NovelToon NovelToon
Love Or Tears

Love Or Tears

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putu Diah Anggreni

Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terapi

Pagi menjelang, sinar mentari merayap masuk melalui celah tirai kamar Dimas dan Rani. Meskipun tidur mereka tidak nyenyak, setidaknya ada rasa lega yang menyelimuti keduanya. Rani terbangun lebih dulu, matanya memandangi wajah Dimas yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang menggerogoti hatinya, namun juga kelegaan karena kebohongannya belum terbongkar.

Rani bangkit perlahan, berusaha tidak membangunkan Dimas. Ia melangkah ke dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyeduh kopi Dan membuat sarapan untuk suaminya dan teh untuk dirinya sendiri. Sembari menunggu air mendidih, pikirannya melayang ke hari-hari yang akan datang. Bagaimana ia harus menghadapi terapi? Bagaimana jika kebohongannya terbongkar?

Dimas muncul di ambang pintu dapur, rambutnya masih acak-acakan. "Pagi," sapanya lembut.

"Pagi," balas Rani, berusaha tersenyum. "Kopi?"

Dimas mengangguk, duduk di meja makan. "Terima kasih."

Mereka duduk berhadapan, menikmati minuman masing-masing dalam keheningan yang tidak lagi setegang sebelumnya. Rani akhirnya memecah kesunyian, "Jadi... kapan sesi terapi pertamaku?"

"Besok siang," jawab Dimas. "Dokter Amelia, psikiater yang direkomendasikan Dokter Surya, bisa menerima kita."

Rani mengangguk pelan, jemarinya memainkan pinggiran cangkir tehnya. "Dimas," ujarnya ragu-ragu, "apa... apa kau akan ikut masuk ke ruang terapi?"

Dimas menatap istrinya, menyadari kegugupan dalam suaranya. "Aku bisa menemanimu jika kau mau. Tapi jika kau merasa lebih nyaman sendirian, aku bisa menunggu di luar."

Rani menghela napas lega. "Kurasa... kurasa akan lebih baik jika aku sendirian dulu. Setidaknya untuk sesi pertama."

Dimas mengangguk paham. "Baiklah. Aku akan mendukungmu, apa pun keputusanmu."

Hari-hari berlalu dengan lambat menuju jadwal terapi pertama. Rani menghabiskan waktunya dengan gelisah, berkali-kali mencoba menyusun cerita dalam kepalanya. Sementara Dimas, meski masih ada keraguan, berusaha memberikan dukungan dengan caranya sendiri.

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rani duduk dengan gugup di ruang tunggu klinik Dokter Amelia, sementara Dimas menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan tanpa kata.

"Nyonya Adinda?" seorang perawat memanggil. "Dokter Amelia sudah siap menerima Anda."

Rani bangkit, melepaskan genggaman Dimas dengan enggan. Ia melangkah ke ruangan dokter, jantungnya berdegup kencang.

Dokter Amelia, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, menyambut Rani. "Selamat datang, Adinda. Silakan duduk."

Rani duduk di sofa yang disediakan, tangannya meremas-remas ujung bajunya. "Terima kasih, dokter."

"Jadi," Dokter Amelia memulai, "saya sudah membaca laporan dari Dokter Surya. Bisa Anda ceritakan dengan kata-kata Anda sendiri apa yang Anda alami?"

Rani menarik napas dalam-dalam. Inilah saatnya. "Saya... saya tidak bisa mengingat ibu saya, dokter. Setiap kali saya mencoba, rasanya ada dinding yang menghalangi."

Dokter Amelia mengangguk, mencatat sesuatu di catatannya. "Kapan pertama kali Anda menyadari hal ini?"

Rani terdiam sejenak, pikirannya berpacu. "Beberapa minggu yang lalu. Saat suami saya menanyakan tentang ibu saya."

"Hmm, saya mengerti. Bisakah Anda ceritakan tentang hubungan Anda dengan ibu Anda? Apa yang Anda ingat terakhir kali?"

Rani merasa tenggorokannya mengering. Ia tahu harus berhati-hati dengan jawabannya. "Saya... saya tidak yakin, dokter. Semuanya seperti kabur. Tapi rasanya ada perasaan tidak nyaman setiap kali saya mencoba mengingat."

Dokter Amelia mengangguk lagi. "Baiklah. Kita akan mulai dengan teknik relaksasi dulu, lalu perlahan-lahan kita akan mencoba mengeksplorasi ingatan Anda. Anda siap?"

Rani mengangguk lemah. Selama satu jam berikutnya, ia mengikuti arahan Dokter Amelia, dari latihan pernapasan hingga visualisasi. Namun, setiap kali mereka mencoba menggali ingatan tentang ibunya, Rani berpura-pura mengalami kesulitan.

Di akhir sesi, Dokter Amelia memberikan beberapa latihan yang harus dilakukan Rani di rumah. "Ini akan membantu Anda rileks dan mungkin membuka beberapa ingatan," jelasnya.

Rani keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia lega kebohongannya belum terbongkar. Di sisi lain, rasa bersalah semakin menggerogotinya.

Dimas menyambutnya dengan senyum hangat. "Bagaimana?"

"Baik," jawab Rani singkat. "Dokter Amelia memberiku beberapa latihan untuk dilakukan di rumah."

Dalam perjalanan pulang, Dimas berusaha mengajak Rani berbicara tentang sesi terapinya, namun Rani hanya menjawab seadanya. Ada keheningan yang canggung di antara mereka.

Malam itu, saat mereka berbaring di tempat tidur, Rani tidak bisa tidur. Pikirannya terus berkecamuk. Bagaimana jika suatu hari nanti kebohongannya terbongkar? Bagaimana jika Dimas tahu bahwa sebenarnya ia bukanlah Adinda?

Keesokan harinya, Rani memutuskan untuk pergi ke taman kota sendirian, beralasan ingin menenangkan pikiran. Di sana, ia duduk di bangku taman, memandangi anak-anak yang bermain dengan riang di taman bermain.

"Adinda?" sebuah suara mengejutkannya. Rani menoleh dan melihat seorang laki-laki muda dengan setelan jas yang terlihat familiar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!