Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Setelah menghabiskan teh yang dihidangkan Anggi, bu Santi langsung menyuruh anaknya untuk menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh kedua tamunya.
"Mbak, ini kamarnya. Kalian bisa istirahat di sini, maaf ya karena kamarnya tidak terlalu luas," ucap Anggi.
"Enggak masalah, ini sudah cukup untuk kami berdua kok." Andini meletakkan tas bawaannya di dekat tempat tidur.
"Makasih ya Anggi, keluarga kamu baik banget," ucap Sisi, seraya tersenyum ramah ke arah Anggi.
Anggi memberikan korek api kepada Sisi. "Mbak, nanti tepat jam 12, lentera ini dimatikan ya," ucap Anggi berpesan.
Andini dan Sisi saling tatap, pesan dari Anggi membuat mereka bertanya-tanya.
Ada apa di jam 12 malam?
"Mbak, jangan bertanya apa-apa dulu. Ikuti saja apa yang aku katakan, nanti Mbak Sisi dan Mbak Andini juga bakal tahu sendiri kalau sudah tinggal di sini beberapa hari." Anggi berlalu pergi dari sana tanpa bicara lagi.
"Dan untuk korek api itu, kalian bisa menggunakannya di saat terdesak saja." Anggi berbalik arah saat sudah tiba di ambang pintu, pintu ditutup rapat, Anggi meninggalkan kedua tamunya dengan perasaan was-was.
"Kedua mbak itu jangan sampai menjadi mangsa anaknya pak Danang," monolog Anggi.
Pak Aji yang diam-diam memantau sang putri, langsung saja menghampiri putrinya itu saat melihat Anggi sudah keluar dari kamar tempat kedua tamunya tidur.
"Gimana, apa mereka menanyakan sama kamu ada apa sama desa ini?" tanya pak Aji.
"Tidak, Pak. Kedua mbak itu cuma terlihat bingung aja, mereka tidak bertanya sama sekali. Langsung patuh gitu aja sama perintah Anggi," ujar Anggi.
Pak Aji cuma bisa menganggukkan kepalanya, lalu pergi masuk ke kamar tamu.
Malam berlalu dalam keheningan, Sisi dan Andini belum juga bisa tidur.
Di ruang tengah sudah tidak ada lagi cahaya dari lentera minyak tanah yang terlihat. Benar-benar gelap dan sepi, malam di desa karang memang menyeramkan, tapi setidaknya mereka tidur tidak harus bergelap-gelapan seperti ini.
"Din, sudah jam 12, cepat matikan cahayanya!" suruh Sisi. Gadis cantik itu meringkuk di balik selimut dengan kepala menyembul keluar, ia menunggu dengan perasaan tak karuan.
Rasa takut sekaligus penasaran menjadi satu, tak berselang lama, terdengar suara kayu bergesekan di luar rumah.
Dinding kamar mereka yang masih terbuat dari kayu itu seperti di cakar-cakar dari luar.
Andini mengandalkan mata batinnya untuk melihat keadaan di luar sana.
Darah berceceran di depan, di samping, dan juga di belakang rumah pak Aji.
Di belakang rumah juga terus terdengar suara ayam yang seolah meneriaki rasa takut.
Angin malam menerbangkan aroma anyir hingga masuk ke kamar tempat Sisi dan Andini berada.
Andini dapat melihat seorang pemuda tanpa baju, dengan wajah pucat ia berjalan cepat menuju kandang ayam pak Aji. Dengan ganasnya dia mencabuti bulu-bulu yang menempel di tubuh ayam tersebut, dan kemudian memakannya hingga habis.
"Sial!" umpat Andini kesal, dia kehilangan penglihatannya saat pemuda itu membalikkan wajahnya.
Belum selesai apa yang dia saksikan, tapi tampaknya dia sudah tahu akan satu hal.
Lelaki yang sedang memangsa ayam tadi terkejut begitu melihat cahaya yang masih menyala dari salah satu obor di belakang rumah.
"Apa yang lo lihat, An?" tanya sisi tak sabaran.
"Ternyata alasan mereka menyuruh kita mematikan lentera ini, adalah untuk melancarkan aksi pemuda itu mengambil ayam-ayam di sini, dan kemudian memakannya dalam keadaan masih hidup."
Mendengarnya saja sudah membuat perut Sisi mual, coba kalau dia bisa melihat seperti Andini, tentu dia sudah muntah-muntah dari tadi.
Andini sedang tidak ingin berpikir lebih dalam, dia pun mengajak Sisi untuk segera tidur.
Tentang kejanggalan ini, besok pagi dia berencana menanyakan hal itu pada keluarga pak Aji.
Bella masih terus mengikuti dan menyaksikan kisah hidup Mulan.
Bella tidak tahu sudah berapa hari dia di sana, dia hanya fokus menyaksikan semua itu. Apa yang dilihatnya telah membuat dia lupa untuk kembali, tapi tampaknya Mulan juga tidak punya niat untuk mencelakai anak itu.
Mulan sudah membalaskan dendamnya kepada bu Yati, ibu mertuanya. Namun, semua itu seperti masih belum cukup, entah kenapa dia masih menyandera Bella sampai sekarang.
"Edo, kamu yakin mau pergi lagi?" tanya Lukman.
"Iya, aku harus kembali lagi ke sana. Paman, kau tolong jaga Mulan untukku, aku tahu kalau ibu tidak pernah suka sama dia, aku takut kalau ibu menyiksa Mulan." Edo memberikan beberapa lembar uang pada Lukman. "Tolong berikan ini kepada ibu, aku harap dia tidak akan marah-marah lagi setelah mendapat uang ini, anggap saja ini untuk biaya sehari-hari yang dihabiskan Mulan selama tinggal di sini," ucap Edo menambahkan.
Lukman mengambil uang itu dan memasukkan ke dalam saku celananya.
"Kamu tidak ingin berpamitan sama istrimu dulu?" tanya Lukman.
"Dia sudah tidur, kalau aku bilang mau pergi lagi. Nanti dia pasti sedih, aku bahkan tidak tega melihat kesedihan di mata istriku, paman."
Begitulah Edo, dia amat sangat menyayangi Mulan.
Edo sengaja kerja di luar kota, supaya bisa cepat-cepat dapat uang banyak, dan kemudian membuat rumah sendiri. Biar mereka tidak tinggal satu atap lagi dengan sang ibu, Edo tahu kalau istrinya itu sangat menderita tinggal di sana.
Lukman memandangi punggung keponakannya yang semakin menjauh, dan kemudian hilang dalam gelapnya malam.
Malam itu sebenarnya bu Yati tidak pulang ke rumah, dia menginap di rumah keluarga almarhum suaminya.
Yang tinggal di rumah cuma Lukman dan Mulan, perempuan itu sudah lelap dalam tidurnya.
Lukman tiba-tiba tersenyum, ia berjalan mendekati pintu dan segera menguncinya setelah lebih dulu memastikan kalau keadaan di luar sudah sepi.
Lukman melangkahkan kakinya dengan mantap menuju kamar Mulan, entah apa yang ada di pikiran lelaki itu.
Jleb!
Dia langsung mematikan lampu, Bella tahu apa yang hendak Lukman lakukan terhadap istri keponakannya tersebut.
Dalam keadaan masih setengah sadar, Mulan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Anehnya dia tidak sadar kalau yang sekarang sedang menjamah tubuhnya adalah lelaki lain, paman dari suaminya sendiri.
Tubuh Lukman dan Edo memang hampir sama, Lukman juga memiliki paras tampan, dia memiliki tubuh yang bagus, dan kekar seperti suaminya. Mungkin itu sebabnya Mulan tidak curiga, dan lagian dia juga tidak tahu kalau sebenarnya suaminya sudah kembali ke kota.
Tidak ada perbincangan sama sekali, meski saat Mulan mengeluarkan suara desahannya, Lukman tetap diam. Dia terus memanggil nama Edo, namun tak ada jawaban. Saat itu sebenarnya Mulan mulai merasa ada yang janggal, karena biasanya Edo selalu menyebut namanya, namun malam itu tidak.
Rasa khawatir perlahan timbul di hatinya, namun Lukman membuat permainan mereka semakin menggairahkan, itu sebabnya Mulan mulai melupakan rasa khawatir di hatinya.
Lukman semakin penuh semangat dan bergairah mengikuti permainan ranjang itu. Dia sudah tidak peduli kalau Mulan hamil anaknya, yang ada di pikirannya saat ini adalah, dia harus bisa menyatukan rasa cinta yang sudah lama disimpannya di dalam hati.
Setelah aktivitas ranjang mereka berakhir, Lukman buru-buru mengenakan kembali pakaiannya, dia sangat hati-hati supaya tidak meninggalkan jejak sedikit pun.
Dalam keadaan yang masih gelap, lelaki itu keluar dari kamar, sedangkan saat itu Mulan sudah tertidur pulas dengan tubuh polos yang dibalut dengan selimut.
Menjelang pagi, Mulan kebingungan karena suaminya tidak ada di rumah.
Mertuanya yang saat itu sudah pulang, langsung bertanya ke mana Edo pergi.
Mulan yang tidak tahu cuma bisa menggeleng dengan perasaan semakin tidak tenang. Dia jadi teringat akan kejadian semalam, mulai berpikir kalau yang bersamanya bukanlah Edo.
Dalam keadaan bingung, Lukman muncul dengan wajah berseri-seri. Tentunya dia sangat bahagia karena semalam sudah mendapatkan jatah yang tidak seharusnya dari istri keponakannya sendiri.
"Mbak, Mulan, kalian jangan panik gitu. Edo tadi sudah berangkat lagi ke kota, dia pergi pagi-pagi sekali. Rencananya dia mau bangunin kamu, tapi tidak tega melihat kamu terlalu nyenyak tidurnya," ucap Lukman.
"Yang bener kamu, Man? tanya bu Yati.
"Untuk apa saya bohong, Mbak?"
"Tapi semalam dia enggak bilang mau pergi lagi," ujar Mulan, ia merasa ada yang tidak beres.
Terlebih lagi saat menatap wajah Lukman yang seolah menyembunyikan sesuatu dari mereka.