Apa jadinya ketika seorang mantan Casanova jatuh cinta pada seorang gadis yang polosnya tingkat dewa?
"Kau tahu tidak apa artinya cinta?"
"Tahu,"
"Apa?"
"Kasih sayang dari orangtua pada anak mereka."
Jleebb
Akan bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Mampukah seorang CIO MORIGAN STOLLER menaklukkan hati sang pujaan hati yang terlalu lambat menyadari perasaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 21
Elil dengan patuh membuka mulut saat Cio ingin menyuapinya. Postur tubuh mereka yang jauh berbeda, menjadikan pemandangan seperti seorang ayah yang sedang menunjukkan kasih sayang pada putrinya. Cio terlihat luwes saat menunjukkan rasa pedulinya terhadap Elil. Membuat gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hati.
(Kenapa orang seperti Cio bisa begitu peduli padaku ya? Aku inikan gadis miskin yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia, tapi kenapa dia tak terlihat risih? Apa yang sebenarnya Cio cari dariku?)
"Buka mulutnya, Elil. Kalau mengatup begini bagaimana caranya makanan ini masuk ke sana," tegur Cio saat Elil hanya diam tak bereaksi. Iseng, dia menempelkan ujung sendok ke hidungnya. Setelah itu Cio terkekeh, merasa konyol dengan perbuatannya sendiri.
"Cio?"
"Apa?"
"Kau sedang merencanakan hal buruk padaku ya?" tanya Elil penuh selidik. Dia yakin ada yang pria ini cari dibalik sikapnya yang begitu perhatian.
"Apa kau tidak bisa mengatakan sesuatu yang tidak membuat orang lain terkejut?" Cio mendengus. Dia menekan pipi Elil agar mulutnya terbuka. "Kalau memang aku punya niat buruk padamu, kau pasti sudah tidak ada di dunia ini lagi. Tahu?"
"Lalu apa arti semua ini?"
" .... "
"Aku tidak bodoh ya. Gadis sepertiku, mengapa harus mendapat perhatian yang begitu besar dari orang sepertimu? Kau suka padaku ya?"
Sendok di tangan Cio seketika terlepas begitu mendengar perkataan Elil. Akhirnya gadis ini sadar juga kalau dia menyukainya. Lega sekali. Beban di diri Cio seperti menghilang semua sekarang.
"Aneh,"
"Hah? A-aneh?"
"Iya aneh. Padahal ada banyak sekali gadis di luaran sana yang jauh lebih mapan dariku. Kenapa harus aku yang tertimpa sial karena disukai pria pengangguran seperti dirimu?"
Tiba-tiba petir menyambar dengan hebatnya hingga membuat tubuh Cio kaku di tempat. Sial? Pria dengan seribu keberuntungan seperti dirinya dianggap sebagai pria sial? Tuhan, bisakah kau meminjamkan kutukan untuk memberi pelajaran pada Elil yang ternyata masih tidak peka juga?
(Selama ini aku tidak pernah dipandang sedemikian hina oleh orang lain. Rasanya sungguh mencekik sekali saat semua harta-hartaku tak berarti apa-apa di mata Elil. Harus dengan cara apa aku membuat gadis ini tahu kalau aku menjadi salah satu pemuda terkaya di negara ini? Kata-katanya terlalu menyakitkan. Aku terluka, Tuhan)
"Besok kau pindah bekerja di perusahaanku saja. Aku muak terus dianggap sebagai pria pengangguran," ucap Cio setengah kecewa. Sudah saatnya menunjukkan pada gadis ini siapa dia sebenarnya.
"Maksudnya perusahaan milik Paman Junio ya?" tanya Elil.
"Perusahaanku, Elil. Astaga,"
"Perusahaanmu? Memangnya kau punya?"
"Tentu saja punya. Kalau tidak, darimana aku mendapatkan uang untuk membeli semua ini? Ini, ini, juga ini. Kau pikir Tuhan sebaik itu dengan mengirimkan uang dari langit? Aku punya pekerjaan ya,"
Elil mengerjap-ngerjapkan mata. Ditatapnya lekat sosok pria yang kini sudah berwajah masam. Cio punya perusahaan? Berarti Cio bukan pengangguran. Wahh, sudah salah kira berarti selama ini. Elil jadi tak enak hati.
"Maaf ya. Aku kira selama ini hidupmu ditanggung oleh Paman Junio dan Bibi Patricia. Tak disangka ternyata kau punya perusahaan sendiri. Kalau begitu selamat ya. Sekarang aku tidak akan menganggapmu pengangguran lagi," ucap Elil meminta maaf sambil mencolek kaki Cio. Dia tahu pria ini sedang merajuk.
"Jadi sekarang sudah percaya kalau aku kaya?" Sudut bibir Cio berkedut. Betapa manisnya saat Elil meminta maaf. Ekspresi wajahnya itu lho, membuatnya jadi tak tahan.
"Percaya kok. Hehe,"
"Hei, apa arti tawamu itu? Kenapa kesannya seperti sedang mengejekku?"
Saat suasana mulai asik, ponsel milik Cio berdering. Itu panggilan dari orang kantor. Segera Cio menjawab sambil terus menyuapi Elil makan.
"Harus sekarang ya?"
["Iya, Tuan. Ini darurat. Akan saya usahakan selesai dengan cepat. Kami butuh tanda tangan Anda agar pekerjaan ini bisa segera dibereskan. Sekali lagi saya minta maaf sudah mengganggu jam istirahat Anda. Saya sangat menyesal,"]
"Tak perlu meminta maaf juga. Ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai pemilik perusahaan." Cio mend*sah panjang. Dia menatap Elil lama sebelum lanjut bicara. "Setengah jam lagi aku sudah akan tiba di kantor. Kau persiapkan apa saja yang dibutuhkan."
["Baik, Tuan. Kalau begitu selamat malam,"]
Panggilan terputus. Melihat reaksi Cio yang tidak bersemangat, Elil menebak ada sesuatu hal buruk yang telah terjadi.
"Ada apa?"
"Elil, sepertinya aku harus segera pergi. Terjadi masalah di kantor. Kau tidak apa-apakan kalau ku tinggal sendiri?" ucap Cio tak rela harus pergi meninggalkan Elil sendirian.
"Aku inikan sudah besar. Memangnya kenapa kalau di rumah sendiri? Sejak Ilona pergi kan aku memang tinggal sendiri di sini. Apa yang kau takutkan?" sahut Elil dengan bijak.
"Aku takut ada orang yang ingin menyakitimu,"
"Nanti aku akan berteriak kalau ada orang jahat yang datang menggangguku. Jangan khawatir,"
"Suaramu begitu kecil. Telinga siapa yang mampu mendengar."
"Tuhan dengar kok."
"Haih, ada saja jawabanmu."
Waktu yang terbatas, digunakan oleh Cio untuk membantu Elil menghabiskan makan malam. Setelah itu dia pamit ke perusahaan. Sebelum pergi, Cio memberikan petuah panjang agar gadis ini lebih berhati-hati. Dan juga dia memberikan ponsel baru yang mana hanya ada nomornya di ponsel tersebut.
"Segera hubungi aku kalau kau merasa ada sesuatu yang aneh. Tekan saja angka satu, panggilan akan langsung tersambung ke nomorku. Mengerti?" ucap Cio sembari mengelus puncak kepala Elil.
(Ah, kenapa dramatis sekali. Akukan cuma pergi sebentar, kenapa rasanya seperti akan berpisah jauh?)
"Ponsel ini untukku?" tanya Elil tak terlalu merespon tindakan Cio yang terus mengusap puncak kepalanya. Elil lebih tertarik pada benda pipih berlogo apel yang digigit separuh. Benda ini terlihat cukup mahal.
(Sepertinya Cio memang tidak bohong kalau dia adalah orang kaya. Ponselnya saja keren begini. Wahhh,)
"Sudah waktunya aku pergi. Kau masuklah ke dalam dan kunci pintunya dengan benar. Sekali lagi aku ingatkan, hati-hati!"
"Iya iya. Bawel sekali,"
"Demi keselamatanmu, bodoh."
Setelah berdebat sebentar, Cio akhirnya pergi dari kontrakan Elil. Di saat yang bersamaan dia menerima pesan dari ayahnya kalau malam ini penjaga yang ditugaskan mengawasi Elil punya pekerjaan lain jadi tidak bisa bertugas.
"Ah sudahlah, Elil pasti baik-baik saja. Lagipula dia juga punya nomorku. Tidak mungkin dia tidak tahu cara menelpon," ucap Cio meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja.
Sementara itu Elil yang sudah kenyang, kini sibuk mengotak-atik ponsel pemberian Cio. Ekspresi takjub yang muncul di wajahnya tak dapat memungkiri betapa dia sangat bahagia memiliki benda tersebut.
"Ternyata menjadi orang kaya sangatlah enak. Mereka bisa sesuka hati memberikan barang mahal pada orang lain. Sungguh beruntung aku punya teman kaya seperti Cio," Elil berdecak kagum.
Tok tok tok
"Eh, Cio kembali lagi? Kenapa ya? Apa ada yang tertinggal?"
Pintu kembali diketuk, memaksa Elil untuk segera membukanya.
Ceklek
"Cio, kenapa kau .... "
***
cio bukan pengangguran 😀
tapi sayang banyak cerita yg belum selesai
Namun meski begitu aku selalu setia dgn karya2 nya....