NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Judul Bab 21: Api di Tengah Malam

Malam turun perlahan, membawa serta keheningan yang menggantung di udara. Suara jangkrik terdengar samar, menyatu dengan desir angin yang menyusup masuk ke celah-celah tenda. Seluruh tim sudah beristirahat, tertidur dalam kelelahan usai menyisir separuh jalur pencarian sepanjang hari itu. Di tengah area pos, api unggun menyala tenang. Cahayanya menari-nari di permukaan batu dan wajah-wajah tenda, menciptakan bayangan yang bergerak pelan. Di depannya, Cakra duduk sendiri, diam membisu sambil memandangi bara api yang membara perlahan. Jaket militer menempel erat di tubuhnya, tapi dingin pegunungan tetap berhasil menyelinap masuk. Namun, hawa sejuk itu bukan yang paling mengganggunya malam ini. Pikirannya terus kembali pada peta yang tadi siang dibentangkan di meja briefing—khususnya bagian lereng timur.

Itu adalah medan paling terjal, berbatu, dan rawan longsor. Besok, dia dan timnya akan menyusurinya untuk mencari dua prajurit yang hilang. Tugas pertama di medan sesungguhnya, dan ia tahu betul risikonya. Cakra menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya. Di hadapan nyala api, bayangan wajah dua prajurit yang hilang itu terlintas di benaknya. Ia tak kenal dekat dengan mereka, tapi rasa tanggung jawab sebagai sesama prajurit membuat hatinya berat. Ia tak sadar, malam itu, bukan hanya tubuhnya yang dikelilingi dingin—tapi juga hatinya yang sedang menguji nyali.

Dari balik gelapnya malam dan bayangan tenda, muncul sosok yang akrab. Shifa melangkah pelan mendekati api unggun, kedua tangannya memegang dua cangkir logam berisi kopi panas yang masih mengepul. Jaket lapangan membalut tubuhnya, rambutnya diikat asal, dan langkahnya nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan di samping Cakra, lalu menyerahkan salah satu gelas ke tangannya.

“Bang, belum tidur?” tanyanya lembut, suaranya nyaris tersapu angin malam. Cakra menoleh, sedikit terkejut tapi langsung tersenyum tipis. “Belum. Lagi mikirin rute besok,” jawabnya sambil menerima kopi itu. “Makasih, ya.” Ia meniup pelan bagian atas kopi sebelum menyeruputnya perlahan. Uapnya naik pelan, menghangatkan wajah dan pikirannya yang kusut. Kehadiran Shifa di sampingnya memberi rasa tenang yang tak bisa dijelaskan.

Sesaat tak ada percakapan. Hanya suara api yang sesekali berderak, dan langit malam yang menggantung di atas mereka dengan bintang-bintang samar di balik awan badai yang belum datang. Tanpa sadar, dua cangkir logam itu menjadi saksi pertemuan dua hati yang diam-diam saling menguatkan—di antara beban tugas dan kecemasan akan hari esok.

Malam makin larut. Nyala api unggun menghangatkan udara dingin yang menusuk tulang. Di antara suara jangkrik dan derak kayu terbakar, hanya ada mereka berdua—duduk bersebelahan, berbagi keheningan yang nyaman. Shifa memecah sunyi lebih dulu. “Tadi siang… ada anak kecil datang ke pos medis,” katanya pelan. “Ibunya bawa dia dari kampung seberang. Badannya panas banget, tangannya gemetaran.”

Cakra menoleh sebentar, memperhatikan wajah Shifa yang diterangi cahaya oranye dari api. “Terus gimana?” “Alhamdulillah cuma demam biasa. Aku kasih obat, lalu ngajak dia main sebentar biar tenang. Namanya Reno. Dia bilang pengin jadi tentara kayak kalian.” Shifa terkekeh kecil, matanya menerawang. “Lucu ya… di tempat segenting ini, anak kecil masih bisa punya mimpi.”

Cakra mengangguk, senyumnya tipis namun hangat. “Kadang, mimpi justru lahir dari tempat yang paling nggak kita duga.” Shifa memeluk lututnya, menatap bara api. “Aku juga dulu nggak nyangka bisa sampai di titik ini. Bertugas di garis depan, ketemu abang lagi…” Cakra menatap ke depan, lalu menarik napas dalam. “Aku juga nggak nyangka. Tapi mungkin memang semesta sengaja ngatur semuanya gini.” Obrolan mereka mengalir ringan, tanpa tekanan. Namun dalam setiap kata, tersimpan rasa yang tak sempat terucap: rindu, khawatir, dan harapan kecil untuk pulang dalam keadaan utuh. Dan malam itu, di tengah hutan dan nyala api, dua hati yang kuat mulai saling bersandar—bukan sekadar karena cinta, tapi karena mereka saling mengerti apa arti bertahan.

Api unggun mulai meredup, meninggalkan bara yang masih menyala tenang. Angin malam bertiup pelan, membawa hawa dingin dan aroma tanah basah yang lembap. Langit di atas mereka diselimuti awan mendung, menutupi bintang-bintang. Shifa menarik napas pelan, menatap nyala api dengan sorot mata yang dalam. Suaranya keluar lirih, hampir seperti bisikan.

“Bang… kenapa sih abang mau ambil misi ini?” Ia menoleh pada Cakra. “Abang nggak kangen rumah?” Cakra menatap bara api beberapa detik, lalu perlahan menoleh. Ia tak langsung menjawab. Tangannya terulur lembut, meraih bahu Shifa dan menariknya lebih dekat. Dengan tenang, ia menyandarkan kepala Shifa ke dadanya.

“Abang sudah bersumpah,” ucapnya pelan, berat namun mantap. “Siap ditempatkan di mana saja, dan kapan saja. Jadi… mau gimana lagi? Mau nggak mau, abang harus berangkat.” Shifa diam. Detak jantung Cakra terdengar pelan dan stabil di telinganya, mengalahkan suara api dan angin malam. Hatinya masih diliputi khawatir, tapi kehangatan dada Cakra perlahan-lahan membuatnya tenang.

“Shifa bangga punya abang…” gumamnya, nyaris tertelan udara malam. Cakra membalas dengan mengelus kepala Shifa perlahan. Gerakannya lembut, penuh perhatian. Tak ada kata lagi yang terucap, tapi dalam pelukan itu, segala rasa—takut, cinta, rindu, dan harapan—seolah bertemu dalam diam. Langit tetap mendung. Besok mereka akan kembali menghadapi medan berat. Tapi malam itu, dalam keheningan yang hanya dimiliki dua hati yang saling menguatkan, mereka menemukan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh dunia luar.

Malam terus berjalan dalam hening yang menenangkan. Setelah percakapan singkat mereka, Cakra dan Shifa tak lagi banyak bicara. Hanya duduk berdampingan, membiarkan malam menyelimuti mereka dengan tenangnya. Kopi di tangan mereka mulai dingin, tapi kehangatan dalam hati masih tersisa. Api unggun masih membara pelan, kayu-kayunya mengeluarkan suara gemeretak lembut. Cahaya jingganya menari di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun penuh makna.

Tak perlu kata-kata. Hanya kehadiran. Hanya diam yang terasa hangat. Dalam keheningan itu, cinta mereka diuji. Bukan lewat janji manis atau genggaman erat, melainkan keberanian untuk tetap bertahan, untuk tetap percaya—di tengah ketidakpastian, di medan yang tak pernah bisa ditebak. Saat Cakra melirik ke samping, ia tersenyum kecil. Shifa telah tertidur di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Hati Cakra berdesir pelan.

Dengan lembut, ia mengangkat tubuh Shifa dan membawanya ke dalam tenda barak, menyelimutinya dengan hati-hati. Ia menatapnya sejenak, memastikan ia nyaman, sebelum berbalik dan melangkah keluar. Langkahnya pelan menyusuri jalanan tanah yang dingin, menuju pos jaga. Beberapa prajurit sedang bersiaga,“Izin, Bang,” Cakra membalas dengan anggukan.

Ia duduk di kursi tua yang menghadap ke luar, tubuhnya bersandar santai, namun matanya tajam menatap langit gelap. Awan masih menggantung pekat. Badai mungkin belum selesai. Tapi malam ini, ia telah mendapatkan kekuatan baru dari seorang gadis yang tertidur di barak, dan dari keyakinannya sendiri sebagai seorang perwira.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!