Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3. Awas Kamu Regina.
Pak Antony menjelaskan beberapa hal penting kepada sang putra. Sementara Regina hanya ikut menyimak. Karena ia sudah mengetahui apa saja yang pak Antony katakan.
William nampak profesional dalam bekerja. Ia sangat fokus mendengarkan apa yang papanya jelaskan.
Ada beberapa dokumen yang menanti untuk William periksa. Dan ada beberapa nama klien yang menunggu untuk William temui.
Hampir satu jam pak Antony mengoceh, ia pun berdiri, dan membenahi jas yang di gunakan.
“Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik, Will. Regina akan membantu mu. Papa harap kalian bisa menjadi team work yang kompak.”
Pak Antony menepuk pundak putranya.
“Re, aku harap kamu bisa membimbing putraku dengan baik. Jika dalam satu bulan ke depan, William bisa bekerja dengan baik, aku akan memberimu bonus tambahan dari rekening pribadiku.”
Mendengar rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir pak Antony, membuat senyuman terbit dengan cerah di wajah Regina. Matanya berbinar ketika indra pendengarannya menangkap kata bonus tambahan.
Kepala wanita itu pun mengangguk dengan cepat.
“Tentu, pak.”
Pak Antony mengangguk. “Titip putra ku Re, jewer saja telinganya jika dia nakal.”
Pak Antony pun bergegas, ia mengambil beberapa barangnya yang telah tertata rapi di dalam sebuah kotak.
William mencebik kesal. Selalu saja papanya mengatakan dia nakal. Padahal dia tak senakal yang papanya bayangkan. Hanya baru semalam ia nakal dengan Regina.
“Papa mau kemana sekarang? Apa mau menemui simpanan papa?”
“Tentu saja papa mau berkencan dengan mama mu. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu dengan berbagi peluh.”
“Astaga, papa?” Mata William membulat mendengar ucapan sang papa. Benar-benar tidak tau malu. Ada Regina di antara mereka.
Regina memalingkan wajahnya, ia jelas tau maksud ucapan sang atasan.
“Kenapa? Kalian berdua sudah cukup umur, bukan anak kemarin sore.” Pak Antony pun meninggalkan ruangan yang kini resmi di tempati oleh putranya.
Melihat pak Antony yang sudah semakin jauh. Regina pun ikut berjalan menuju pintu. Namun baru dua langkah, tangan wanita itu sudah di tarik oleh William.
Pria itu menjatuhkan diri kembali ke atas sofa yang tadi ia duduki bersama sang papa. Dan membawa tubuh Regina di atas pangkuannya.
“Mau kemana?” Tanyanya sembari mengambil tangan wanita itu, kemudian mengalungkan pada lehernya.
“Mau ke depan, ke meja ku. Pekerjaan masih banyak.”
“Nanti saja. Temani aku disini dulu. Ini masih asing bagiku.” Tatapan William tertuju pada manik mata indah milik Regina. Membuat wanita itu salah tingkah. Sehingga memalingkan wajahnya.
“Kita tidak sedekat itu, Will.”
“Kita bahkan sudah melewati batas kedekatan, Gi.” William mendekatkan wajahnya pada wajah Regina. Sungguh ia ingin menyesap bibir tipis itu.
Regina berpaling, sehingga membuat ciuman William jatuh di pipinya.
“Gi.. ayolah..” pria itu memelas. Berharap Regina memenuhi dahaganya.
Menghela nafasnya pelan. Regina akhirnya menuruti keinginan atasan barunya.
Wanita itu menangkup kedua pipi William. Kemudian menyatukan bibir mereka. Sentuhan bibir yang awalnya lembut, semakin lama semakin menuntut. Membuat suasana seketika memanas.
Tangan nakal William pun tak tinggal diam. Perlahan naik, mengusap lembut punggung sekretarisnya. Semakin lama tangan itu berpindah ke depan.
Entah sejak kapan, Regina yang tadinya duduk menyamping di atas pangkuan William, kini berubah posisi menjadi menghadap pria itu. Dengan posisi kaki yang berada di kanan dan kiri pria itu.
“Sudah. Hhh.” Nafas Regina tersengal. Dadanya naik turun. Seperti habis lari maraton.
“Kurang.” Pria itu kembali menyatukan bibir mereka.
“Will.. Mmhhh. Sudah.” Regina berusaha melepaskan diri, ia merasakan sesuatu telah memberontak di bawahnya.
William mendekap tubuh gadis itu. Mengusap punggungnya dengan lembut. Dadanya juga ikut naik turun. Belum pernah ia segila ini.
“Jangan bergerak. Atau kamu tidak akan selamat.” Suara pria itu terdengar serak. Sesuatu dalam dirinya telah bangkit tanpa di minta. Sungguh, Regina mampu memberikan sengatan yang sangat besar kepada dirinya.
Sebelumnya sekeras apapun para wanita bayaran yang ia sewa memberi sentuhan, benda keramat yang ia sebut boy itu sangat susah untuk berdiri kokoh. Paling hanya berdiri setengah. Membuat William cepat merasa bosan. Karena itu ia tidak pernah sampai bergelut dengan wanita-wanita yang ia bayar. Hanya jasa mulut. Begitu pria itu sering menyebutnya.
“Aku mau kembali ke depan.” Ucap Regina dalam dekapan William.
“Sebentar saja, Gi. Boy masih bangun.”
“Boy?” Regina mengernyitkan alisnya. Ia pandangi sejenak wajah pria tampan itu.
“Hmm.” William mengangguk, dengan matanya ia menunjuk ke tempat dimana boy bersemayam.
Regina ikut melihat ke arah pandangan atasan barunya itu, seketika pipi wanita itu memanas, bayangan tentang boy yang di maksud William pun terlintas di benaknya.
Tanpa sadar, wanita itu menggigit bibir bawahnya. Hal itu membuat William tidak tahan, kemudian menyatukan bibir mereka lagi.
Regina terhanyut, hampir saja tenggelam dalam rasa yang memabukkan. Namun sesaat kemudian, ia kembali tersadar ke permukaan.
“Will. Mmhh.”
“Sebentar.”
“Ruangan ini ada CCTV nya.” Ucapan Regina menyadarkan William. Pria itu lantas melepaskan Regina.
“Gi, kenapa tidak katakan dari awal?” Jantung pria itu kembali bergemuruh. Senakal-nakalnya dia, namun masih memiliki rasa malu, jika sampai orang lain melihat kenakalannya.
Regina segera bangkit dan duduk bersandar di samping William. Wanita itu menetralkan degup jantungnya yang juga bergemuruh kencang.
Sejenak kemudian, Regina tertawa keras. Namun langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Kenapa tertawa? Kamu membohongiku?” William mendelik ke arah wanita yang sekarang menjadi sekretarisnya itu.
Kepala Regina menggeleng. Ia kemudian menegakkan posisi duduknya. Masih dengan dada yang sedikit naik turun.
Tangannya terulur meraba wajah tampan pria di hadapannya, ia akui William lebih tampan daripada Alvino.
“Di ruangan ini memang ada CCTV nya. Itu—Regina menunjuk letak kamera pengawas yang tepat mengarah pada sofa.
Kemudian menunjuk beberapa titik lainnya. William menelan ludahnya kasar. Sudah di pastikan orang yang bertugas di bagian CCTV, kepanasan melihat kejadian yang baru ia lakukan dengan Regina.
Regina mendekatkan wajahnya ke arah wajah William. Pria itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas yang sangat lembut menerpa kulit pipinya.
“Di ruangan ini memang banyak terpasang CCTV nya. Tetapi—.” Ia menjeda ucapannya. Kemudian berbisik di telinga William.
“Tetapi sambungannya ada pada laptop yang aku bawa.” Dan Regina meniup telinga William, membuat pria itu meremang sekaligus membulatkan matanya sempurna. Ia telah di tipu wanita itu.
Sejurus kemudian, wanita berusia 28 tahun itu mengambil langkah seribu meninggalkan ruangan sang atasan.
“Putri Regina Prayoga, awas kamu!!”
William menyeringai, ia akan membalas wanita itu dengan lebih kejam nantinya.
“Awas saja kamu Regina. Aku pastikan pertempuran kita berikutnya, kamu akan terkulai lemas tak berdaya.”
.
.
.
.
Bersambung