Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 – Cinta yang Tak Sejalan, Rencana yang Tak Berjalan
Bab 28 – Cinta yang Tak Sejalan, Rencana yang Tak Berjalan
Pagi itu, langkah Alya begitu cepat dan penuh emosi. Setiap hentak sepatu haknya menggema di koridor kantor milik Randy. Beberapa karyawan menatap heran, tetapi Alya tidak peduli. Ada sesuatu yang harus dia selesaikan—sesuatu yang selama ini terus menggantung, membuat napasnya sesak dan jiwanya terpenjara.
Tanpa mengetuk, Alya membuka pintu ruang kerja Randy. Ia berdiri di ambang pintu dengan dada yang naik turun, matanya menatap tajam.
Randy yang sedang menatap layar laptop langsung terdiam saat melihat Alya. “Alya?” tanyanya bingung. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”
Alya menutup pintu di belakangnya lalu melangkah maju. “Kita harus bicara. Sekarang juga.”
Randy bangkit dari kursinya, menatap gadis yang kini tampak lebih tegas dari sebelumnya. “Apa yang terjadi?”
“Aku ingin kita menyusun rencana untuk menggagalkan perjodohan ini,” ucap Alya lantang. “Aku sudah tidak sanggup lagi, Ran. Aku merasa seperti dikurung dalam skenario yang bahkan bukan milikku.”
Randy terdiam. Ia menatap wajah sahabat kecilnya itu—wajah yang dulu selalu ceria, kini penuh tekanan dan luka yang dalam.
“Alya… aku juga nggak mau semua ini terjadi,” kata Randy pelan. “Tapi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Hidupku… terlalu banyak dikendalikan.”
“Jadi kamu hanya akan diam? Membiarkan semuanya berjalan seperti ini?” suara Alya meninggi. “Kamu tahu aku nggak cinta sama kamu, Randy. Kita cuma sahabat. Kita berdua tahu itu.”
Randy menunduk. Ia tahu semua yang dikatakan Alya benar. Tapi kenyataan tidak sesederhana perasaan. Di luar sana ada orang tua, ada perusahaan, ada reputasi keluarga. Ia tumbuh dengan ajaran untuk taat, untuk patuh… dan itu kini menjadi belenggu yang menyakitkan.
“Aku nggak punya kekuatan sebanyak itu, Alya,” ujarnya lemah. “Aku bukan seperti kamu yang bisa melawan.”
Alya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Lalu kamu mau aku dikorbankan? Kamu biarkan aku menikah tanpa cinta, demi urusan bisnis keluarga? Kalau begitu kamu sama saja dengan Mama.”
Randy mengangkat wajahnya, terkejut dengan ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Alya melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.
“Dan satu hal lagi…” Alya menarik napas panjang. “Aku sudah punya perasaan kepada orang lain.”
Randy terdiam. Sorot matanya seketika berubah. Tapi bukan kaget, bukan marah… hanya sebuah tatapan kosong yang tak bisa ditafsirkan.
“Kamu nggak kaget?” tanya Alya, heran dengan respons Randy yang datar.
Randy menggeleng pelan. “Entah kenapa… aku merasa memang sejak awal, kamu pasti akan mencintai seseorang yang berbeda. Aku sudah siap dengan itu.”
“Tapi kamu belum bicara apa pun soal perasaan kamu sendiri,” lirih Alya. “Apa kamu juga… punya seseorang?”
Diam. Ruangan terasa sunyi sejenak. Randy menatap meja kerjanya, seolah mencoba mencari jawaban di antara tumpukan berkas yang tak berarti apa-apa saat ini.
“Aku juga nggak yakin,” ucapnya pelan. “Ada seseorang… dia berbeda. Sederhana, lembut… tapi aku nggak tahu ini cinta atau cuma karena aku merasa nyaman.”
“Perempuan yang pakai seragam cleaning service?” tanya Alya langsung.
Randy terhenyak. Ia menatap Alya yang kini berdiri dengan wajah tenang, namun sorot matanya tajam dan penuh pengertian.
“Aku pernah lihat dia di teras kafe beberapa minggu lalu,” ujar Alya. “Aku ingat tatapan matanya. Seperti menyimpan sesuatu… seperti seseorang yang sedang menahan banyak hal.”
Randy menarik napas dalam. “Iya. Namanya Nadine.”
“Terus kenapa kamu nggak memilih jalanmu sendiri, Ran? Kalau kamu juga punya rasa untuk orang lain, kenapa masih bertahan dalam tekanan keluarga?” suara Alya kini melembut, tapi tetap menggigit.
“Karena aku takut.” Randy akhirnya jujur. “Aku takut mengecewakan semua orang. Aku takut kehilangan kepercayaan Papa. Aku takut… semua yang sudah kubangun runtuh kalau aku menolak perjodohan ini.
Alya mendekat, berdiri di hadapan sahabatnya itu. “Tapi kamu juga akan kehilangan dirimu sendiri kalau kamu terus menjalani ini. Kamu pikir kita bisa bahagia dengan pura-pura mencintai satu sama lain?”
Randy menatap mata Alya dalam-dalam. Dan di balik tatapan itu, ia menemukan pantulan luka yang sama—dua jiwa yang dipaksa tunduk oleh ekspektasi dunia.
“Kita harus berani, Ran,” ucap Alya lirih. “Kalau bukan sekarang, sampai kapan hidup kita akan jadi milik orang lain?”
Randy menatapnya lama. Lalu, dengan suara yang nyaris bergetar, ia berkata, “Aku akan coba bicara lagi dengan Papa. Mungkin… ini saatnya kita berhenti jadi boneka.”
Alya tersenyum tipis. Tapi di balik senyum itu, matanya masih menyimpan keraguan—karena ia tahu, perjuangan ini belum selesai.
Dan ketika ia keluar dari ruang kerja Randy, udara pagi terasa lebih dingin. Tapi setidaknya… satu langkah kecil sudah diambil.
Langkah menuju kebebasan yang penuh luka. Tapi juga penuh harapan.