SPESIAL RAMADHAN
Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6_Cahaya yang Hilang
Adam menuangkan teh ke dalam cangkirnya, menikmati aroma hangat yang menguar di udara. Matanya sesekali melirik ke arah dapur, tempat seorang perempuan berjilbab sederhana tengah sibuk membereskan peralatan masak. Ada yang mengusik pikirannya, sebuah perasaan asing yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
"Oh ya, itu yang tadi pekerja baru ya, Bibi? Soalnya tahun lalu saya ke sini, saya tidak melihat ada dia di sini?" tanya Adam berbasa-basi, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya.
Bu Nyai Halimah tersenyum hangat sambil meletakkan poci teh di atas meja, "oh iya, betul sekali, Nak Adam. Itu Santi, anak titipan Ustadz Fahri. Dia santri sekaligus bantu-bantu di dapur."
Adam mengernyitkan dahi, "titipan Ustadz Fahri?" Ia mengenal Ustadz Fahri dengan baik, tetapi baru kali ini mendengar nama perempuan itu disebut-sebut bersamanya.
"Begini," lanjut Bu Nyai Halimah, menggeser duduknya agar lebih nyaman, "sebelumnya, Santi ini bekerja di restoran milik Ustadz Fahri sambil mengaji dengan seorang ustadzah bernama Aliya, kenalan beliau. Tapi kemudian, Aliya yang menjadi guru ngajinya melanjutkan pendidikannya ke Mesir, dan Santi kehilangan tempat belajar. Ustadz Fahri akhirnya merekomendasikan dia untuk mondok di sini."
Adam mengangguk-angguk, menyerap informasi itu. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya, "lalu, kenapa dia bekerja di dapur, Bibi? Apakah dia santri khusus?"
Ekspresi Bu Nyai Halimah melembut. Ada kilatan iba di dalam tatapannya, "Santi ini anak piatu, Nak. Ibunya sudah lama meninggal, sementara ayahnya… tidak jelas keberadaannya. Dia punya empat adik yang semuanya mondok di Pesantren Al-Fatah. Santi tidak punya biaya untuk mondok di sini, jadi sebagai solusinya, kami mempekerjakan dia di dapur. Itu pun, uang makan dan kebutuhan sehari-harinya sudah ditanggung oleh pesantren ini. Biarlah, yang penting sedikit banyaknya dia bisa dapat ilmu dari pesantren ini."
Hening sejenak.
Adam melirik ke arah dapur sekali lagi.
Di dalam dapur Santi masih sibuk dengan pekerjaannya, wajahnya tenang meskipun tangannya cekatan mengelap peralatan dapur.
"Ya sudah, minum lagi tehnya," ujar Bu Nyai Halimah, memecah keheningan.
Adam hanya tersenyum tipis, mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya pelan.
*****
Malam semakin larut, angin berhembus lembut melalui jendela ruang tamu. Adam duduk di sofa, membolak-balik halaman buku yang sudah lusuh. Hanya sekadar iseng, pikirnya. Sejak dulu, ia memang senang membaca, tetapi entah kenapa, akhir-akhir ini kebiasaannya itu mulai pudar.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Adam mengangkat kepalanya dan mendapati sosok Kiyai Nasir berdiri di ambang pintu.
"Nak Adam," sapa Kiyai Nasir dengan lembut.
Adam segera menutup bukunya, "iya, Paman?"
Kiyai Nasir duduk di sebelahnya, menepuk pundaknya dengan penuh arti, "besok malam, Paman ada jadwal mengisi kajian di kampung sebelah. Tapi bersamaan dengan itu, di pesantren ini juga ada kajian tentang akhlak dan tasawuf. Jadi, Paman ingin kamu yang menggantikan paman untuk mengisi kajian di pesantren ini besok malam."
Adam terkejut. Matanya membesar, tangannya mengepal tanpa sadar, "tapi Paman..." katanya ragu.
"Tapi kenapa?" Kiyai Nasir menatapnya dalam, "kamu kan tamatan pesantren. Ilmu agamamu juga tinggi. Paman kira, kamu pasti bisa mengisi kajian ini."
Adam menundukkan kepala. Lidahnya kelu. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang sudah lama ia coba hindari.
"Bukan begitu, Paman," suaranya nyaris berbisik, "saya hanya merasa tidak pantas menyampaikan kajian tentang akhlak dan tasawuf. Sedangkan saya... saya sendiri masih jauh dari akhlak yang baik. Saya belum cukup baik untuk menasihati orang lain."
Kiyai Nasir tersenyum bijak, "Adam, jangan merendahkan dirimu seperti itu. Hidup ini adalah perjalanan saling menasihati. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi bukan berarti kita berhenti belajar dan berbagi kebaikan. Jangan terpaku pada masa lalu. Paman percaya, kamu pantas dan mampu menyampaikan kajian ini."
Adam masih ragu. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih enggan menerima kepercayaan itu.
"Ya sudah, kalau begitu, Paman tinggal dulu," ujar Kiyai Nasir sambil bangkit berdiri.
Adam hanya diam. Setelah Kiyai Nasir pergi, ia merasa ada sesuatu yang menggerogoti pikirannya. Perasaan bersalah? Atau mungkin… kerinduan akan sesuatu yang telah lama hilang?
Menatap punggung Kiyai Nasir yang telah menghilang dari pandangan, Adam memutuskan untuk pergi menuju perpustakaan, tempat berbagai kitab tersusun rapi di rak-rak kayu tua. Tangannya mulai menarik satu per satu buku tentang akhlak dan tasawuf. Ada Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, ada Tazkiyatun Nafs, ada juga kitab-kitab yang pernah ia pelajari dulu.
Satu per satu buku itu ia buka. Ia membaca dengan saksama, mencatat hal-hal penting di secarik kertas. Tangannya menari di atas kertas, menulis dengan tekun, seperti dulu, ketika ia masih menjadi santri yang haus akan ilmu.
Adam tidak menyadari bahwa di ambang pintu perpustakaan, dua sosok tengah memperhatikannya dengan penuh haru.
"Umi senang sekali, Bi," bisik Bu Nyai Halimah kepada Kiyai Nasir. Matanya berbinar, penuh kenangan, "melihat Adam kembali membuka buku-buku agama, jadi teringat waktu dia kecil. Kalau kita berkunjung ke rumahnya, dia selalu sibuk dengan buku-buku agamanya."
Kiyai Nasir tersenyum tipis, matanya tak lepas dari sosok Adam yang begitu serius membedah kitab di hadapannya, "mudah-mudahan dengan begini, Adam bisa kembali ke jalan Allah," ucapnya lirih.
"Ya sudah, mari umi, jangan kita ganggu dia," ujar Kiyai Nasir mengajak Bu Nyai Halimah meninggalkan pintu perpustakaan.
Malam semakin larut, tetapi Adam masih terbenam dalam buku-buku di perpustakaan.
Di hadapannya, kitab Ihya Ulumuddin terbuka, lembaran-lembarannya yang mulai menguning menampilkan tulisan Arab yang penuh makna.
Jemarinya menyusuri baris demi baris, menyerap kalimat-kalimat yang terasa begitu dalam.
"Hati itu seperti cermin," baca Adam dalam hati.
"Jika cermin itu kotor oleh dosa dan kelalaian, ia tidak dapat memantulkan cahaya kebenaran. Tetapi jika hati dibersihkan melalui dzikir, ibadah, dan menjauhi maksiat, maka ia akan menjadi jernih dan mampu melihat kebenaran."
Adam menutup mata sejenak.
Kata-kata itu seakan berbicara langsung kepadanya. Sudah lama ia merasa ada yang salah dalam dirinya—sebuah kehampaan yang tak bisa dijelaskan.
Ia ingat masa kecilnya, ketika ia begitu rajin belajar agama, menghafal hadis, dan membaca kitab-kitab para ulama. Tetapi seiring waktu, ia semakin jauh. Entah sejak kapan, hatinya mulai tertutup oleh debu dunia.
Tangannya meraih secarik kertas dan menuliskan potongan kalimat dari kitab itu, seolah ingin mengabadikan maknanya dalam pikirannya sendiri.
"Jika hati diisi dengan kecintaan kepada dunia, maka tidak akan ada tempat bagi kecintaan kepada Allah. Tetapi jika hati dikosongkan dari dunia dan diisi dengan dzikir serta ibadah, maka cahaya Allah akan masuk dan meneranginya."
Adam menghela napas panjang. Betapa seringnya ia merasa kosong, merasa kehilangan arah. Mungkin inilah jawabannya—hatinya sudah terlalu dipenuhi oleh dunia, hingga tak lagi mampu merasakan ketenangan sejati.
Ia kembali membaca. Kali ini, matanya tertuju pada bab tentang Ikhlas.
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."
Hadis itu terasa begitu akrab, tetapi malam ini, ia memaknainya dengan cara yang berbeda. Apakah selama ini ia benar-benar tulus dalam ibadahnya? Ataukah ia hanya menjalankan kewajiban tanpa hati yang hadir?
Adam meremas kertas di tangannya. Malam ini, ia tidak hanya membaca, tetapi juga menemukan sesuatu yang telah lama hilang—cahaya yang dulu menerangi hatinya.
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤
jadi penasarannn...
siapa akhirnya jodoh Santi..
❤❤❤❤❤❤
saingan terberat Santi datang..
😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
jadi penasarannn..
❤❤❤❤❤❤