Sinta adalah seorang janda muda berusia 24 tahun yang ditinggal meninggal suaminya. Janda tanpa anak itu memutuskan tinggal bersama Kakak perempuannya yang sudah bersuami dan memiliki dua orang anak.
Sinta tidak pernah berfikir jika keputusannya tinggal bersama Kakaknya adalah sebuah keputusan yang salah. Niatnya baik, ingin membantu Kakaknya merawat kedua keponakannya karna Kakaknya wanita karir yang sibuk bekerja. Tapi siapa sangka malah menjadi petaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah berdiskusi dan meyakinkan Mama Heni melalui sambungan telfon, Sinta akhirnya di beri izin tinggal terpisah di apartemen. Mama Heni memang sedikit keberatan, sebab dia berharap Sinta akan tinggal bersamanya setelah dia dan Galang pindah ke Jakarta. Tapi Sinta berhasil meyakinkan Mama Heni dengan alasan ingin mandiri dan memulai hidup hari awal lagi. Mama Heni tentu senang mendengarnya, sudah lama dia ingin melihat putrinya melanjutkan hidup dan membuka hati untuk pria lain.
Pagi harinya setelah Liana dan anak-anak sudah berangkat, Sinta memberitahu kabar baik itu pada Alan. Jangan ditanya lagi bagaimana reaksi Alan, pria itu sangat bersemangat dan bahagia, sampai-sampai mengajak Sinta untuk pindahan hari ini juga.
"Mas Alan yang bener aja, aku belum siap-siap dan belum bicara sama Mba Liana." Protes Sinta.
Alan malah terkekeh dengan satu tangan yang terus memainkan rambut panjang Sinta. "Habisnya Mas udah nggak sabar tinggal berdua sama kamu." Ungkapnya.
Mata Sinta membulat sempurna. "Mas Alan ikut tinggal di apartemen juga.? Nanti kalau pada curiga gimana.?" Wajah Sinta sudah panik. Alan seharusnya tidak bertindak sejauh itu sampai harus tinggal berdua. Liana pasti akan curiga kalau suaminya tidak pulang ke rumah.
"Ya nggak tinggal setiap hari juga. Nanti Mas atur waktunya. Tinggal pakai alasan ke luar kota, beres. Nggak bakal dicurigai." Sahutnya enteng.
Entah dimana pikiran Alan, dia semakin mengajak Sinta masuk lebih dalam dari perselingkuhan ini. Alan seperti tidak peduli dengan resiko yang ada di depan mata. Dia sudah dibutakan oleh cinta dan nafsu. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Sinta dan Sinta. Sampai dia tidak rela melepaskan Sinta dan menjerat adik iparnya itu hingga tidak bisa lepas darinya.
"Udah siang Mas, sana mandi. Nanti kesiangan,," Sinta bangun dari pangkuan Alan. Pangkuan yang terasa nyaman untuknya. Mau bagaimana lagi, dia juga sudah terlanjur jatuh hati pada Alan. Terlebih Alan bisa memberikan apa yang sudah lama dia butuhkan. Perhatian, kasih sayang, bahkan kehangatan.
Alan terpaksa bangun dari duduknya, dia sebenarnya masih ingin berduaan dengan Sinta, tapi harus pergi ke perusahaan. Kurang dari 30 menit lagi, Liana juga akan sampai di rumah setelah mengantar anak-anak.
Mobil yang dikemudikan Alan melesat dari halaman rumah. Sinta menatapnya dengan helaan nafas berat. Setiap hari dia dirundung kegelisahan dan rasa takut, namun di satu sisi Sinta menemukan kenyamanan dan kebahagiaan dari Alan. Terkadang Sinta berperang dengan batinnya, adakalanya dia sadar untuk mengakhiri semuanya, namun tak jarang dia egois karna menginginkan Alan.
"Sampai kapan aku akan terjerembab dalam hubungan terlarang ini." Lirihnya.
...*******...
"Sayang, besok weekend loh. Kita liburan ke puncak yuk sama anak-anak." Pinta Liana dengan nada manjanya.
"Wah ke puncak Mah.? Zia mau ke puncak Pah,," Anak perempuan mereka tiba-tiba muncul dan ikut membujuk Papanya agar bisa pergi berlibur.
"Papa banyak kerjaan, lain kali saja ya." Tolak Alan. Dia sudah tidak berminat liburan dengan Liana, perasaannya pada wanita itu benar-benar sudah hambar. Liana duluan yang memulai, bersikap acuh dan mengabaikan kewajibannya sampai Alan kehilangan minat pada istrinya sendiri. 1 tahun lebih bukan waktu yang sebentar, selama ini juga Alan merasa diabaikan Liana.
"Papa nggak seru. Kita kan udah lama nggak liburan rame-rame. Iya kan Tante.?" Zia melontarkan pendapat pada Sinta yang kebetulan lewat. Alan dan Liana sontak menatap ke arah Sinta.
"Eh.? I-iyaa,," Sinta mengangguk kikuk. Sebenarnya dia juga tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan, sebab dia baru keluar dari kamar dan berniat ke dapur.
"Ayolah sayang, kita pergi bareng sama Sinta juga." Rengek Liana lagi.
"Iya Papa, Zia mau liburan. Kita barbeque an lagi kaya waktu itu, seru banget. Iya kan Tante.?" Celoteh Zia dengan binar di matanya. Rupanya Zia masih mengingat liburan bersama Sinta beberapa bulan lalu.
Liana menatap Sinta dengan tatapan menelisik. "Kamu liburan sama Alan dan anak-anak Dek.? Kapan.?" Tanyanya penasaran.
Belum sempat Sinta menjawab, Alan langsung pasang badan supaya Liana tidak berfikir macam-macam.
"Kamu sendiri yang nyuruh Sinta temani anak-anak liburan karna kamu sibuk kerja." Kata Alan.
Liana hanya mengangguk dan membentuk bibirnya dengan huruf O. Diberi tau pun percuma, Liana sama tidak ingat.
"Ya udah besok kita liburan lagi rame-rame. Mau kan sayang.?"
Alan tetap menolak dengan gelengan kepala. "Kamu nggak dengar tadi aku ngomong apa.?" nada bicara Alan penuh penekanan. Lama-lama geram juga dengan sifat pemaksa istrinya.
Sinta langsung berlalu ke dapur karna enggan terlibat obrolan pasutri itu. Hingga Sinta kembali lagi ke kamarnya, Sinta masih terdengar merengek dan membujuk Alan agar menuruti permintaannya. Tapi sepertinya sia-sia saja. Alan tetap menolak dengan alasan yang sama.
...******...
Hari ini Sinta mulai pindah ke apartemen. Semua baju dan barang-barangnya sudah masuk ke dalam koper yang berjumlah 3 koper berukuran sedang.
8 bulan tinggal di rumah Kakaknya, banyak kenangan dan kejadian yang tak mungkin bisa Sinta lupakan. Dan yang membuatnya berat meninggalkan rumah itu karna rasa nyaman dan aman selama tinggal di sana. Sinta sedikit khawatir dengan kehidupannya di tempat baru, dia takut tidak bisa senyaman saat tinggal bersama Kakaknya.
"Nggak ada yang ketinggalan kan Dek.?" Tanya Liana mengingatkan. Koper ketiga sudah masuk ke dalam bagasi mobil Liana, wanita itu yang akan mengantar Sinta karna Bram ada pekerjaan di luar kota. Anak-anak juga belum pulang sekolah.
Sinta menggeleng pelan, jelas dia ragu-ragu dan langsung membanting sendiri.
"Banyak Mba, kenanganku bersama Mas Alan yang tertinggal di semua sudut rumah." Batin Sinta. Wajahnya berubah sendu, kesalahan yang dia perbuat membuatnya tak pernah bisa tentang dengan suasana hati yang selalu berubah-ubah.
Mobil yang di kendarai Liana berbelok ke apartemen sederhana. Sinta melirik Kakaknya ketika mereka berhenti di basement. Entah seperti apa reaksi Liana jika tau bahwa sewa apartemen ini dibayari oleh Alan. Bahkan Alan sengaja mengirim Sinta ke apartemen agar leluasa saat ingin berduaan dengan Sinta.
"Dek, nggak mau turun.?" Tegur Liana karna mendapati Sinta hanya melamun.
Sinta tersenyum kaku, dia bergegas turun menyusul Liana yang sudah berada di luar. Dia memanggil satpam dan mintanya untuk membatu membawakan koper.
"Terimakasih Pak." Sinta menyodorkan selembar uang pada satpam yang membawakan koper miliknya sampai di depan pintu apartemen.
"Sama-sama Mba, panggil saya saja kalau butuh bantuan." Ujarnya kemudian pergi dari sana.
Liana mengikuti Sinta masuk ke dalam unit apartemen berukuran 7 x 10 meter itu. Ukuran apartemen yang lumayan luas untuk ditempati 1 orang dengan 1 kamar tidur, ruang tamu, 2 kamar mandi, dapur dan ruang keluarga.
"Bagus Dek, rapi. Perabotannya juga lengkap." Komentar Liana. Dia mendudukkan diri di sofa panjang ruang tamu.
Sinta tersenyum kaku, dia tidak menanggapi ucapan Liana dan memilih menyeret kopernya ke dalam kamar.
pikirkan sinta itu artinya alan jg sentuh liana yg sah istri
kamu cuma jd budak nafsu alan tp mau mngakiri jg alan g mau
kasian sekali nasib Sinta dan Alan, Liana yg salah, malah Liana yg ending nya bahagia, dimana letak keadilanmu kak Icha,
maaf ya, aku terlalu emosi