Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu
Narendra Mahardika, putra tunggal pemilik Milkyway, perusahaan susu yang menyediakan susu segar, camilan susu terbaik dan juga kafe susu. Ayahnya Darmaji Santoso adalah seorang pria kaya yang dikenal sangat dermawan, lelaki itu juga menjadi donatur tetap universitas Gading, dimana Kia dan keempat temannya mendapat beasiswa disana.
Kehidupan megah yang selalu diimpikan banyak orang, rupanya tak membuat pria berusia dua puluh tiga tahun itu bahagia. Sejak kepergian sang ibu tepatnya, Rendra remaja yang dikenal sebagai anak berbakti mendadak berubah.
“Ayah bahagia, akhir-akhir ini kamu rajin ke kampus. Ayah berharap tahun ini kamu bisa lulus, dan segera membantu ayah di peternakan dan Kafe.”
Narendra, sang putra yang tengah bersiap berangkat ke kampus memilih abai. Berjalan meninggalkan sang ayah seolah tak mendengar apapun.
“Dia masih saja seperti itu,” gumam sang ayah. Jari telunjuk memberi isyarat pada seorang lelaki botak yang berdiri di samping pintu, membisikkan sebuah perintah rahasia.
“Baik tuan,” jawabnya.
.
Rendra tampak sangat kesal, ia sadar anak buah sang ayah tengah memata-matainya. Keinginan berangkat ke kampus pupus sudah, tujuan menjadi seorang pembangkang adalah yang utama baginya.
Rendra memiliki alasannya sendiri, yang jelas apa yang dibenci ayah maka itulah yang akan dia kerjakan. “Halo, gimana? sudah dapat?”
(Sudah Ren, ngomong-ngomong buat apa sih kamu cari nomor gadis itu?”)
“Itu urusanku, baiklah kirimkan segera. Oh iya, aku tak jadi pergi ke kampus, aku malas.” Rendra memutus panggilan sepihak, dan tak lama kemudian ia mendapat pesan teks berisi beberapa digit nomor ponsel seorang wanita yang membuatnya penasaran beberapa hari terakhir.
Berjalan cepat menuju garasi, hari ini pilihannya jatuh pada motor kesayangan. Namun, tujuannya bukan kampus. Rendra menuju pusat kota dan memilih duduk di sebuah bangku taman menyaksikan anak-anak kecil bermain jungkat-jungkit bahkan perosotan disana.
Senyum Rendra pun terbit, pemandangan sore itu membawa kembali kenangan masa lalu. Kenangan indah bersama sang ibu yang telah lebih dulu menghadap sang maha kuasa.
Teringat nomor ponsel yang baru didapat, Rendra kebingungan memutuskan akan menghubungi nomor itu atau tidak. Tak biasanya ia seperti ini, berbekal wajah yang lumayan tampan dan kekayaan yang berlimpah ia bisa menggaet berapapun wanita yang ia mau.
Tapi, tidak untuk kali ini. Gadis pemilik nomor itu aneh karena sangat berani padanya, bahkan saat mengetahui siapa ayah Rendra seolah itu tak membuatnya gentar, padahal nama gadis itu ada dalam salah satu penerima beasiswa dari sang ayah.
Tuuut….Tuuut….. (Assalamualaikum)
“Wa-waalaikum sa-salam.” Lama tak pernah menjawab salam membuatnya gagap dan terlihat bodoh.
(Siapa ini?)
Terlanjur malu, Rendra memutuskan mengakhiri panggilan tanpa memberi jawaban. Ia memukul-mukul kepala sambil mengumpat diri sendiri. “Bodoh, bodoh. Ada apa dengan diriku? Astaga Rendra.”
Sementara itu di tempat berbeda, ustadz Subkhi meminjamkan sebuah mobil chery jadul pada anak-anak dari SMAHI.
“Pakailah mobil ini untuk kalian ke kampus, mobil ini memang sudah tua. Tapi karena pemakaian yang baik, insya Allah mesinnya masih sangat bagus. Ini, gunakan sebaik mungkin. Daripada kalian harus cari angkot atau bis setiap hari.”
Menyerahkan kunci mobil pada Husin, mereka berlima mengucapkan banyak terima kasih dan berjanji akan menjaga mobil agar tetap aman. Sementara menunggu Ijan dan Evan, Kia menatap ponselnya yang terus bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor baru.
Siapa sih? “Assalamualaikum.”
(Wa-alaikum sa-salam)
“Siapa ini?”
TUT TUT TUT TUT
“Lah, siapa sih iseng ini?” gerutu Kia, mengundang rasa penasaran Shella dan Devi yang duduk tak jauh darinya.
“Nggak tau, orang salah sambung mungkin.” Kia tak mau ambil pusing, ia memutuskan akan abai pada penelpon iseng seperti itu. Ia tak akan pernah penasaran seperti dulu, saat hampir saja terkena modus penipuan sebab terlalu mempercayai orang asing. Itulah kelemahan Kia.
“Oh, ngomong-ngomong Kia. Jadi setelah ini kita akan pulang pergi bareng naik mobil ustadz ya?”
Kia mengangguk, dan Shella tampak sangat senang. Senyumnya semakin mengembang saat Ijan dan Evan datang mendekat. Dan untuk pertama kalinya, mereka berangkat ke kampus membawa mobil yayasan yang telah disediakan oleh ustadz Subkhi untuk mereka.’
Tepat pukul empat sore mereka telah kembali dari kampus, dan kini tengah bersiap-siap untuk ke masjid melaksanakan sholat berjamaah serta mengaji bersama anak-anak Tpq.
“Ki, aku ngantuk banget. Pokoknya nanti malam aku harus tidur awal,” ucap Shella. Berkali-kali sudah ia menguap dan meneteskan air mata.
“Aku juga Shel, rasanya lelah.”
Keduanya berjalan beriringan menuju masjid. Kebetulan ustadz Subkhi segera hadir dan sholat ashar berjamaah pun segera dilaksanakan. Devina tak tampak di antara mereka, gadis itu memang sedang berhalangan dan kini berada di rumah ustadz Subkhi untuk membantu ustadzah Aisyah memasak.
Selepas sholat dan mengaji bersama, ustadz memanggil Kia dan yang lain, beliau mengatakan jika nanti malam mereka mendapat undangan ke rumah pak Umar, acara haul orang tua Adinda.
“Loh, Adinda nggak punya orang tua ya?”
“Sepertinya begitu Ki, kasihan ya anak sekecil itu. Mana anaknya pendiem banget lagi,” jawab Shella.
Ustadz Subkhi menjelaskan rute rumah pak Umar pada Husin, dan itu harus melewati hutan. Gang pertama setelah keluar dari hutan adalah gang menuju rumah beliau. Husin mengangguk mengerti, ustadz Subkhi juga mengatakan bahwa Devina akan berangkat bersama beliau dan istrinya.
“Jadi kita cuma berlima lewat hutan malam-malam Husin?” Ijan menggigit jari, ia tampak sangat khawatir dan takut. Tak berbeda dengannya, Shella pun sama.
“Mana ku kira nanti malam bisa tidur lebih awal, taunya kita malah harus uji nyali begini.” Keduanya mengeluh saat ustadz Subkhi telah pulang. Namun, apa boleh di buat tugas tetaplah tugas dan harus dilaksanakan.
.
Malam pun tiba, mereka berlima telah siap di dalam mobil. Husin menghidupkan mesin setelah mereka berdoa bersama. Ini kali pertama mereka harus melewati hutan pada malam hari. Rombongan mereka harus berangkat sendiri sebab Ustadz Subkhi masih ada tamu di ndalemnya.
“Bismillah, kalian sudah siap?” tanya Husin. Mereka berlima mengangguk bersama, meski dalam hati berdebar keras mereka semua mencoba terlihat santai satu sama lain. Berharap tak ada hal aneh sepanjang perjalanan.
🏃🏃🏃🏃🏃