Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Entertained
Akasia sampai di mall bersama boneka Adri di tasnya. Gadis berambut panjang itu segera mencari sudut sepi di sudut parkiran untuk memberi Adrian waktu berubah menjadi manusia. Setelah kembali berwujud pria kaukasia, gadis itu menyuruhnya berganti pakaian dengan setelan kasual yang ia bawa. Paduan kaos V neck berlengan panjanh berwarna misty grey dan celana panjang jeans ternyata sangat cocok dikenakan tubuh jangkung Adrian, ia terlihat segar dan modern. Wajah tampannya terkesan berbeda dengan setelan itu.
Akasia sempat menahan napas saat memandang pria berkulit putih itu dengan pakaiannya, ‘Cowok ganteng sih pakai apa aja cocok ya!’ kagumnya dalam hati. Mereka pun berjalan beriringan dengan antusias, “Nanti jangan norak, ya.” Pesan Akasia.
Air mancur yang dirancang estetik, pilar besar yang kokoh dan dihias edgy, layar LED interaktif besar, serta lagu urban yang mengalun semangat. Beberapa SPG menawarkan sampel parfum, beberapa hanya menyerahkan brosur. Keramaian orang yang berlalu-lalang berpakaian modis dan trendy, hampir seperti peragaan busana. Semua tampak asing tetapi mengesankan bagi Adrian.
Adrian mulai memperlihatkan gelagat kekagumannya ketika memasuki mall. Pria itu menatap sekeliling dengan terkesima, “Keren banget ya mall, banyak lampu dan monitor elektroniknya, listriknya pasti boros ini.” Komentarnya polos.
“Yang seru kamu bisa menemukan apa aja di mall, mau beli apa juga ada. Makanan minuman banyak, pakaian banyak, gadget ada, buku juga ada.” Akasia menjelaskan sambil berjalan.
“Disini ada toko buku?” Pria Belanda itu tertarik, “Kesana yuk, buku-bukumu membosankan.”
“Iya iya, memang udah lama aku belum beli buku bacaan lagi.” Akasia menurut dan menunjukkan arahnya.
Adrian sempat sedikit kerepotan saat mencoba menaiki eskalator, tapi Akasia memeganginya dengan sigap. Mereka berjalan ke toko buku dengan semangat karena pada dasarnya keduanya suka membaca.
Diluar perkiraan mereka berdua, sepasang mata mengikuti mereka. Orang itu mengeluarkan ponselnya, merekam kebersamaan keduanya yang terlihat akrab tertawa bersenda gurau.
Sedari tadi Adrian tertarik melihat layar monitor besar yang terpampang di berbagai sisi mall. Tangannya menenteng beberapa kantong belanjaan buku yang tadi ia beli bersama Akasia.
“Lihatin apa sih, Ki?” Gadis itu heran, matanya mengikuti arah pandangan pemuda yang bersamanya.
“Di sini banyak banget monitor besar, enak kali ya kalau dipakai nonton netflix.” Adrian berandai-andai.
“Mana boleh, lagian memang bisa?” Akasia mematahkan bayangannya, “Eh, tapi bisa nggak ya? Seru juga kali ya kalau bisa. Paling nggak buat nonton bareng sepak bola deh.” Ia malah ikutan mengkhayal.
“Iya tuh, pasti seru. Satu mall nonton bareng semua.” Pemuda itu merasa sefrekuensi.
“Udah ah, lapar nih, makan yuk. Kamu lagi mau makan apa?” Akasia menawarkan kepada pemuda disampingnya.
Adrian menyeringai, “Pasti disini nggak ada makanan dari bangsaku ya?” Tebaknya.
“Kalau ada, mau taruhan?” Akasia mengajak, ia balas tersenyum penuh rencana.
“Boleh.” Adrian begitu yakin, sepengetahuannya kebanyakan restoran di Indonesia menawarkan panganan Amerika, Jepang, Italia, atau lokal.
Akasia menggiringnya ke sebuah restoran Belanda di dalam mall, dengan wajah penuh kemenangan dia menunjuk dengan kedua tangan yang terbuka, “Silakan masuk, Meneer, ingat janjimu, Tuan nederlander?”
Adrian bersungut-sungut dan hanya menjawab, “Iya iya.” Lalu masuk ke dalamnya dan memilih meja untuk mereka berdua.
“Karena aku yang menang, kamu traktir aku ya! Kamu yang bayarin semua pesanannya.” Akasia mengingatkan sambil duduk dengan hati berbunga-bunga. Ia mengamati suasana era kolonial di restoran ini. Adrian pasti senang ke tempat semacam ini, seperti mengembalikannya ke masa lampaunya. Pemuda Belanda itu celingak-celinguk memperhatikan setiap detail restoran, seperti lupa dengan kekesalannya karena kalah taruhan.
Selagi mereka berdua membuka-buka buku menu, pramusaji datang ke meja mereka, “Goede avond (selamat malam), Kakak, kami mau memberitahukan kalau ada diskon 50% bagi pasangan untuk menyambut hari valentine sebentar lagi. Jadi apa kalian pasangan?”
“Oh iya benar, Mbak.” Jawab Adrian cepat, direspon Akasia dengan tatapan protes.
“Baik, sudah siap pesan?” Pramusaji wanita itu mempersiapkan catatan kecil dan pulpennya.
“Ini aja Mbak, paket satu.” Pemuda pirang itu menunjuk buku menu.
“Baik paket satu, terdiri dari satu wienerschnitzel, satu hollandsche biefstuk, satu bitterballen, dan satu butter poffertjes ya, minumnya iced lemon tea satu dan iced lemonade satu.” Pelayan itu menjabarkan isi paketnya.
“Iya benar.” Adrian mengangguk puas, sementara Akasia ketar-ketir mendengarnya. Begitu pramusaji itu pergi Akasia segera menendang kaki Adrian di bawah meja. “Auch, kenapa sih?”
“Itu banyak banget!” Gadis manis itu mengingatkan, “Kamu mau makan itu semua? Sanggup?”
“Iya, kangen juga sama makanan rumah.” Pemuda Belanda itu cengengesan, “Lagian ada potongan 50 persen kok, lumayan.”
“Rumah mana? Rumah kamu yang di Eropa? Nekat kamu, pakai ngaku-ngaku pasangan. Memang boleh bohong begitu?” Akasia keberatan.
“Makanya jangan sampai ketahuan, mohon kerjasamanya ya.” Adrian tersenyum lembut sambil meraih punggung tangan gadis di hadapannya untuk menggenggamnya mesra.
Akasia geli, “Idih, harus banget ya akting begini?” Tolaknya risih, ‘Salah-salah aku bisa baper nih!’ Batinnya berteriak karena jantungnya mulai berpacu keras.
“Oke, kalau nggak boleh pegang, aku pandang-pandangin kamu aja ya.” Adrian menumpukan kepala di kedua punggung tangannya yang terkait, menatap gadis didepannya dalam-dalam dengan senyum genit.
“Emang pasangan harus begini banget template kelakuannya ya? Nggak bisa konsep pasangan yang cuek-cuekan hampir putus aja gitu?” Akasia melipat tangannya, dengan wajah kesal. Ia memasang tinggi-tinggi tembok pertahanan hatinya.
“Jangan dong, kalau kayak hampir putus nanti nggak dapat potongan diskonnya, gimana?” Adrian menyentuh pipi Akasia dengan jari telunjuknya, mentoyor-toyornya dengan senyum iseng, “Ih tatep banet pacal akuh.” Goda pemuda itu, seolah sengaja membuat kesal gadis di depannya.
Akasia tersenyum jijik, “Ih cringe banget cowok aku. Gemesin deh, bikin pingin tabok!” Ia menjawab satir sambil memaksakan tawanya.
Pesanan datang, selama makanan disajikan kedua orang itu menjaga lagi sikap mereka. Mereka hanya mengangguk kepada pramusaji, lalu saling pandang dalam keheningan yang canggung. Setelah pramusaji pergi, mereka cepat-cepat mengambil alat makan.
“Makanan datang nih, makan dulu yuk.” Adrian mengusaikan gurauannya.
Akasia belum puas, ia ingin membalas menjadi menggelikan di depan pemuda itu, “Shayang, coba mangap! Aaaa!” Ia menyuapkan sepotong bistik di garpunya ke pemuda di depannya.
Adrian terkejut, lalu tersenyum geli. Ia menurut untuk membuka mulutnya dan mengambil bistik itu untuk dikunyah hingga habis, “Centil juga kamu.” Komentarnya seraya terkekeh.
“Iya dong, pacal siapa dulu!” Akasia mengibaskan rambutnya dengan gaya centil yang dibuat-buat.
“Kamu juga dong cobain, aaa!” Adrian membalas menyuapi Akasia dengan potongan daging, yang disambut gadis itu dengan membuka mulut. Sambil mengunyah mereka berdua menertawai tingkah mereka sendiri.
Begitu keduanya selesai makan mereka belum langsung beranjak. Mereka berdua menikmati suasana restoran itu dulu sambil menurunkan makanan di perut. Restoran itu didominasi unsur kayu, di beberapa bagian partisi dicat merah marun dan hijau tua. Bangkunya terlihat seperti bangku makan Eropa kuno, mejanya pun serupa meski ukurannya cukup kecil. Terdapat beberapa lampu gantung antik sebagai hiasan di atas kepala mereka. Detail hiasan dinding dan alat makannya pun seakan langsung dibawa dari era kolonial, sama antiknya.
“Kamu pasti familiar dengan suasana begini?” Gadis itu memaklumi Adrian yang tampak nyaman berlama-lama di tempat ini, “Kaget kan ada tempat seperti ini? Feels like home enough (Cukup terasa seperti rumah)?” Akasia memandang Adrian, ikut senang melihatnya kesenangan.
“Iya nih, terima kasih ya Akasia sudah dibawa kesini.” Pemuda pirang itu tersenyum simpul, ‘Sebenarnya nggak terlalu kaget sih, karena sebelum ini aku sudah melihatnya sewaktu melewatinya.’ Batin pemuda itu menahan senyum. Pertaruhan ini sebenarnya hanya pancingan agar Akasia mengizinkannya membayarinya makan. Karena dari awal ia tahu hasilnya, yang ia tidak perkirakan hanya potongan diskon yang justru menguntungkannya itu. Adrian jadi bisa bermanja ke Akasia tanpa membuat gadis itu heran, memanjakannya dengan memberi kesempatan mencicipi berbagai makanan kampung halamannya, sekaligus menekan pengeluarannya.
“Jadi keluar dari sini kita putus nih ya?” Goda Akasia dengan tatapan mengejek.
“Jangan dong, langsung nikah aja gimana?” Pemuda itu balas menggodanya.
“Ngaco!” Gadis itu menepak tangannya kesal, “Aki-aki kayak kamu pantasnya nikah sama pajangan boneka kecil itu aja tuh, nah baru kalian serasi. Sama-sama antik.”
“Jahaat! Aku ditolak.” Adrian berpura-pura menangis, menutup wajahnya dengan gestur lucu. membuat Akasia tertawa gemas.
Saat mereka kembali menelusuri bangunan mall, Akasia menarik pemuda pirang yang bersamanya untuk memasuki toko mainan. Gadis itu memperlihatkan daftar nama-nama mainan ke pegawai toko agar dicarikan untuk kemudian dibayarnya. Adrian heran dengan tingkahnya, apalagi ternyata banyak mainan yang ia beli, hanya muat di satu dus besar. Seperti sebelumnya, pemuda kaukasia itu kebagian membawakan hasil belanjaan Akasia.
“Banyak banget loh ini, buat apa sih?” Adrian keheranan.
Akasia hanya tersenyum misterius sambil menjawab singkat, “Sedekah.”
semangat /Good/