NovelToon NovelToon
Cintamu Membalut Lukaku

Cintamu Membalut Lukaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: achamout

Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.

Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.

Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 Membeli Perlengkapan Kuliah

Alvano duduk di meja kerjanya, sibuk dengan tumpukan dokumen yang harus diselesaikan. Hari ini, setelah kondisi Aqila membaik, ia akhirnya bisa kembali menjalani aktivitas di kantor. Saat tengah asyik mengetik laporan, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Alvano meraih ponsel itu dan menjawab dengan suara tegas.

"Ya, halo, Pak. Gimana?" tanyanya langsung.

"Begini, Pak Alvano," suara dari seberang terdengar formal. "Semua data Aqila sudah kami proses. Mulai besok, dia sudah bisa memulai perkuliahan di Luminary Mahendra University,"

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak sudah mengurus semuanya untuk saya," ujar Alvano, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia menutup telepon dan menyandarkan tubuh ke kursi, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.

Brakkk...

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuatnya nyaris melompat dari kursi.

"Vanooooo!" Suara teriakan melengking memenuhi ruangan, disusul seorang pria bertubuh tinggi yang langsung berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, tubuh Alvano sudah terjepit dalam pelukan erat.

"Arga, apa-apaan sih lo!" seru Alvano, mencoba melepaskan diri.

Sementara itu, seorang pria lain yang baru masuk, Raka, duduk santai di sofa dekat pintu. Ia hanya tersenyum geli melihat tingkah keduanya.

"Vano, lo kok gitu sih? Nggak seneng banget gue datang? Gue kangen lo, tau!" Arga melepas pelukan sambil pura-pura cemberut.

"Bukan gue nggak senang, tapi cara lo masuk kayak perampok, banting pintu segala!” balas Alvano, nadanya kesal.

"Hehe, maaf, Van. Abis gue udah nggak sabar ketemu lo. Lagi pula, semalam lo juga nggak ikut nongkrong sama gue dan Raka," ujar Arga, nada suaranya penuh keluhan.

"Gue kan udah bilang alasannya ke Raka. Lo nggak tanya dia?" Alvano melirik ke arah Raka, yang hanya mengangguk malas sambil memainkan ponselnya.

"Udah, gue kasih tahu. Tapi, nih bocah emang suka drama," sahut Raka dengan nada acuh.

Arga mengabaikan komentar Raka dan menatap Alvano dengan serius. "Tapi serius, Van. Lo beneran udah nikah? Gue masih nggak percaya!"

"Iya, gue udah nikah," jawab Alvano singkat, kembali fokus pada laptopnya.

"Gila! Keren banget sih lo, Van. Lo nggak pernah dekat sama cewek, tiba-tiba langsung nikah. Gue salut banget! Si Raka aja pacaran bertahun-tahun malah belum nikah-nikah." Arga tertawa lebar, membuat Raka mendelik.

"Eh, jangan sembarang lo!" protes Raka. "Cewek gue aja yang nggak mau buru-buru nikah, soalnya dia masih sibuk urusin hotelnya. Lagi pula, gue masih mending punya pacar, dari pada Lo? Jomblo!" ledek Raka.

"Ye, jangan ngeremehin gue, dong. Asal lo tau, waktu gue di Amerika, banyak cewek yang antri buat gue!" balas Arga, nadanya penuh percaya diri.

"Di Amerika, iya. Tapi di Jakarta? Ada nggak?" Raka meledek tanpa ampun.

Alvano yang mendengar perdebatan mereka hanya bisa menggelengkan kepala. "Kalian ini, kalau ketemu pasti ribut mulu. Tapi giliran pisah saling nanyain satu sama lain,"

" Idih gue sih nggak pernah nanyain dia," ucap Raka cuek.

"Gue juga nggak pernah nanyain lo kali!" balas Arga cepat.

"Udah, udah! Kalau kalian masih mau ribut, mending keluar aja dari ruangan gue. Kerjaan gue masih banyak," kata Alvano tegas.

"Yah, Van. Baru juga kita ketemu, masa lo udah usir gue aja," keluh Arga cemberut.

"Makanya, jangan ribut terus, Kalau nggak mau gue usir. Diam!"

"Iya, deh, gue diem. Tapi gue ke sini ada perlu, Van. Gue mau minta kerjaan. Masa gue di Jakarta nganggur terus? Bisa mati kelaparan gue."

"Kerjaan? Bukannya lo di Amerika kerja sama om lo?" tanya Alvano, mengangkat alis.

"Gue nggak mau kerja disana lagi Van," ujar Arga dengan wajah betenya.

"Loh kenapa?" Tanya Alvano dengan kening berkerut.

"Ya, karena gue capek," ujar Arga, duduk di kursi depan meja kerja Alvano. "Diatur-atur terus sama om gue. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Gue ngerasa kayak burung dalam sangkar, Van. Nggak bebas." Keluh Arga dengan wajah kesalnya.

"Ya wajar, Ga. Namanya juga orang tua, pasti gitu. Om lo cuma ingin yang terbaik buat lo," balas Alvano sambil tetap mengetik di laptopnya.

"Bener tuh," sahut Raka dari sofa dekat pintu, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Lagi pula, gue yakin lo pasti suka main cewek di sana, makanya diatur."

Arga langsung menatap Raka dengan tajam. "Lo diem, Ka. Jangan sok tahu!"

"Ya kan emang gitu," balas Raka santai, masih asyik dengan ponselnya.

"Lo, ya Ka, bener-bener bikin gue kesal," gerutu Arga.

Raka tertawa kecil. "Yaudah, kalau gitu nanti lo pulang sendiri aja. Jangan nebeng mobil gue!"

Mendengar itu, Arga langsung bungkam. Wajahnya berubah cemberut. "Yah, lo kok gitu, sih, Ka? Mentang-mentang gue lagi miskin-miskinnya dan pengangguran gini, lo nggak mau ngasih gue tumpangan,"

"Makanya, jangan bikin gue marah," ujar Raka sambil melirik Arga sekilas.

"Udah, kalian jangan ribut terus!" Alvano akhirnya angkat bicara. Ia menarik napas dalam dan menghentikan pekerjaannya. Menatap Arga, ia berkata, "Ga, gue nggak tahu harus kasih lo pekerjaan apa di sini. Semua posisi di kantor udah penuh."

"Yah, Vano, kok lo gitu sih? Lo kan bos di sini. Masa nolong temen sendiri aja nggak bisa?" Arga memasang ekspresi memelas, berusaha meraih simpati.

Alvano terdiam sejenak, berpikir. Tiba-tiba senyum kecil terukir di wajahnya. "Gimana kalau lo jadi asisten pribadi gue?"

"Asisten pribadi?" Arga mengernyit heran.

"Iya, Ga. Gue bakal sibuk banget ke depannya. Selain kerjaan kantor, gue juga bakal sering ke kampus buat ngajar. Jadi gue butuh seseorang buat bantuin urusan kantor."

"Loh, bukannya lo cuma ngajar dua kelas aja, Van? Selain itu kan lo cuma dua kali ke kampus," sela Raka dengan dahi berkerut.

Alvano tersenyum. "Iya, tapi mulai besok gue bakal lebih sering ke kampus. Gue juga mau nambah jadwal ngajar buat mahasiswa baru tahun ini."

Raka semakin heran. "Tumben banget lo mau nambah jadwal. Biasanya lo paling ogah, kan? Pengen fokus ke kantor, katanya."

Alvano tertawa kecil. "Ya, itu kan dulu. Sekarang beda, Ka. Istri gue mau masuk kuliah, jadi gue pilih lebih sering di kampus buat jagain dia."

Raka langsung menggeleng-gelengkan kepala, nyaris tak percaya. "Yee, dasar bucin lo."

Arga tertawa terbahak. "Hahaha! Bener ternyata yang lo bilang semalam, Ka. Vano emang bucin berat sama istrinya! Sampe rela nambah jadwal ngajar cuma buat tetap dekat sama istrinya. Eh, tapi gue jadi penasaran, istri lo secantik apa, sih, Van? sampai bikin lo sebucin ini?" Tanya Arga dengan wajah penasaran.

Alvano hanya tersenyum bangga. " Lo tunggu aja. Nanti lo bakal lihat sendiri, istri gue secantik dan seanggun apa."

Raka hanya memutar bola matanya malas sambil bergumam, "Parah, lo, Van. Ini sih level bucin akut."

🌸🌸🌸🌸🌸

Alvano baru saja tiba di rumah. Ia melepas jasnya dan memanggil-manggil Aqila. Suaranya menderu di seluruh penjuru rumah.

 "Qila!" Soraknya, namun, tak ada jawaban.

"Qila?" ulangnya, suaranya sedikit lebih keras. Ia melangkah ke kamar, berharap menemukan istrinya di sana. Tapi kamar itu kosong.

"Dia ke mana?" gumam Alvano, mulai merasa khawatir.

Ia memutuskan memeriksa seluruh sudut rumah, dari ruang tamu hingga dapur, namun Aqila tetap tak terlihat. Hati Alvano mulai terasa tak tenang. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Jangan-jangan..." pikirannya tiba-tiba teringat sesuatu. Ada satu tempat yang belum diperiksanya, yaitu taman belakang.

Dengan langkah cepat, ia menuju taman belakang. Dan benar saja, di sana ia melihat Aqila sedang duduk di tepi kolam ikan, asyik mencelupkan jari-jarinya ke dalam air, tersenyum sendiri menikmati suasana.

"Qila," panggil Alvano lega, suaranya hangat sekaligus menenangkan.

Aqila menoleh dengan senyum manis yang langsung menghapus kegelisahan suaminya. "Mas Vano!" serunya girang, wajahnya berbinar.

Alvano menghampiri istrinya dan duduk di sampingnya. "Kamu ngapain di sini, Qila?" tanyanya lembut.

"Nggak ngapa-ngapain, Mas. Aku cuma duduk aja di sini, ngeliatin ikan. Bosan di rumah," jawab Aqila santai sambil terus mencipratkan air dengan ujung jarinya.

Alvano tersenyum hangat, matanya memandang Aqila penuh kasih. "Tapi mulai besok, kamu nggak bakal bosan lagi."

Aqila mengernyit penasaran. "Kenapa, Mas?"

"Karena aku bawa kabar bahagia buat kamu, besok kamu sudah bisa kuliah," ucap Alvano penuh semangat.

Aqila tertegun, matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka. "Yang bener, Mas?"

Alvano mengangguk mantap. "Iya, Sayang. besok kamu resmi jadi mahasiswa."

Raut bahagia langsung menyelimuti wajah Aqila. "Kok bisa secepat itu, Mas? Bukannya baru kemarin kita bahas ini?"

Alvano tertawa kecil, matanya berbinar penuh rasa bangga. " Ya iya lah cepat, siapa dulu dong suami kamu? Alvano," candanya dengan bangga.

Aqila terkekeh, Ia sangat bersyukur.

"Makasih ya, Mas. Karena Mas, aku bisa kuliah. Aku bersyukur banget."

Alvano mengusap puncak kepala Aqila dengan sayang. "Sama-sama, Sayang. Aku bakal selalu usahain yang terbaik buat kamu."

Aqila tersenyum, matanya berbinar penuh rasa bahagia. "Aku nggak tahu gimana cara balas kebaikan Mas. Tapi aku janji, aku bakal sungguh-sungguh."

"Itu aja udah cukup buat aku, Qila. Yang penting kamu bahagia," jawab Alvano lembut, Aqila tersenyum senang mendengarnya.

"Oh iya, Qila, sekarang kamu ikut aku, yuk!" ajak Alvano tiba-tiba sambil meraih tangan Aqila.

"Kemana, Mas?" tanya Aqila sambil memiringkan kepala, penasaran.

"Ke mall. Kita beli perlengkapan kuliah kamu. Mas nggak mau besok kamu kekurangan apa pun." ujar Alvano tersenyum hangat.

Aqila tersenyum kecil sambil mengangguk. "Iya, Mas. Tapi jangan terlalu banyak ya, aku nggak mau kamu boros."

Alvano tertawa pelan, lalu menyentuh ujung hidung Aqila dengan jarinya. "Udah, kamu tenang aja. Semuanya buat kebutuhan kamu, bukan boros."

Mereka pun berangkat ke mall. Saat sampai, keduanya mulai menyusuri deretan toko. Alvano tampak antusias memilihkan segala kebutuhan kuliah Aqila, mulai dari tas, sepatu, buku, hingga alat tulis.

Saat berada di toko baju, Aqila melihat-lihat dress sederhana yang menurutnya cocok untuk kuliah. Alvano juga ikut memilih kan. Pandangan Alvano tiba-tiba jatuh pada sebuah dress panjang berwarna biru muda yang terlihat anggun di rak.

"Qila, coba lihat ini deh,"kata Alvano sambil mengambil dress itu. Dia lalu mencocokkan dress itu di depan tubuh Aqila. "Kayaknya ini bakal kelihatan bagus banget kalau kamu pakai."

Aqila tersenyum kecil sambil melihat dress yang dipilihkan Alvano. "Mas, ini dress-nya terlalu bagus. Lebih cocok buat pergi acara formal, bukan buat kuliah."

Alvano menggeleng tegas. "Nggak kok. Mas sering lihat mahasiswa pakai dress model seperti ini di kampus. Lagi pula, kamu bakal kelihatan cantik banget pakai ini."

Aqila mulai memperhatikan dress yang dipegang Alvano, ia melirik label harga dan langsung terkejut. "Mas, dress ini mahal banget. Harganya 500 ribu! Aku nggak mau kamu beli dress semahal ini,"

Alvano tersenyum tenang. "Terus apa salahnya? Kalau kamu suka, aku bakal beliin. Kamu nggak perlu khawatir soal harga."

Namun Aqila tetap menggeleng sambil meletakkan dress itu kembali ke rak. "Mas, aku tahu Mas mampu beli ini, tapi aku nggak mau kita boros. Aku nggak mau pakai sesuatu yang terlalu mewah untuk kuliah."

Tapi Alvano kembali mengambil dress itu. Dia menatap Aqila dengan ekspresi serius. "Qila, Mas suka dress ini. Kita beli ya? aku pengen kamu pakai ini besok. Lagi pula, aku juga punya kemeja warna senada dengan dress ini. Kita pasti kelihatan serasi banget."

Aqila tertawa kecil. "Mas, kita ke kampus lho. Masa harus serasi segala?"

"Kenapa nggak? Kamu nggak kasihan sama Mas? Ini kan cuma keinginan kecil aku," Alvano memasang ekspresi memohon, membuat Aqila tak tega menolak.

"Yaudah iya deh, Mas. Kita beli," jawab Aqila akhirnya.

Alvano tersenyum puas sambil menggenggam tangan Aqila. "Makasih ya, Sayang." Aqila pun tersenyum sambil mengangguk.

Namun tanpa mereka sadari, Areta dan Daniel juga berada di mall yang sama. Saat memilih baju, Areta tak sengaja melihat Alvano dari kejauhan.

"Itu kan Pak Vano? Dia sama siapa?"gumam Areta sambil memperhatikan sosok pria yang sedang berdiri bersama seorang wanita.

Dia memperhatikan lebih detail, tapi karena Aqila membelakangi Areta, dia tidak bisa melihat wajahnya. "Siapa wanita itu? kok dari bentuk tubuhnya, aku kayak kenal ya.. Apa Pacarnya pak Vano? Tapi setahuku Pak Vano nggak punya pacar.. "

Areta mulai melangkah mendekat, tapi langkahnya terhenti ketika Daniel tiba-tiba menghampirinya.

"Udah selesai kan, Sayang? Pilih-pilih bajunya, Sekarang ayo kita bayar, lalu pulang!" ujar Daniel sambil menggenggam tangan Areta.

"Tapi, Daniel..aku masih.." Areta mencoba menolak.

"Kamu mau belanja lagi? Ayolah Areta, Papa nyuruh aku pulang cepat. Kalau nggak, dia bisa marah." Daniel menarik tangan Areta dengan lembut namun tegas.

Areta hanya bisa pasrah mengikuti Daniel, tapi rasa penasarannya belum hilang. "Siapa wanita itu? Aku harus cari tahu," gumam Areta dalam hati sambil menoleh ke arah Alvano sebelum akhirnya meninggalkan toko.

1
hesti_winarni25
semangat berkaya kak
Achamout: Terima kasih kakak😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!