalau Mas nggak keberatan.”
Al tersenyum tipis, lalu meraih tangan Nayla. “Kamu istri ustadz, jadi pasti jadi pusat perhatian,” katanya menggoda. “Tapi aku percaya kamu bisa jaga diri. Kalau kamu mau pergi, aku izinkan. Tapi aku antar, ya?”
Nayla langsung tersenyum manis dan memeluk lengan suaminya. “Terima kasih, Mas. Nayla janji pulangnya nggak larut.”
Al akhirnya mengangguk setuju saat melihat wajah antusias Nayla.
“Baiklah, kita pergi bareng. Biar aku juga lihat teman-temanmu seperti apa,” ucapnya sambil tersenyum kalem.
Malam pun tiba. Nayla mengenakan dress panjang simpel berwarna nude dengan detail renda halus di bagian pergelangan tangan dan leher. Ia memadukannya dengan hijab pashmina satin senada. Al mengenakan kemeja putih bersih dan celana bahan gelap, tampil rapi dan tenang seperti biasa.
Sesampainya di gedung tempat reuni, suasana cukup meriah. Musik lembut mengalun, meja-meja dihiasi bunga segar dan cahaya temaram yang elegan. Banyak mata langsung menoleh saat Nayla masuk bersama Al. Teman-teman lamanya terkejut, tidak hanya karena penampilan Nayla yang memukau, tapi juga karena pria tampan yang mendampinginya.
“Nayla! Ya ampun, kamu makin cantik! Ini suamimu?” tanya salah satu temannya sambil melirik Al penuh penasaran.
Nayla tersenyum bangga. “Iya, kenalin, ini Mas Al.”
Al menyambut dengan sopan dan senyum hangat, membuat beberapa perempuan terlihat salah tingkah.
Beberapa teman Nayla tampak saling bisik-bisik melihat perubahan penampilannya.
“Eh, itu Nayla? Serius deh... dulu dia yang paling fashionable, bajunya selalu yang paling heboh,” gumam salah satu dari mereka.
“Sekarang kayak istri ustadz beneran ya? Eh, tapi ganteng juga suaminya…” timpal yang lain sambil melirik Al dari ujung mata.
Nayla yang mendengar sedikit bisikan itu hanya tersenyum tipis, menggenggam tangan Al erat. Al merespons dengan tenang, membalas genggaman istrinya dan menatapnya penuh bangga.
“Yang penting bukan penampilan, tapi hati yang bersih dan hidup yang tenang,” bisik Al lembut ke telinga Nayla, membuat Nayla hampir tersipu malu di depan teman-temannya.
Beberapa teman laki-laki Nayla juga tampak melirik ke arahnya, salah satunya mantan gebetan yang sempat PDKT waktu SMA, Rendy.
“Lah Nayla? Aku pikir kamu udah pindah ke luar negeri atau gimana… ternyata kamu nikah sama ustadz?” tanya Rendy agak nyinyir namun penasaran.
Nayla mengangguk dengan senyum manis. “Iya, suamiku seorang ustadz. Dan aku bahagia sekarang.”
Al hanya menatap Rendy sekilas, cukup untuk memberi kesan tegas tapi tetap kalem.
Reinaldi muncul dengan pakaian rapi dan aroma parfum mahal yang menyengat. Wajahnya langsung menegang saat melihat Nayla duduk berdampingan dengan Al. Dengan senyum sinis, ia menghampiri mereka dan berdiri dengan tangan menyilang di dada.
"Wow… Nayla," ucapnya sambil tertawa kecil. "Nggak nyangka ya, kamu akhirnya milih… ustadz?"
Nayla tersenyum datar. “Reinaldi, lama nggak ketemu. Kamu masih suka pamer, ya?”
Reinaldi melirik Al dari atas ke bawah, lalu berujar dengan nada mencibir, “Jadi ini orang ketiganya? Yang tiba-tiba dateng dan rebut kamu dari gue waktu itu?”
Al tetap tenang. Wajahnya datar, namun matanya tajam menatap Reinaldi. “Saya rasa kamu salah paham. Saya datang ke hidup Nayla bukan untuk merebut, tapi menjemput takdir yang memang Allah tetapkan.”
“Wah, dalem banget,” ujar Reinaldi sambil tersenyum miring. “Tapi kalau bukan kamu, Nayla pasti masih sama gue.”
Nayla berdiri dan menatap Reinaldi dengan penuh ketegasan. “Kalau kamu masih merasa seperti itu, mungkin kamu belum benar-benar move on. Tapi aku sudah. Dan Al bukan orang ketiga. Justru dia datang di saat aku paling butuh bimbingan.”
Suasana jadi hening. Beberapa tamu mulai memperhatikan percakapan mereka. Al kemudian memegang tangan Nayla dan berkata lembut, “Ayo, kita pulang. Udah cukup reuni-nya.”
Sebelum pergi, Al menatap Reinaldi dan berkata, “Semoga kamu juga bisa menemukan kedamaian, seperti yang sedang kami perjuangkan sekarang.”
Reinaldi hanya terdiam. Matanya mengikuti langkah Al dan Nayla yang perlahan menjauh dari keramaian. Namun, ada tatapan tidak rela yang jelas terlihat dari wajahnya. Tangannya mengepal, menahan emosi yang bercampur antara marah dan kecewa.
Di parkiran, Nayla menatap suaminya dan berujar pelan, “Maaf ya, harus menghadapi masa laluku seperti itu…”
Al hanya tersenyum dan membetulkan jilbab Nayla yang agak miring. “Masa lalu itu cermin, bukan beban. Selama kamu bersamaku, aku nggak peduli siapa yang ada di belakangmu. Yang penting sekarang, kamu istriku.”
Nayla menunduk malu, senyum tipis mengembang di wajahnya. Saat Al membuka pintu mobil, tiba-tiba terdengar langkah tergesa dari belakang.
“Al!” suara Reinaldi terdengar lagi.
Al menoleh, berdiri tenang. Reinaldi berjalan cepat ke arahnya.
“Gue serius waktu itu sama Nayla. Tapi kalau lo bener-bener serius juga, lo harus bisa buktiin bahwa lo bisa bahagiain dia.”
Al menatapnya sebentar, lalu menjawab lirih tapi mantap, “Gue nggak perlu buktiin apa-apa ke kamu, Reinaldi. Cukup ke Allah, dan ke Nayla.”
Reinaldi terdiam. Kata-kata itu menampar egonya.
Mobil pun melaju pergi, meninggalkan Reinaldi berdiri sendiri di bawah lampu parkiran. Di dalam mobil, Nayla menggenggam tangan Al dengan erat. “Aku bersyukur banget Allah temukan aku dengan kamu.”
Al menoleh sekilas dan tersenyum. “Aku juga bersyukur Allah kuatkan aku untuk memilikimu.”
Suasana dalam gedung yang semula hangat dan penuh canda tawa mulai terasa berbeda ketika Reinaldi, dengan mikrofon di tangan, melontarkan candaan yang menyentil—namun dengan nada mengejek.
“Eh, teman-teman! Kalian tahu nggak, ternyata Nayla nikah sama… ustadz, loh! Iya, ustadz dari pelosok! Keren juga ya Nay, dari glamor jadi istri ustadz. Turun kelas atau gimana tuh?” ucap Reinaldi disambut tawa beberapa orang yang kurang peka.
Nayla langsung menegang. Tangannya menggenggam lengan Al dengan erat. Tapi Al tetap tenang. Wajahnya datar, namun tatapannya dalam dan tajam. Suasana mulai canggung.
Namun, sebelum Nayla sempat bicara, tiba-tiba salah satu pria paruh baya di ruangan berdiri. Dialah Pak Hasyim, pengusaha properti ternama, yang mengenali Al.
“Reinaldi, kamu salah orang. Arsyan Al Ghazali bukan sekadar ustadz biasa. Beliau adalah pendiri yayasan pendidikan terbesar di Jawa Barat, yang sudah menyekolahkan ratusan anak yatim dan membina ribuan santri. Bahkan beberapa anak dari rekan-rekan kita juga sekolah di bawah naungan beliau.”
Suara hening seketika.
Al menoleh ke Pak Hasyim, menundukkan kepala dengan sopan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya hanya menjalankan amanah. Yang saya miliki bukan milik saya, tapi titipan Allah.”
Nayla menatap suaminya dengan penuh bangga. Matanya berbinar.
Reinaldi, yang semula pongah, kini tertunduk malu. Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya.
Nayla berdiri dan meraih mikrofon. “Dan saya bangga menjadi istri dari seorang pria yang tak hanya cerdas, tapi juga rendah hati. Cinta kami mungkin tak dimulai dengan cerita yang indah, tapi Allah menuliskannya dengan sempurna.”
Suara tepuk tangan memenuhi ruangan.
Al hanya menggenggam tangan Nayla erat, lalu membisikkan, “Kamu nggak pernah turun kelas, kamu justru naik derajat, sayang…”