NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:623
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Pertama di Medan Perang

“Eh,” bisik seorang dayang yang baringnya tak jauh dari ranjang pojok, “besok subuh jam ayam ketiga sudah harus bangun. Jangan sampai telat, nanti dicatat.”

Yu Zhen menoleh sedikit. “Untuk apa?”

“Pembagian tugas,” jawab gadis itu, menopang dagu di atas bantal tipisnya. “Pengawas bakal keliling langsung. Semua harus kumpul di halaman barak.”

Yu Zhen mengangguk kecil. “Setiap hari seperti itu?”

“Nggak juga. Tapi besok agak penting. Sudah dua bulan ini belum ada penempatan tetap. Kita semua masih acak tugas. Masih dianggap tahap awal.”

“Termasuk yang masuk duluan?”

“Termasuk Shuang Mei,” jawabnya pelan. “Dia memang lebih dulu datang, tapi tetap belum dapat posisi tetap. Tapi ya... karena dia cepat akrab sama pengawas, banyak juga yang dengar omongannya.”

Yu Zhen tidak menjawab. Hanya mendengarkan sambil menarik selimutnya sedikit lebih rapat.

“Aku Qin’er, ya,” lanjut gadis itu. “Kalau kamu… Yu Zhen, kan? Namamu tadi disebut waktu pendaftaran.”

Yu Zhen mengangguk. “Iya.”

Qin’er tersenyum kecil, meski samar karena pencahayaan. “Nanti kalau kamu bingung, tinggal tanya aku aja. Di barak ini... banyak yang senyum manis, tapi nggak semua mau bantu.”

Yu Zhen menoleh perlahan. Tatapan matanya tidak curiga, hanya datar dan jernih. Ia mengangguk pelan, tanda mengerti.

“Besok pasti melelahkan,” gumam Qin’er. “Tapi... ya beginilah hari-hari kita mulai.”

Suara-suara di tengah ruangan mulai mereda. Satu per satu lampu minyak ditiup perlahan, menyisakan cahaya redup dari sudut terjauh. Angin dari celah jendela menyusup pelan, membawa bau kayu basah dan debu tipis khas bangunan tua yang terlalu bersih untuk jujur.

Malam itu, Yu Zhen hanya berbaring diam.

Bukan tidur… hanya memejamkan mata sambil mendengarkan napas orang lain dan bunyi waktu yang merayap pelan di dinding-dinding istana.

Ia tahu, besok pagi bukan sekadar hari pertama bekerja.

Tapi mungkin—langkah pertama menuju medan yang lebih besar dari dirinya.

Fajar belum benar-benar menyingsing ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong depan. Lalu… suara ketukan keras pada pintu utama barak.

“Bangun! Semuanya bangun!” teriak suara dari luar. “Jam ayam ketiga sudah lewat!”

Terdengar erangan panjang dari berbagai sisi ruangan.

“Astaga… aku baru merem…” gumam salah satu dayang dari ranjang tengah, menyelimuti wajahnya dengan bantal.

“Eh! Jangan ketiduran lagi! Nanti namamu dicatat!” bisik tajam dari ranjang atasnya, sambil menyikut kaki si pemalas.

Di dekat dinding barat, suara kain tergesek cepat terdengar. Seseorang menabrak tiang ranjang sambil menyambar ikat pinggang dari gantungan bambu.

“Aduh! Siapa naruh sepatu di tengah jalan!” omel pelan yang lain, nyaris jatuh karena kesandung.

Qin’er bangun lebih tenang. Ia duduk di atas tikar, membenarkan sanggul kasarnya sambil menoleh ke arah Yu Zhen.

“Zhen? Sudah bangun?” bisiknya pelan.

Yu Zhen sudah duduk tegak di ranjang. Rambutnya belum ditata, tapi wajahnya sudah bersih, dan matanya tidak menunjukkan kantuk sama sekali.

“Iya,” jawabnya pendek.

Qin’er tersenyum kecil, lalu bangkit mengambil seragam kerja—kain abu pucat dengan pinggiran biru kelabu yang seragam untuk semua dayang.

Sementara itu, di sisi lain, satu dayang sibuk menekan wajahnya dengan tangan.

“Duh... bekas bantalnya masih nempel di pipi... kelihatan nggak?”

Yang lain menatapnya datar. “Kau kira kita ini mau tampil di hadapan kaisar?”

“Siapa tahu! Siapa tahu nanti dikirim ke dapur selir Xuan! Katanya pengawasnya perfeksionis!”

Yu Zhen berdiri, membuka buntalan kecil berisi sabun kayu dan sisir. Tangannya cekatan. Ia tidak terlihat terburu-buru, tapi jelas tidak ingin ketinggalan.

“Kalau kamu butuh bantu ngancingin belakangnya, sini,” tawar Qin’er sambil mengenakan sabuk kainnya.

Yu Zhen mengangguk, membalikkan badan.

“Seragam dayang ini selalu sempit di bagian punggung,” gumam Qin’er sambil memasangkan kancing terakhir. “Nggak tahu siapa yang desain.”

“Supaya nggak kabur cepat kali,” sahut salah satu yang mendengar, setengah bercanda.

“Pintunya aja dijaga tiga lapis. Siapa yang bisa kabur?”

“Makanya jangan telat, daripada ‘kabur’ ke halaman hukum.”

Beberapa tertawa kecil. Pelan, tertahan. Tapi cukup untuk menghangatkan ruangan yang semula hanya berisi desahan malas dan suara air di baskom.

Akhirnya, satu per satu, mereka keluar dari barak—berderet rapi, berjalan cepat namun sunyi, hanya terdengar suara kain yang bergesekan dengan sandal kayu.

Langit masih berwarna kelabu tua. Embun belum turun, tapi udara pagi membawa dingin yang menggigit. Di halaman barak barat, puluhan dayang sudah berdiri membentuk formasi memanjang, menunggu aba-aba dari pengawas.

Yu Zhen berdiri di barisan belakang. Qin’er di sampingnya.

Suasana mendadak menjadi tegang saat sosok pengawas muncul dari balik gerbang kayu.

Kaki mereka berhenti serempak.

Wajah Yu Zhen tampak tetap tenang, tidak terlihat cemas. Tapi di balik semua itu, hatinya belum benar-benar bisa menerima dunia barunya ini.

Tempat ini dingin. Bukan karena suhu pagi, tapi karena atmosfernya terasa… tajam. Sunyi seperti tebing tinggi—siapa pun bisa jatuh sewaktu-waktu.

Langkah-langkah dari arah barat terdengar. Suara sandal resmi menghantam batu bata dengan irama lambat dan mantap. Pengawas dayang utama muncul, diikuti dua pelayan dan seorang pengawal bertubuh besar.

Suasana mendadak membeku.

“Su Ping,” panggil pengawas dengan nada yang tak menyisakan ruang keraguan.

Di barisan tengah, seorang gadis gemetar melangkah maju. Wajahnya masih belum sepenuhnya sadar dari kantuk, matanya sembab, rambutnya sedikit miring dari sanggul.

“Hamba…”

“Baru seminggu bertugas, sudah membuat pelayan dapur menunggu setengah jam?”

“Hamba hanya... saat itu ada tugas dari—”

“Diam.” Suara pengawas tak naik satu oktaf pun, tapi mampu mematikan semua suara lain.

Yu Zhen menatap ke depan. Tidak berekspresi. Tapi di dalam, hatinya seperti ikut tercekat.

Su Ping terlihat terlalu muda. Masih tampak seperti gadis desa yang belum sempat belajar menyembunyikan rasa panik.

“Hukuman: tiga puluh kali menyikat tangga belakang istana utama. Dan tugas luar ruangan selama seminggu. Mulai hari ini.”

Su Ping membungkuk dalam-dalam. Tidak menangis, tapi tubuhnya gemetar.

Sebelah kanan Yu Zhen, Qin’er berbisik, “Itu hanya karena telat antar bahan dapur. Beneran cuma telat…”

Yu Zhen tak menjawab. Matanya menatap lurus, tapi jantungnya menegang. Ia tidak kenal Su Ping, tapi melihatnya berdiri seperti itu—sendirian, gemetar, dicatat namanya di depan semua orang—ada sesuatu di dalam dirinya yang berdenyut.

Ia pernah merasa begitu. Saat keluarganya dihina karena miskin. Saat ibunya dicibir karena terlalu lembut. Saat ayahnya dicap bodoh karena terlalu jujur.

Ia tahu betul: rasa malu tak bersuara itu... bisa mengguncang siapa pun.

Namun ia tidak boleh menunjukkan simpati. Bukan di tempat ini secara langsung.

Kalau ia memeluk yang luka, maka ia pun akan ditarik masuk.

Dan ia belum siap jatuh.

Suara daftar tugas mulai dibacakan. Satu demi satu nama disebut. Yu Zhen mendengarkan, tapi tidak menyimak. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri. Menegakkan pertahanannya kembali. Menyembunyikan kelembutan yang nyaris retak barusan.

Lalu namanya disebut.

“Yu Zhen, jalur luar kandang kuda. Dari gerbang timur sampai pagar belakang.”

Ia melangkah ke depan. “Baik.”

Tidak ada keraguan di suaranya. Tidak ada perubahan pada wajahnya.

Namun di belakang sana, Qin’er nyaris membelalak.

“Kandang kuda… di hari pertama? Untuk orang sekurus dia?”

Yu Zhen mendengarnya. Tapi ia tidak menoleh. Wajahnya tetap datar. Kalau pun itu bentuk ketidakadilan, ia tak akan langsung mengeluh.

Tapi seseorang di barisan tengah justru tersenyum tipis. Shuang Mei—dengan tangan terlipat rapi di depan perut dan dagu sedikit miring ke kiri.

Senyumnya tampak manis.

Tapi bukan senyum orang yang terkejut.

Melainkan… senyum orang yang menunggu hasil.

1
Arix Zhufa
semangat thor
Arix Zhufa
saya mmpir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!