NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Teralis

Langit di Lapisan Pertama bukanlah langit, melainkan luka yang menganga. Ia menggantung di atas kota Teralis sebagai kabut hitam pekat yang tak pernah bergerak, seperti jaring raksasa yang menunggu mangsa. Suara dentang logam, teriakan, dan derak mesin tua adalah denyut nadi hari-hari di sini—keras, berkarat, dan tanpa belas kasihan.

Maelon Herlambang bangun sebelum bel listrik meraung. Tidurnya singkat, sering terputus oleh mimpi buruk atau jeritan anak-anak lain yang ketakutan. Lantai kayu yang retak menjadi ranjang, karung bekas semen jadi alas tidur. Hanya tubuhnya sendiri yang memberi hangat, dan malam yang dingin tak pernah kehabisan cara untuk menusuk.

Panti Asuhan Gema Harapan berdiri di antara reruntuhan dan saluran pembuangan. Kepalanya, Bu Rantini, menjadikan tempat itu sebagai tambang uang. Anak-anak dipekerjakan tanpa ampun, dan yang gagal menyetor cukup... dijual. Tak pernah dikatakan terang-terangan. Tapi Maelon melihatnya. Ia ingat jelas satu malam ketika seorang anak perempuan bernama Yela ditarik paksa dari tempat tidur. Esok paginya, kasurnya kosong. Namanya dihapus dari buku catatan. Tidak pernah disebut lagi.

Setiap malam, Maelon menyelinap ke bangunan batu tua di ujung kota. Dulu disebut kuil. Kini tak ada lagi pendeta, hanya debu, sisa dupa, dan arca tunggal yang berdiri di tengah ruangan. Ia adalah Dewa Blasphemy—satu-satunya yang tersisa, atau satu-satunya yang pernah ada. Arca itu tinggi, tak berwajah, tangannya menggenggam mata tertutup, dan dadanya terbuka menampakkan rongga hitam. Dewa ketidaktahuan, pengorbanan, dan kebenaran terlarang. Di dunia ini, hanya kebenaran yang dihukum.

Maelon tak berdoa. Ia hanya bicara dalam hati—kalimat-kalimat yang tak pernah selesai. Ia tahu tidak ada yang akan menjawab. Tapi ia terus datang, karena hanya di sana ia bisa merasa sedikit... bersih.

Dan ada satu alasan lagi.

Nalaya.

Gadis berusia lima belas tahun yang tinggal di kamar paling sempit di panti. Rambutnya hitam panjang, kulitnya pucat, matanya seolah tidak pernah benar-benar menatap. Nalaya tak bekerja seperti anak-anak lain. Bu Rantini menyebutnya “rapuh”—sebuah alasan untuk tidak menyuruhnya mengangkat barang berat atau pergi ke stasiun. Tapi kenyataannya, semua biaya hidup Nalaya ditanggung oleh Maelon. Ia bekerja dua kali lebih keras, menyerahkan dua kali lebih banyak setoran. Tapi tidak pernah sekali pun memberitahu Nalaya.

Ia tidak ingin belas kasihan. Ia hanya ingin Nalaya tetap hidup.

Siang itu, kabut turun lebih awal dari biasanya. Udara terasa berat, seakan dunia menahan sesuatu yang tak ingin ia muntahkan. Bau logam tua dan jelaga tak lagi hanya memenuhi hidung, tapi menempel di kulit, menusuk hingga ke tulang. Di langit, burung-burung hitam berputar rendah, seperti pertanda dari langit yang tak pernah lagi menyapa kota Teralis.

Maelon baru saja kembali dari gudang logam. Punggungnya basah oleh keringat dingin, tangannya berlumuran serbuk besi dan sedikit darah dari goresan paku berkarat. Sepanjang jalan pulang ke panti, ia sempat menoleh ke reruntuhan kuil tua tempat ia biasa berdoa. Tidak hari ini, pikirnya. Tubuhnya terlalu lelah, dan pikirannya dihantui kekhawatiran yang samar.

Nalaya belum kembali sejak pagi.

Begitu ia melangkah melewati gerbang berderit panti, suara bel listrik berbunyi tiga kali berturut-turut—bunyi yang tak pernah membawa kabar baik. Anak-anak yang sedang menyikat lantai berhenti. Suara sendok yang sedang mengaduk bubur basi terdiam. Semua mematung.

Tiga denting berarti satu hal: pengambilan.

Bu Rantini memanggil Maelon. Suaranya datar, bahkan nyaris ramah—dan itulah yang membuatnya terasa seperti pisau.

Ia masuk ke aula tengah, tempat tiga orang berpakaian hitam berdiri tegak laksana bayangan yang diberi tubuh. Tubuh-tubuh mereka besar, dibalut pelat logam ringan dan lambang sayap patah di dada. Mata mereka tersembunyi di balik helm gelap. Salah satunya memegang selembar kertas yang digulung rapi, seperti surat perintah mati.

“Maelon Herlambang,” ucap pria itu dengan nada netral, “atas nama Otoritas Penataan Dunia, Anda dituduh melakukan pencurian logam kelas satu, pemalsuan laporan setoran, dan konspirasi pelarian dari Lapisan Satu.”

Kata-kata itu seperti pintu yang ditutup di dalam dada Maelon. Sunyi. Dingin. Tanpa ampun.

Ia mengedarkan pandangan. Anak-anak berdesakan di balik pintu. Tidak satu pun membela. Tak satu pun bersuara. Dan Nalaya—

Nalaya tidak ada di sana.

“Tidak mungkin...” gumam Maelon, nyaris tak terdengar.

“Bukti cukup jelas,” sahut Bu Rantini. Ia mengangkat sebuah buku catatan lusuh, menunjuk deretan angka. “Setoran logam untuk panti kosong selama dua minggu terakhir. Juga ditemukan komponen logam ilegal di bawah ranjang Anda pagi tadi.”

Maelon menggeleng pelan. Ia bahkan belum pulang ke kamar. Sesuatu dalam dirinya mulai retak, tapi ia masih berusaha menolak keyakinan yang mulai tumbuh—keyakinan bahwa ini bukan kesalahan. Ini adalah jebakan.

Lalu pintu aula terbuka dengan suara kecil. Seorang gadis masuk dengan langkah ringan.

Nalaya.

Ia memakai gaun lusuh berwarna krem, rambutnya dikepang seadanya, mata hitamnya menghindari tatapan siapa pun. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang membawa beban tak kasatmata. Wajahnya tenang. Terlalu tenang. Seperti seseorang yang telah mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu dalam dirinya.

“Aku...” suaranya nyaris tak terdengar, tapi ruangan itu hening. Suaranya menembus semuanya.

“Aku melihat Maelon... menyembunyikan logam dari gudang. Dan... aku yang pertama kali menemukan buku setoran palsunya.”

Maelon tidak langsung bicara. Tidak langsung marah. Ia hanya menatap Nalaya seperti melihat mimpi yang runtuh perlahan. Tidak ada air mata. Tidak ada teriakan. Hanya sunyi yang menusuk, dan darah yang seperti berhenti mengalir.

“Nalaya...” bisiknya. “Kenapa?”

Gadis itu tak menjawab. Ia hanya menunduk lebih dalam. Tapi mata mereka sempat bertemu—dan dalam mata itu, Maelon melihat segalanya.

Takut. Lelah. Dan keinginan untuk bertahan hidup, berapa pun harganya.

Penjaga menarik Maelon dengan paksa. Ia tak melawan. Rotan Bu Rantini tak perlu bicara lagi—segala sesuatu sudah ditentukan. Dunia ini tak butuh kebenaran, hanya butuh seseorang untuk dikorbankan.

Di luar, kabut telah berubah menjadi dinding tebal. Maelon diseret melewati gerbang panti, melewati anak-anak yang menunduk dalam diam. Tidak satu pun memanggil namanya. Tidak satu pun bertanya.

Ketika pintu logam kendaraan pengangkut tertutup di belakangnya, Maelon menatap ke langit kelabu satu kali lagi. Dan di antara napas terengah dan tubuh yang lelah, ia berseru dalam hatinya.

“Dewa Blasphemy, jika ini bagian dari takdir-Mu... maka biarkan aku menjadi sesuatu yang tak bisa ditelan dunia ini lagi. Jangan biarkan kebenaran mati dalam diam.”

Lalu gelap menelannya, bukan sebagai akhir—tapi sebagai awal dari sesuatu yang bahkan dewa pun tak bisa cegah.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!