menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11. calon mama untuk Aldo
Hari Minggu pagi, matahari bersinar lembut melalui jendela kamar, membangunkan Aldo dari tidurnya yang nyenyak. Cahaya matahari yang hangat dan lembut itu membangkitkan kesadaran Aldo, membuatnya terbangun dari tidurnya yang dalam.
Aldo masih duduk dipinggiran tempat tidur, mengusap mata yang masih terasa ngantuk. Tiba-tiba saja, teringat dengan Karina, wanita yang selalu dipanggil dengan sebutan mama. Wajah Karina yang manis dan lembut itu terbayang di benak Aldo, membuatnya merasa rindu dan ingin bertemu dengannya lagi.
Sudah terhitung satu minggu berlalu, setelah pertemuannya dengan Karina. Kini Aldo ingin sekali rasanya, menemui Karina lagi. Ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya, jika tidak bertemu dengan Karina.
Ceklek, suara pintu kamar terbuka, membuat Aldo tersadar dari lamunannya. Ia memandang ke arah pintu, melihat siapa yang membuka pintu kamarnya dan ternyata Oma-nya.
"Aldo, sudah bangun sayang?" tanya Lusi dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
Aldo menoleh ke arah Lusi, memandang wajahnya yang manis dan tersenyum. "Sudah, Oma. Aku sudah bangun, kok," jawabnya dengan nada yang ceria.
Lusi tersenyum dan mengangguk dengan lembut. "Yasudah, kalau begitu sekarang, Aldo, mandi ya. katanya papa mau ajak Aldo jalan-jalan," ucapnya dengan nada yang menggembirakan.
Aldo memandang Lusi dengan mata yang berbinar-binar. "Oma, aku pengen ketemu sama mama Karina," katanya dengan nada yang penuh harapan.
Lusi tersenyum dan mengusap rambut Aldo dengan lembut. "Nanti ya! Aldo, tanya sendiri sama papa," jawabnya dengan nada yang bijak.
Aldo mengangguk dengan lembut. "Iya, Oma. Kalau begitu, aku mandi dulu Oma."
Lusi tersenyum dan mengangguk dengan lembut. "Iya, sayang. Setelah itu, turun ke bawah ya! Kita sarapan," ucapnya.
Lusi pun turun duluan ke bawah, menemui Andrew yang sudah berada di meja makan terlebih dahulu. Ia memandang Andrew dengan mata yang sedikit khawatir.
"Ndrew..." panggil Lusi dengan nada yang lembut.
Andrew menoleh ke arah Lusi, memandang wajahnya yang khawatir. "Iya, Ma," jawabnya dengan nada yang santai.
"Sepertinya, Aldo ingin bertemu dengan Karina," kata Lusi dengan nada yang sedikit khawatir.
Andrew memandang Lusi dengan mata yang serius. "Ma, sepertinya Aldo tidak perlu bertemu dengan wanita itu lagi. Aku takut kalau sampai Aldo ketergantungan dengan Karina, Ma," katanya dengan nada yang sedikit keras.
"Tapi, Ndrew..."
Lusi ingin melanjutkan percakapan, namun Andrew memotongnya. "Ma, Aldo itu anakku. Jadi, aku tahu mana yang baik dan buruk untuk anakku," sahut Andrew dengan nada yang tegas.
Lusi menghela napas panjang, memandang ke depan dengan mata yang sedikit khawatir. Ia membenarkan ucapan anaknya, Andrew, namun di sisi lain, ia juga merasa kasihan sama cucunya, Aldo.
Tak lama kemudian, Aldo sudah turun ke bawah, bergabung di meja makan bersama Papa dan Oma-nya. Lusi tersenyum dan mengucapkan, "Aldo, sini sayang! Kita sarapan dulu," dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
Aldo pun mendekat dan duduk di kursi yang biasa ditempatinya, memandang Lusi dengan mata yang ceria. Dengan cekatan, Lusi segera mengambilkan nasi dan lauknya untuk cucu tersayangnya.
"Aldo, makan yang banyak ya!" Lusi mengucapkan dengan nada yang lembut, sambil memandang Aldo dengan mata yang penuh kasih sayang.
Aldo mengangguk dengan ceria, memulai sarapannya dengan lahap. Meja makan dipenuhi dengan berbagai hidangan sarapan pagi yang menggugah selera, seperti roti tawar, nasi goreng, telur ceplok, dan sosis goreng.
Semua orang duduk bersama, menikmati sarapan pagi dengan suasana yang hangat dan nyaman.
"Aldo, cepat habiskan makananmu, ya! Setelah itu, kita akan jalan-jalan bersama," kata Andrew dengan nada yang menggembirakan.
Aldo mengangguk dengan ceria, namun kemudian ia mengucapkan sesuatu yang tidak diharapkan oleh Andrew. "Pa, aku kepengen ke rumah Mama Karina."
Andrew meletakkan sendok dan garpu-nya di atas piring, memandang Aldo dengan mata yang sedikit kesal. "Aldo, tante Karina itu bukan mama kamu! Lupakan Tante Karina itu. Kita, akan jalan-jalan berdua hari ini," katanya dengan nada yang sedikit keras.
"Tapi, pa..."
Aldo ingin melanjutkan percakapan, namun Andrew memotongnya. "Tidak ada tapi-tapian! Sudah habiskan sarapanmu, segera!" bentak Andrew dengan nada yang lebih keras lagi.
Aldo pun menundukkan wajahnya, mendengar bentakan dari papanya. Kedua mata Aldo berkaca-kaca, dan ia merasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan Karina. Suasana yang awalnya hangat dan nyaman, kini berubah menjadi tegang dan tidak nyaman.
"Ndrew, jangan terlalu keras dengan Aldo!" Lusi berusaha mengingatkan Andrew dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
Andrew memandang Lusi dengan mata yang sedikit kesal, namun tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, seolah-olah mengabaikan permintaan Lusi.
Lusi pun terdiam, tak bisa mengubah keputusan Andrew. Ia tahu bahwa Andrew adalah orang yang keras kepala, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, termasuk anaknya sendiri. Lusi merasa sedih dan khawatir tentang bagaimana Andrew memperlakukan Aldo dengan keras.
****
Selesai sarapan, Andrew langsung mengajak Aldo pergi menggunakan mobil. Ia menyetir mobilnya sendiri, sambil mencoba memecahkan kesenyapan yang tercipta setelah pertengkaran di meja makan.
"Aldo, jangan marah sama Papa ya! Papa bicara seperti itu tadi supaya kamu sadar kalau Tante Karina itu bukan mama kamu," kata Andrew dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang, berusaha memperbaiki suasana hati Aldo.
Namun, Aldo tak menjawab, memilih diam dan menatap ke arah luar melalui kaca mobil. Ia terlihat sedih dan kecewa, tidak mau berbicara dengan Andrew.
Melihat anaknya tidak merespon, Andrew mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Ia berusaha mencari cara untuk memecahkan kesenyapan dan membuat Aldo tersenyum kembali.
"Kalau kamu ingin punya mama, Papa akan mencarikannya. Tapi bukan Tante Karina orangnya," kata Andrew dengan nada yang lembut dan penuh harapan, berusaha mengubah keinginan Aldo.
Namun, Aldo tetap tidak mau berubah. "Aku maunya Mama Karina, Pa!" katanya dengan nada yang keras dan tidak mau kompromi.
Andrew menghela napas panjang, merasa sulit mengatasi keras kepala anaknya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa keras kepala Aldo itu sebenarnya menurun dari dirinya sendiri.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang sibuk. Cahaya matahari yang lembut memantulkan kilauan pada kaca mobil, membuat suasana menjadi indah dan cerah. Suara mesin mobil berdengung dengan stabil, menambah kesan kecepatan dan kekuatan yang terkendali.
Tak terasa, mobil yang Andrew kendarai kini telah sampai di parkiran salah satu mall yang besar dan mewah. Andrew mematikan mesin mobil dan memandang Aldo dengan harapan bahwa anaknya akan melupakan keinginannya untuk bertemu dengan Mama Karina.
""Ayo, kita turun!" Andrew mengajak Aldo untuk meninggalkan mobil dan memasuki mall.
Dengan malas, Aldo mengikuti perintah papanya, masih terlihat sedih dan tidak bersemangat. Andrew menggenggam erat tangan kanan Aldo, berusaha menenangkan dan menghibur anaknya.
Pasangan anak dan papa itu kini masuk ke dalam mall, menuju ke tempat yang dituju, yaitu Timezone. Suasana di Timezone terlihat cerah dan menyenangkan, dengan berbagai permainan dan hiburan yang menarik.
"Aldo, mau main apa?" tanya Andrew begitu sampai di area Timezone, berharap anaknya akan melupakan kesedihannya dan menikmati hari Minggu bersama.
Namun, diluar dugaan, Aldo justru menggeleng, menolak untuk bermain di Timezone. "Kenapa?" tanya Andrew dengan penasaran.
"Aku sedang tidak ingin bermain, Pa," jawab Aldo dengan nada yang lembut dan tidak bersemangat.
Andrew jongkok di depan anaknya, memandangnya dengan mata yang penuh kasih sayang. "Aldo, ini hari Minggu. Biasanya, kamu selalu minta untuk ditemani papa bermain. Sekarang, Papa sudah ada waktu untuk mengajak Aldo bermain," katanya dengan nada yang persuasif.
Akhirnya, setelah dibujuk dengan berbagai cara, Aldo luluh juga dan mau mencoba permainan yang ada di Timezone. Wajahnya yang tadinya terlihat sedih, kini mulai tersenyum dan menunjukkan tanda-tanda kegembiraan.
Aldo mencoba berbagai permainan yang menarik di Timezone, seperti basketball hoops yang memacu adrenalinnya, pump it up yang membuatnya bergerak lincah, Bowling yang menantang ketepatannya, bumper cars yang membuatnya tertawa, VR games yang membawanya ke dunia virtual, dan terakhir adalah capit boneka yang membuatnya sangat gembira.
Sejenak, Aldo bisa melupakan tentang Karina dan menikmati waktu bersama papanya. Ia terlihat sangat bahagia dan bersemangat, tidak seperti sebelumnya yang terlihat sedih dan tidak bersemangat.
Hampir 2 jam bermain, kini Aldo sudah merasa bosan dan lelah. "Papa, aku sudah capek," katanya dengan nada yang lembut dan tidak bersemangat lagi.
Andrew tersenyum dan mengangguk. "Yasudah, kalau begitu udahan ya, mainnya," katanya dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
Aldo mengangguk, menyetujui keputusan papanya. Andrew mengajak Aldo pergi dari area Timezone, meninggalkan suara-suara permainan dan tawa-tawa anak-anak yang masih bermain.
"Pa, kita mau kemana lagi?" tanya Aldo dengan nada yang penasaran, namun tidak terlalu bersemangat.
Andrew tersenyum dan menjawab, "Papa ada janji dengan seseorang. Kita ke kafe yang ada di samping mall ini dulu, ya!" Ia mengajak Aldo untuk berjalan kaki menuju kafe, karena jarak dari mall ke kafe tidak jauh.
Aldo ikut saja kemana papanya akan pergi, tanpa banyak bertanya. Meskipun sebenarnya Aldo tidak bersemangat, ia tetap mengikuti langkah papanya. Ia berjalan dengan langkah yang pelan, tidak seperti biasanya yang selalu berlari dan bersemangat.
Sinar matahari yang cerah dan hangat memancarkan cahaya di sekitar mereka, namun tidak berhasil menghilangkan kesan bahwa Aldo tidak bersemangat. Aldo terlihat sedih dan tidak berminat.
****
"Andrew..." ucap seseorang yang memanggil sambil melambaikan tangannya dengan senyum yang ramah.
Andrew pun membalas lambaian tangan orang tersebut dengan senyum yang sama, kemudian mengajak Aldo untuk menghampirinya. Mereka berjalan menuju meja tempat orang tersebut duduk, yang terletak di dekat jendela kafe dengan pemandangan yang indah.
"Hay, maaf ya, kalau menunggu lama," ucap Andrew begitu sampai di depan orang yang memanggilnya tadi, dengan nada yang sopan dan menghargai.
"Tidak masalah. Silahkan duduk," jawab orang tersebut dengan senyum yang ramah, mengajak Andrew dan Aldo untuk duduk.
"Mau pesan apa?" tanya orang tersebut.
Andrew melihat-lihat daftar menu yang ada di kafe ini dengan mata yang penasaran. Setelah melihat-lihat, Andrew memutuskan hanya memesan coffee latte untuk dirinya. Sedangkan untuk Aldo, Andrew memesankan es krim rasa strawberry yang pasti disukai oleh anaknya.
Tak lama kemudian, seorang waiter datang dengan membawa pesanan mereka. "Silahkan dinikmati," ucap waiter tersebut dengan senyum yang ramah, kemudian pergi meninggalkan mereka untuk menikmati pesanan.
"Nama kamu pasti Aldo, ya?"
Aldo mengangguk dengan lembut, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya memandang orang tersebut dengan mata yang polos dan tidak bersemangat.
"Halo, Aldo, perkenalkan, nama saya Tante Vania," kata Vania dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang, berusaha membuat Aldo merasa nyaman.
Lagi-lagi Aldo hanya merespon dengan senyuman saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia terlihat sedikit tidak berminat dengan kehadiran Vania.
"Aldo, Tante Vania mau kenalan itu," ucap Andrew dengan nada yang persuasif, berusaha membuat Aldo lebih terbuka dengan Tante Vania.
Namun, lagi dan lagi, Aldo tak menggubris ucapan papanya. Ia terlihat tidak peduli dengan kehadiran Vania.
"Vania, maaf ya. Mungkin, Aldo seperti itu karena belum mengenal kamu saja," ucap Andrew dengan nada yang sopan dan menghargai, merasa tidak enak dengan sikap anaknya.
"Tidak apa-apa kok, Ndrew. Aku yakin, lama-lama Aldo juga bisa akrab sama aku," jawab Vania dengan senyum yang ramah dan penuh keyakinan.
Andrew kini beralih menatap putranya dengan mata yang penuh harapan. "Aldo, boleh Papa bicara denganmu?" tanyanya dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
"Apa yang ingin Papa bicarakan?" jawab Aldo.
Andrew bingung, harus mulai bicara dari mana kepada Aldo. Ia terlihat sedikit gugup dan tidak yakin. Sebelum berkata, Andrew menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan perlahan, berusaha menenangkan dirinya.
"Katanya, kamu ingin segera punya mama, kan?" kata Andrew dengan nada yang lembut dan penuh harapan. "Sekarang, Papa ingin memperkenalkan kamu dengan Tante Vania. Tante Vania ini yang akan menjadi calon mamamu, Aldo."
Aldo terdiam sejenak, mencerna ucapan papanya. Ia terlihat sedikit terkejut dan tidak yakin. Kemudian Aldo pun menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Nggak, Pa! Aku nggak mau Tante Vania menjadi mamaku! Aku cuma mau mama Karina saja. Pokoknya, aku nggak mau!" ucap Aldo dengan suara lantang dan penuh keyakinan, membuat Andrew terkejut dan tidak siap.
"Andrew..." Vania meremas tangan kanan Andrew yang ada di atas meja, dengan ekspresi yang khawatir dan tidak tenang.
Andrew mengelus-elus punggung tangan Vania untuk menenangkannya, dengan gerakan yang lembut. "Tenang ya, Aldo bersikap seperti itu karena syok saja mendengar berita mengejutkan seperti ini."
Namun, Aldo tidak mau mendengarkan. Ia terus memprotes dengan nada yang keras dan tidak mau kompromi. "Pokoknya, aku tidak mau, Pa! Aku cuma mau sama Mama Karina!"
Andrew memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Namun, kemudian ia membuka matanya dan memandang Aldo dengan mata yang keras dan marah. "Aldo, jangan pernah sebut nama Tante Karina lagi!"
Aldo, yang mendapat bentakan dari papanya, seketika membuat kedua matanya berkaca-kaca. Ia terlihat sedih dan takut, tidak berani memandang papanya lagi. Suasana di sekitar mereka menjadi tegang dan tidak nyaman, membuat Vania merasa tidak enak dan khawatir.
"Papa jahat, Papa tidak sayang sama aku," ucap Aldo dengan suara yang terisak dan penuh kesedihan, sebelum berlari pergi dari sana dengan langkah yang cepat dan tidak teratur.
Andrew segera mengejar Aldo dengan wajah yang khawatir dan mata yang penuh kecemasan. Ia berlari dengan cepat, berusaha mengejar Aldo yang sudah semakin jauh.
Sementara itu, Vania juga ikut menyusul Andrew dengan langkah yang cepat, namun sebelumnya, ia harus ke kasir untuk membayar biaya makanan terlebih dahulu. Ia berhenti sejenak di depan kasir, mengeluarkan dompet dan membayar biaya makanan dengan cepat, sebelum melanjutkan pengejaran terhadap Andrew dan Aldo.
****
Aldo terus berlari tanpa arah, dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya dan mengguratkan wajahnya yang polos. Ia berlari dengan langkah yang tidak teratur, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya.
Dibelakangnya, Andrew juga ikut berlari, berusaha mengejar Aldo yang semakin jauh. "Aldo, berhenti!" teriak Andrew dengan suara yang keras dan penuh kecemasan, namun Aldo tidak menghiraukannya.
Aksi kejar-kejaran tersebut menjadi tontonan bagi pengunjung lainnya, yang mulai memperhatikan dan berbisik-bisik. Mereka memandang dengan mata yang penasaran dan sedikit khawatir, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga akhirnya, Aldo tak sengaja menabrak seseorang saat berlari dan terjatuh dengan keras. "Aduh.. Huhuhuhu," tangis Aldo semakin keras, dengan suara tangisan yang terdengar memilukan dan membuat hati menjadi sedih.
"Yaampun, maaf, aku tidak sengaja tadi. Aku... astaga, Aldo," ucap seorang wanita yang terkejut dan khawatir melihat Aldo terjatuh dan menangis.
Aldo memandang wanita tersebut dengan mata yang basah dan berbinar, sebelum menjawab dengan suara yang terisak. "Mama, aku mau ikut sama mama. Aku tidak mau sama papa lagi! Papa tidak sayang aku lagi, Mama. Papa mau nikah sama Tante Vania," katanya dengan nada yang sedih dan penuh kekecewaan.
bersambung..
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu