Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Permintaan Dewa
"Tari, menurutmu Bian itu bagaimana?"
"Bian baik, sangat baik malahan," jawab Utari. Ini jawaban paling sederhana yang bisa dia pikirkan.
Dewa tersenyum, "Bukan itu maksud abang. Abang mau tahu pendapatmu sebagai perempuan. Bian itu gimana?"
Wajah Utari seketika memerah. "Bang, jawaban apa yang abang mau dengar? Tari ga mungkin sama Bian, dia masih bujang, sedangkan aku ini janda."
"Apa salahnya menjadi janda? Kamu mungkin terlalu menganggap rendah diri kamu sendiri, Tari. Kamu menjadi janda kan juga bukan karena keinginanmu sendiri. Melainkan karena dia menyepelekan hubungan kalian," kata Dewa. "Abang cuma mau kamu dan Bian bisa hidup bersama, menjalani hidup bahagia, membesarkan Nisa dan kalau beruntung ditambah dengan anak-anak kalian juga," sambung Dewa lagi. Dia menatap Utari penuh harap.
Namun, Utari justru terlihat bimbang. Bukan dia tidak suka pada Bian, tapi dia merasa ini benar-benar tidak adil untuk pria itu.
"Tari, Abang cuma ingin Bian bahagia. Sejak dia tidak menemukanmu waktu itu dan mendengar kabar kematian kedua orangtuamu, dia terus menyalahkan dirinya sendiri. Kemarin bahkan ketika pertama kali kalian bertemu, dia masih tidak percaya itu kamu, tapi ketika dia tahu kamu sudah menikah, Bian berusaha menahan perasaan patah hatinya."
Utari terdiam, bahkan sampai Dewa meninggalkannya, wanita itu masih duduk termangu di ruang makan. Dia tahu jika Dewa sangat menyayangi Bian, tapi dia juga bingung bagaimana harus mengambil sikap kedepannya.
Utari menghela napas panjang dan beranjak dari ruang makan. Dia berjalan ke taman, tapi hatinya masih merasa tidak tenang. Utari mengambil ponselnya, dia ingin berbicara dengan Nisa, tapi mengingat ini sudah sangat malam, Utari pun urung menghubungi mama Sukma.
"Kok, di luar jam segini?" Seseorang melingkarkan selimut tipis di bahu Utari. Saat mendengar suara familiar itu, Utari menoleh.
"Loh, kamu kok udah pulang?"
"Aku hari ini berusaha keras menyelesaikan semua pekerjaanku. Butuh tenaga ekstra untuk menyelesaikan semuanya. Aku lelah Tari." Bian tiba-tiba bersandar di bahu Utari.
Tubuh Utari menegang untuk sesaat. Namun, mengingat bagaimana pria di sampingnya ini memperlakukan dia dan anaknya dengan baik, maka Utari akan bersikap sebagaimana mestinya. Dia menggerakkan bahunya seolah sedang menggoda Bian.
"Kamu ini, kalau capek, ya, ke kamar. Kenapa malah bersandar begini."
"Sebentar saja, Tari," gumam Bian. Utari tidak lagi menjawab. Dia hanya diam sambil menatap pekatnya malam. Suara napas yang teratur dari sebelahnya membuat Utari menoleh ke samping. Dia melihat wajah Bian yang begitu dekat dengannya. Alisnya tebal, bulu matanya lentik untuk ukuran seorang pria, hidung Bian mancung dan bibirnya seksi. Rasanya jika menatapnya lama-lama dia tidak akan pernah bosan.
Dewa melihat dua orang itu dari balkon kamarnya, senyum tipis mengembang di bibirnya. Sejak Bian tahu, kedua orang tua Utari meninggal dan Utari didzolimi oleh keluarga pamannya, Bian selalu menyalahkan dirinya sendiri.
Sejak saat itu, Bian bertekad untuk membangun usaha dari yang mikro sampai makro di seluruh penjuru kota. Bian memiliki keuletan dan ketajaman intuisi. Dia membuka usaha konter HP, katring juga laundry. Tujuannya hanya satu, saat dia sedang berkunjung untuk melihat perkembangan usahanya, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Utari-nya.
Bahkan Bian juga menjalankan bisnis ritel dan juga memiliki beberapa hotel. Semua dia usahakan untuk selalu melakukan kunjungan dalam satu bulan dua kali di satu tempat. Dewa dan kedua orangtuanya menjadi saksi betapa kerasnya Bian saat itu berusaha menemukan Utari. Tak disangka perlu waktu hampir delapan tahun, bagi Bian untuk bertemu dengan Utari.
Jadi, bagaimana bisa Dewa membiarkan kesempatan ini lepas begitu saja.
Sudah 30 menit, Bian tidur di bahu Utari. Dia merenggangkan tubuhnya dan lalu membuka mata. Dia menoleh dan mendapati Utari hanya diam memandang ke depan.
"Apa kepalaku berat?" tanya Bian?"
"Entah. Bahuku mati rasa, Bi." Utari memijat bahunya dan Bian merasa bersalah.
"Maaf, ya."
"Ga apa-apa, Bi," kata Utari. Wanita itu awalnya ingin berdiri, tapi teringat sesuatu dia kembali duduk dan menoleh.
"Kamu udah makan belum?"
"Belum, Tari. Aku lapas sekali sekarang."
"Kalau begitu, ayo. Aku buatkan sesuatu untukmu."
Utari berjalan terlebih dulu dan Bian mengekor di belakangnya. Dia melihat ke balkon kamar Dewa dan tiba-tiba tersenyum bodoh.
Utari pergi ke dapur dan melihat bahan yang tersedia di kulkas. Utari mengambil beberapa butir telur dan juga tomat. Rencananya dia akan membuat telur orak arik dengan tomat.
Bian sedikit pun tidak pernah mengalihkan tatapannya dari Utari. Berada di dapur yang sama dan menunggu masakan dari Utari merupakan kebahagiaan tersendiri baginya.
"Tari, apakah masih lama?"
"Mungkin 15 menit lagi, ada apa?"
"Aku mandi dulu, ya. Biar nanti saat makan aku udah wangi," kata Bian kekanakan.
"Ya, nanti kalau sudah matang aku akan memanggilmu."
"Ga usah. Kamu tungguin aku di sini aja. Ok!" Bian berdiri dan pergi meninggalkan Utari. Utari hanya tersenyum melihat tingkah Bian yang dari dulu ga berubah.
Bian mandi secepat kilat, dia tidak ingin membuat Utari menunggu terlalu lama. Saat keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Dewa.
"Bang," sapa Bian.
"Seneng, kan?"
Bian hanya tersenyum, Dewa menepuk pundak adiknya.
"Jaga dia. Jangan sakiti dia. Sedikit bersabar menghadapi dia, Utari masih butuh waktu."
"Kali ini Bian ga akan lepasin Utari, Bang. Aku akan nunggu dia siap sampai kapan pun."
Keduanya berbicara di depan pintu dengan suara yang tidak terlalu kencang atau pun pelan, tapi Utari yang tadinya hendak memanggil Bian, seketika menghentikan langkahnya di anak tangga.
Dia mendengar pembicaraan kakak beradik itu, mau tak mau merasa tersentuh. Utari kembali turun dan memutuskan untuk menunggu Bian di ruang makan.
Bian turun bersama Dewa. Keduanya tampak sangat luar biasa jika berdiri bersama. Memang keturunan Adiatama tidak ada yang jelek.
"Wah, abang juga boleh ikut makan, ga?"
"Boleh, Bang. Ini juga aku bikin kayaknya kebanyakan, deh." kata Utari sambil menggaruk pelipisnya sungkan. Dewa dan Bian akhirnya makan ditemani Utari. Kedua pria itu begitu lahap menghabiskan semua masakan Utari, setelahnya kedua pria dewasa itu mengusap perut secara bersamaan.
"Ah, kenyangnya," ujar Bian. Dewa bersendawa dan mengangguk setuju.
"Kalau gitu aku balik ke kamar ya." Utari beranjak dari kursi tanpa menunggu jawaban dari kedua pria itu, Utari meninggalkan Bian juga Dewa.
Sementara itu, Bu Dewi sedang termenung dan membuat Akmal keheranan. Tidak biasanya ibunya seperti ini. Akmal pun duduk di samping ibunya dan bertanya, "Bu, dari tadi ibu melamun terus, ada apa?"
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu