seorang gadis kecil yang saat itu hendak pergi bersama orang tua ayah dan ibunya
namun kecelakaan merenggut nyawa mereka, dan anak itu meninggal sambil memeluk bonekanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan mengganjal di hati Yoga
Suasana duka menyelimuti rumah Yoga. Keluarga besar Yoga bersama tetangga dan sahabat berkumpul untuk mengantar jenazah Arsy dan Lita ke peristirahatan terakhir.
Jenazah Arsy dan Lita telah dimandikannya dan dikafankan. Mereka terbaring tenang di peti mati, menunggu untuk dimakamkan.
"Arsy, Lita," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Aku sangat mencintai kalian."
Yoga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan hatinya yang hancur. Ia tahu bahwa ia harus kuat untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menguatkan diri untuk menghantar mama dan papanya ke peristirahatan terakhir.
"Yoga, kamu harus kuat," gumam Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa pasti ingin melihat kamu kuat."
Hana, adik Yoga yang berusia 5 tahun, masih menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat kehilangan mama dan papanya.
"Mama, Papa," tangis Hana. "Hana ingin bertemu mama dan papa."
Yoga memeluk Hana erat-erat. Ia mencoba menenangkan Hana dengan kata-kata lembut.
"Hana, jangan menangis," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa sudah bahagia di surga."
Jenazah Arsy dan Lita kemudian dibawa ke pemakaman. Mereka dimakamkan berdampingan di sisi makam Angelica.
"Semoga alm. diampuni dosanya dan diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya," doa keluarga besar Yoga.
Yoga menatap kuburan mama dan papanya yang baru diisi tanah. Ia merasakan seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi buruk. Ia tak percaya bahwa mama dan papanya telah meninggal dunia. Ia ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan semuanya. Namun, ia tahu bahwa waktu tak akan berputar ke belakang.
"Mama, Papa," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Kenapa kalian meninggalkan aku?"
Yoga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan hatinya yang hancur. Ia tahu bahwa ia harus kuat untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menguatkan diri untuk menghantar mama dan papanya ke peristirahatan terakhir.
"Yoga, kamu harus kuat," gumam Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa pasti ingin melihat kamu kuat."
Yoga kemudian mengambil tangan Hana dan mengajaknya pulang. Hana masih menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat kehilangan mama dan papanya.
"Hana, ayo kita pulang," kata Yoga, dengan suara yang lembut. "Mama dan Papa pasti ingin melihat kamu bahagia."
Hana mengangguk setuju dan kemudian mengikuti Yoga menuju mobil. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan melaju perlahan meninggalkan pemakaman.
Keluarga besar Yoga juga berpamitan dan kemudian mengikuti Yoga pulang. Mereka ingin menghibur Yoga dan menguatkan hatinya yang sedang berduka.
"Yoga, kamu harus terus bersemangat," kata Om Yoga, dengan suara yang lembut. "Kami selalu mendukungmu."
"Ya, Yoga," kata Tante Yoga, dengan suara yang lembut. "Kami selalu menyayangimu."
Yoga mengangguk setuju. Ia merasakan seolah-olah ia tak sendiri dalam menghadapi kesedihan ini. Ia merasakan seolah-olah ia masih memiliki keluarga yang menyayanginya.
Sampai di rumah, Yoga menuntun Hana menuju sofa dan duduk di sisinya. Ia memandang adiknya yang masih menangis tersedu-sedu.
"Hana, cerita sama kakak, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Yoga, suaranya lembut tapi bergetar.
Hana menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Matanya masih berkaca-kaca, tetapi ia berusaha menceritakan apa yang ia lihat.
"Kakak, mama dan papa lagi bertengkar di kamar. Hana penasaran jadi mengintip dari pintu," jelas Hana, suaranya masih gemetar. "Terus, tiba-tiba muncul boneka besar dari balik lemari. Di tubuhnya tertulis nama 'Bruno'."
Yoga merasa seolah-olah disambar petir. Ia tak pernah mendengar nama "Bruno" sebelumnya.
"Boneka itu menyerang mama dan papa? Terus gimana?" tanya Yoga, suaranya mulai meninggi.
"Boneka itu menyerang mama dan papa dengan pisau, Kak," jawab Hana, suaranya makin gemetar. "Hana takut jadi langsung lari ke kamar kakak."
Yoga menarik napas dalam-dalam mencoba menahan amarahnya. Ia merasa sangat marah dan sedih pada waktu yang sama. Ia bertekad untuk mencari tahu siapa "Bruno" dan menghukumnya atas apa yang telah dilakukannya.
"Hana, kamu berani banget mengintip dari pintu. Untung kamu gak apa-apa," kata Yoga sambil memeluk Hana. "Sekarang kamu tenang ya, Kakak akan mencari tahu siapa yang berani melakukan hal ini."
Hana menangis lagi di pelukan kakaknya. Ia merasakan seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi buruk. Ia ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan semuanya. Namun, ia tahu bahwa waktu tak akan berputar ke belakang.
Hana menangis lagi di pelukan Yoga. Ia merasakan seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi buruk. Ia ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan semuanya. Namun, ia tahu bahwa waktu tak akan berputar ke belakang.
"Kakak, boneka itu melempar mama dan papa ke dinding, terus mama dan papa jatuh terkapar," lanjut Hana dengan suara gemetar. "Boneka itu tertawa jahat, Kak."
Yoga mendengar cerita Hana dengan hati yang hancur. Ia ingin mencari tahu siapa yang berani melakukan hal ini pada mama dan papanya. Ia bertekad untuk menghukumnya atas apa yang telah dilakukannya.
"Hana, kamu berani banget mengintip dari pintu. Untung kamu gak apa-apa," kata Yoga sambil memeluk Hana. "Sekarang kamu tenang ya, Kakak akan mencari tahu siapa yang berani melakukan hal ini."
Hana menangis lagi di pelukan kakaknya. Ia merasakan seolah-olah ia sedang berada di dalam mimpi buruk. Ia ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan semuanya. Namun, ia tahu bahwa waktu tak akan berputar ke belakang.
"Kakak, Hana takut," bisik Hana sambil menangis. "Hana ingin bertemu mama dan papa."
Yoga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan hatinya yang hancur. Ia tahu bahwa ia harus kuat untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menguatkan diri untuk menghantar mama dan papanya ke peristirahatan terakhir.
"Hana, jangan menangis," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa sudah bahagia di surga."
Yoga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan hatinya yang hancur. Ia tahu bahwa ia harus kuat untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menguatkan diri untuk menghantar mama dan papanya ke peristirahatan terakhir.
"Hana, jangan menangis," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa sudah bahagia di surga."
Yoga memeluk Hana erat-erat. Ia mencoba menenangkan Hana dengan kata-kata lembut.
"Hana, jangan menangis," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mama dan Papa sangat mencintai Hana. Mereka selalu menjagamu dari surga."
Hana terus menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat kehilangan mama dan papanya.
"Mama, Papa," tangis Hana. "Hana ingin bertemu mama dan papa."
Yoga mencoba menghibur Hana dengan menceritakan tentang mama dan papanya. Ia menceritakan tentang kebaikan mama dan papanya. Ia menceritakan tentang kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama mama dan papanya.
"Mama dan Papa sangat mencintai Hana," bisik Yoga, dengan suara yang gemetar. "Mereka selalu menjagamu dari surga."
Hana sedikit tenang mendengar cerita Yoga. Ia merasakan seolah-olah mama dan papanya masih bersamanya.
"Hana ingin bertemu mama dan papa," bisik Hana, dengan suara yang gemetar.
Yoga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan hatinya yang hancur. Ia tahu bahwa ia harus kuat untuk menghadapi situasi ini. Ia harus menguatkan diri untuk menghantar mama dan papanya ke peristirahatan terakhir.