Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

BAB 1: Surat dari Langit

Langit sore masih menyisakan mendung tipis, sisa hujan yang mengguyur sejak siang. Di dalam rumah kecil yang sekaligus berfungsi sebagai toko buku, suasana terasa hangat dan tenang. Aroma kayu basah bercampur bau lembaran kertas tua memenuhi udara. Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk bersila di lantai, dikelilingi tumpukan buku.

Cakra, bocah sepuluh tahun yang lebih senang tenggelam dalam cerita ketimbang bermain gawai seperti teman-teman seusianya, sedang menyusun ulang rak bagian bawah. Buku-buku bersampul pudar itu seolah punya suara, memanggilnya satu per satu untuk dibaca ulang.

“Ibu bilang rak ini mau roboh,” gumamnya pelan sambil menarik beberapa buku keluar.

Tiba-tiba, ketika ia mengangkat tumpukan ensiklopedia lama, sesuatu tergelincir dari celah belakang rak. Duk! Sebuah benda kecil jatuh dan menimbulkan bunyi pelan di lantai kayu. Cakra menoleh, alisnya terangkat. Di bawah bayangan rak, ia melihat sebuah kotak kayu usang.

Perlahan ia merangkak dan menarik kotak itu keluar. Ukurannya tak lebih besar dari sebuah buku harian. Permukaannya kusam, beberapa sudutnya mulai lapuk dimakan usia. Tapi satu hal menarik perhatiannya: ada label lusuh yang tertempel di bagian atas, tulisannya pudar tapi masih terbaca.

Untuk Dita

Tepat di bawahnya, ada pita biru yang nyaris memudar warnanya, hanya menyisakan sedikit kilau nostalgia. Cakra membalik kotak itu, mencari cara untuk membukanya. Kunci kecil menggantung lemah di sisi engsel, sudah berkarat dan hampir lepas.

“Kenapa ada nama Ibu di sini...?” bisiknya penasaran.

Ia menimbang-nimbang sebentar. Ada dorongan aneh di dalam dadanya, semacam rasa ingin tahu yang tak bisa ditahan. Mungkin ini milik Ibu saat masih muda? Atau... surat cinta dari seseorang?

Engsel itu rapuh, hanya dengan sedikit tekanan, klik!—kotaknya pun terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderak lirih seolah membangunkan kenangan yang telah lama tidur.

Di dalamnya, tersimpan rapi tumpukan surat dalam amplop putih kekuningan, disusun sesuai tanggal. Beberapa bahkan masih disegel, sebagian lain terbuka dengan lipatan yang sudah melebar karena sering dibaca.

Cakra menelan ludah. Jemarinya yang kecil gemetar saat menyentuh surat pertama. Di pojok kiri atas, tertulis dengan tinta biru:

"Untuk istriku tercinta, Dita. Jika aku tidak kembali..."

Jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa asing yang merayap perlahan ke dalam hatinya. Takut. Penasaran. Sedih. Tapi lebih dari itu—ada sesuatu dalam dirinya yang tergerak. Surat ini... dari siapa?

Dan kenapa seperti... perpisahan?

Kotak kayu itu digenggam erat di pelukan Cakra. Kakinya melangkah pelan, nyaris tanpa suara, menuju pojok ruangan tempat dua rak tinggi berdiri membentuk lorong sempit yang jarang dilewati orang. Di situlah ia biasa sembunyi jika ingin membaca dengan tenang, jauh dari perhatian sang ibu.

Ia duduk bersila, menyandarkan punggungnya pada rak, dan meletakkan kotak itu di pangkuannya. Hujan mulai turun lagi di luar sana, menyisakan suara rintik di atap seng yang ritmis dan menenangkan—tapi tidak cukup untuk meredam suara jantungnya yang berdetak cepat.

Dengan hati-hati, Cakra membuka kotak itu kembali. Tumpukan surat di dalamnya kini terasa seperti harta karun paling berharga yang pernah ia temukan. Ia mengambil satu lembar yang amplopnya telah terbuka dan mengeluarkan isinya perlahan. Tinta biru tua dengan tulisan tangan rapi mengisi lembaran kertas tipis.

“Untuk istriku tercinta, Dita… jika aku tidak kembali…”

Cakra menahan napas. Kalimat itu terulang di setiap surat yang ia buka. Selalu diawali dengan kata-kata yang sama, seolah sang penulis tahu bahwa suatu saat, surat-surat itu akan menjadi warisan terakhir.

Ia mulai membaca perlahan. Kata demi kata.

“Hari ini, aku kembali berjaga di pos depan. Angin di sini dingin sekali, tapi aku selalu hangat jika membayangkan kamu dan anak kita. Aku sering membayangkan seperti apa wajah anak kita nanti. Aku harap dia mewarisi senyummu—senyum yang bisa menenangkan badai dalam hati siapa pun.”

Cakra menelan ludah. Matanya melompat ke surat lain, tak sabar untuk tahu lebih banyak.

“Kadang aku takut, Dit. Takut tak bisa melihatnya tumbuh besar, takut tak sempat membimbing langkahnya, mengajarinya hal-hal sederhana, seperti mengikat tali sepatu atau membaca peta bintang. Tapi satu hal yang kupastikan—aku ingin dia tumbuh menjadi anak yang baik, yang tahu arti keberanian tapi juga penuh kasih. Jangan didik dia menjadi keras, Dit. Ajari dia mencintai dulu, baru kemudian bertarung jika perlu.”

Tangannya bergetar. Ia menatap kalimat itu lama sekali, seolah ingin menyalinnya ke dalam hatinya sendiri.

“Jika aku tidak kembali, tolong katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Bahwa aku bukan pahlawan, hanya seorang ayah yang ingin melindungi keluarga kecilnya.”

Cakra memeluk surat itu. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada perasaan hangat yang perlahan memenuhi dadanya. Dan di saat yang sama, ada sesuatu yang lain—semacam rasa rindu pada sosok yang belum pernah ia kenal.

“Papa…” bisiknya pelan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dekat dengan nama itu. Rangga. Ayahnya. Sosok yang selama ini hanya hadir dalam bingkai foto, kini seperti hidup melalui kata-kata. Dan melalui surat-surat ini, Cakra menemukan lebih dari sekadar kenangan—ia menemukan panggilan.

Sebuah bisikan yang samar tapi tegas.

Dan tanpa sadar, hari itu menjadi hari pertama Cakra menapaki jejak langkah sang ayah. Diam-diam, dan sendirian.

Suasana di pojok ruangan itu masih sama sunyinya. Hujan belum juga reda, seolah ikut menemani perjalanan diam-diam Cakra ke masa lalu.

Di tangannya, sebuah surat baru terbuka. Kertasnya sudah menguning, sedikit sobek di ujung-ujungnya. Tulisannya masih sama—rapi, tenang, dan penuh rasa. Tapi isi surat kali ini terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih... menyentuh.

“Jika nanti Cakra sudah cukup besar, tolong ceritakan padanya tentang siapa ayahnya.

Bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dikenang dengan tenang.”

Cakra terdiam. Kata-kata itu seperti menggema dalam kepalanya, memukul pelan tapi dalam. Tangannya perlahan menurun, memeluk surat itu ke dadanya. Ia menunduk, bahunya berguncang perlahan.

Tanpa suara, air mata mulai jatuh satu per satu. Bukan karena sedih semata, tapi karena sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah rasa kehilangan yang baru sekarang benar-benar terasa.

Ia menangis. Diam-diam. Pelan. Tapi rasanya deras, seperti sungai yang baru saja menemukan celah untuk mengalir setelah lama tertahan.

Bahkan ia tak sadar, tubuhnya kini menggigil kecil, bukan karena dingin, tapi karena perasaan yang tak tertampung.

"Aku ingin mengenalmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

"Aku ingin... tahu seperti apa kamu bicara, seperti apa caramu tersenyum..."

Ia memeluk surat-surat itu lebih erat, seolah dari balik lembaran kertas itu, ayahnya sedang membalas pelukan itu juga. Seolah Rangga, dalam bentuk yang tak kasat mata, hadir dan mendengarnya.

Untuk pertama kalinya, Cakra tak merasa sendiri dalam keheningan itu.

Ia tak tahu berapa lama ia duduk di sana. Yang ia tahu, saat itu, di antara tumpukan surat dan debu masa lalu, sebuah ikatan yang selama ini samar menjadi nyata.

Bukan sekadar rasa penasaran. Bukan hanya rasa rindu. Tapi tekad yang tumbuh perlahan—dan diam-diam—di dalam hati kecilnya.

“Cakra?”

Suara Dita menggema dari dapur, terdengar sedikit cemas.

“Cakrawala yudha sudah sore, jangan main terus...”

Tak ada jawaban. Biasanya anak itu cepat menjawab, apalagi kalau Dita mulai menyebut nama panjangnya—pertanda omelan akan segera datang.

Langkah kaki Dita membawa dirinya ke toko buku kecil yang menyatu dengan rumah. Bau kayu, debu, dan hujan langsung menyambut. Matanya menyisir ruangan dengan cepat... hingga berhenti di sudut ruangan, di antara dua rak tinggi yang jarang disentuh.

Di sanalah Cakra, tertidur dalam posisi meringkuk. Tangannya memeluk erat beberapa lembar surat. Kotak kayu kecil itu terbuka, isinya berserakan di lantai. Pita biru kusam tergelatak tak berdaya.

Wajah Dita langsung menegang. Ia berdiri mematung di ambang pintu.

Jantungnya berdetak lebih cepat—ada kemarahan yang muncul begitu saja. Tapi bersamaan dengan itu, ada rasa panik, takut, dan luka lama yang seperti baru dirobek ulang.

“Ya Tuhan...” bisiknya.

Ia berjalan cepat, hampir terhuyung saat melihat surat-surat itu. Surat-surat dari Rangga. Yang ia sembunyikan bertahun-tahun lamanya. Yang ia jaga agar tak disentuh siapa pun, terutama oleh anak itu.

Tanpa berpikir panjang, ia menarik surat-surat itu dari pelukan Cakra. Gerakannya refleks, tergesa.

Cakra terbangun dengan kaget. Matanya masih basah. “Bu... jangan! Itu...”

“APA YANG KAMU LAKUKAN?!” suara Dita meledak begitu saja. Nadanya tinggi, tajam.

“Kamu ngapain buka-buka barang Ibu?! Siapa yang izinkan kamu—?!”

Cakra mundur, ketakutan. “Aku... aku cuma nemu di belakang rak... aku gak sengaja, Bu... aku cuma pengin tahu... tentang Ayah...”

“Kenapa kamu ngotot banget pengin tahu tentang orang yang bahkan belum pernah kamu temui?! Kenapa kamu harus korek-korek luka yang Ibu simpan selama ini?!”

Dita membalikkan tubuhnya, memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Tapi suaranya pecah di kalimat berikutnya.

“Kenapa kamu gak bisa... cukup dengan Ibu aja?”

Keheningan turun seperti kabut. Hujan di luar seolah ikut diam.

Cakra hanya menatap ibunya. Napasnya cepat. Matanya berkaca-kaca lagi, tapi kali ini karena rasa bersalah.

Dita pun perlahan menunduk, memungut lembaran surat satu per satu. Tangannya gemetar. Lalu ia duduk di samping Cakra, mendekap surat-surat itu di dada.

Perlahan, ia mengusap kepala anaknya. Kali ini nadanya lebih pelan. Retak. Lelah.

“Maaf ya, Nak...” katanya lirih.

“Ibu bukan marah karena kamu baca ini... Ibu cuma takut kamu nanti luka seperti Ibu. Ibu cuma pengin kamu... hidup tenang. Gak harus jadi kuat, gak harus jadi seperti Ayahmu...”

Cakra tak menjawab. Ia hanya mendekatkan kepalanya ke bahu ibunya. Mencari kehangatan, meski kepalanya penuh pertanyaan.

Dan di antara sunyi itu, dua generasi yang sama-sama menyimpan luka—akhirnya duduk berdampingan. Terluka, tapi mencoba saling mengobati.

Malam turun perlahan, menyelimuti rumah kecil itu dengan keheningan. Hujan sudah reda, menyisakan titik-titik air yang masih menempel di kaca jendela kamar Cakra. Suara jangkrik samar terdengar dari kejauhan.

Cakra duduk di ambang jendela, lututnya ditekuk, dagunya bertumpu di atasnya. Di tangan kanannya, ia menggenggam satu surat. Surat yang paling menyentuh hatinya—yang ditulis ayahnya dari medan tugas.

Ia menatap langit malam yang berhiaskan bintang. Tatapannya bukan sekadar melihat, tapi seolah sedang mencari... seseorang.

“Kalau Ayah bisa dengar,” bisiknya lirih, “aku cuma mau bilang... aku ngerti sekarang.”

Senyum tipis muncul di wajahnya, meski matanya masih sembab. Ada semacam cahaya baru di sana. Bukan sekadar duka, tapi semangat yang pelan-pelan tumbuh dari luka.

“Suatu hari nanti…”

Ia mengepalkan tangannya pelan, menahan gemuruh kecil di dadanya.

“Aku akan meneruskan langkahmu. Tapi aku janji, aku gak akan bikin Ibu menangis lagi.”

Angin malam masuk dari celah jendela. Membelai rambutnya. Seolah langit menjawab, meski tanpa suara.

Cakra menatap ke depan—ke cakrawala malam yang tak terbatas. Di sanalah, untuk pertama kalinya, impian kecil itu mulai tumbuh.

Terpopuler

Comments

Nanang

Nanang

SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇

2025-05-27

0

Siyantin Soebianto

Siyantin Soebianto

ceritanya jadi penisirin gini ya😇

2025-05-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!