Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bola Api
...Panca...
...────୨ৎ────...
Setelah Isya, Si Mbah dan Yoana pun tiba. Kali ini mereka datang dengan oleh-oleh. Ayam Cemani dan Bunga Pisang. Sepertinya si Mbah hendak melakukan ritual lagi dalam waktu dekat.
"Panca. Tolong taruh di kandang, ayamnya!" pinta si Mbah saat turun dari motor. "Terus yang ini rendam di gentong dekat luwang (Perapian)."
Tanpa bersuara aku langsung mengabulkan permintaan si Mbah. Yoana juga ikut mengikutiku dari belakang sambil bilang, "Panca, kayaknya kamu benaran ditempelin sesuatu deh."
"Setan, maksudmu?" tanyaku sambil mencelupkan bunga pisang ke dalam gentong.
"Iya, semacam itu, lah." tuturnya kalem, tampak sedih. "Itu buktinya, si Mbah sampai beli bunga Pisang untukmu."
"Untukku?"
"Iya."
Hening.
Yoana duduk di kursi panjang di dapur sedangkan aku keluar menaruh ayam ke kandang belakang, arah menuju sumber air. Setelah mendengar perkataan Yoana, bulu kudukku menjadi rentan saat mengawasi kondisi sekitar kandang yang gelap, cuma ada cahaya obor yang menuju sumber air.
Mungkin hanya seseorang yang hendak mencari kodok atau belut.
Obor?
Tapi, biasanya, orang-orang memakai lampu LED, atau senter untuk penerangan.
Ah, ya sudahlah. Suka-suka dia. Kenapa juga aku harus ikut campur.
Waktu aku kembali ke dapur, Yoana masih duduk di sana. Tapi kali ini dia memegangi hidungnya.
Mimisan?
"Yoana, kamu nggak apa-apa?" tanyaku heran.
"Oh, ini, kok berdarah? Aku gak tahu—"
"Udah-udah," potongku, aku nggak mau dia memikirkan hal mistis lagi, "bentar aku ambil air hangat dulu."
Secepat kilat aku mengambil air panas dan sehelai kain untuk mengompres hidungnya. Mengusap darahnya dengan hati-hati.
"Uugghhmm," cicit Yoana sambil menghadap ke atap, aku menyumpal hidungnya dengan kain hangat agar darah tak lagi menetes. "Kalau begini, gimana caranya aku napas, Panca?"
Benar juga.
"Oh, sory." jawabku melonggarkan kain hangatnya. "Minum?"
Dia geleng-geleng kepala, "Panca, ada apa di sumber air?"
"Maksudnya?"
Sambil memegangi hidungnya Yoana berdiri menuju ambang pintu dan mencari-cari sesuatu di luar, "Aku merasakan hal aneh dari arah sana!" tunjuk Yoana ke arah sumber air.
"Oh, mungkin orang cari belut," jawabku, aku berusaha meraih kembali tangannya dan menyuruhnya duduk. "Ayo, masuk!"
"Belut?" Yoana masih mencari-cari pamdang ke sekeliling.
"Iya. Masuk Yoana! Sekalian aku tutup ini pintunya, sudah malam!" Aku menutup pintu dan Yoana kembali duduk di tempat semula.
Tiba-tiba si Mbah sudah duduk di depan meja sambil menyeruput kopi, "Tadi Pak Kades bilang apa, Panca?"
Sial.
Bagaimana bisa dia muncul secara tiba-tiba begitu?
Kalau sudah tahu Pak Kades ke mari, kenapa dia masih tanya?
Bukannya si Mbah sudah pasti tahu apa yang aku pikirkan?
"Panca?" tegur si Mbah, menghancurkan lamunanku.
"Dia bilang renovasi rumah ini akan diundur bulan depan." Jawabku datar.
"Bukan yang itu!" tegur si Mbah sambil menyeduh kopinya.
"Oh, itu. Dia bilang mau minta bantuan si Mbah buat nyariin perempuan yang lahir kamis-wage."
"Kamis-wage?" tanya Yoana penasaran.
"Katanya untuk mendoakan program kerja pak Kades pas peresmiannya nanti. 10 hari lagi kalau aku gak salah dengar," jelasku sambil memencet-mencet ujung hidung Yoana. "Dia bilang perempuan yang lahir di kamis-wage itu istimewa, doanya selalu diijabah!"
Aku merasa puas bisa membantah pernyataan Yoana tentang kamis-wage waktu lalu. Apalagi di depan si Mbah.
"Dan kamu percaya itu, Panca?" tanya si Mbah menyodorkan cangkir kopinya ke arahku. "Goblog, kalau kamu pikir perempuan itu bisa mengabulkan doanya. Perempuan yang mereka cari itu adalah tumbal. Sama seperti ayam-ayam cemani yang barusan kamu kandangin itu. Mereka akan di siksa dan darahnya di tunjukkan kepada roh yang menawarkan kesepakatan kepadanya."
"Kesepakatan apa, Mbah?" sahut Yoana.
"Macam-macam. Tergantung roh yang datang. Ada roh yang datang untuk menawarkan kekayaan, jodoh, kesuksesan, pengasihan, laris usaha dan ada juga yang menawarkan kematian. Setiap roh yang di panggil untuk mengisi ritual, mereka biasanya mengiginkan darah ayam cemani," papar si Mbah panjang lebar. Dia berdiri dan menggeser pengait pintu kemudian membukanya. "Tapi roh yang datang kali ini berbeda, mereka meminta darah perawan yang lahir di hari Kamis-Wage. Entah apa yang diinginkan Kepala Desa, yang jelas itu sesuatu yang sangat besar. Bukan lagi sekedar soal kekayaan."
Si Mbah berjalan ke luar, memantau ke arah sumber air.
"Panca, Yoana. Saat ini mereka datang satu persatu untuk berkumpul di sana, menunggu tumbal itu. Ada sebelas roh yang membuat kesepakatan dengan Kepala Desa. Mbah nggak tahu apa hajat si Kades, tapi Mbah cuma tahu satu hal, tentang tumbal itu. Dia harus berasal dari rumah yang sama dengan si pembuat perjanjian. Yang kemungkinan besar, bisa saja salah satu keluarga Pak Kades yang dikorbankan."
Si Mbah merangkulku di sebelah kanan, sedangkan Yoana bersembunyi di balik ketiak kirinnya.
"Untuk itu, cucuku, seburuk apa pun keadaan kalian, jangan sampai berpisah atau bermusuhan, ya? Kalian berhak saling meminta bantuan satu sama lain, jangan sampai meminta bantuan kepada mereka, apalagi menumbalkan orang-orang yang kalian sayangi."
Aku sudah salah menilai si Mbah selama ini. Aku kira dunia lain itu hanya tahayul, mitos atau dongeng semata. Tapi kali ini aku benar-benar dibuat bingung, antara percaya dan tidak.
Karena di ujung sana, ada 7 api yang melayang-layang sedang berkumpul, berkeliling dan bergumul satu sama lain entah apa yang membuat api-api itu bisa berputar-putar dengan sendirinya, tapi setelah telapak tangan si Mbah mengusap turun kelopak mataku, aku bisa melihat semuannya.
Benar-benar makhluk yang menjijikan.